Ads

Monday, March 11, 2019

Jaka Lola Jilid 117

“Apakah kalian tidak percaya lagi kepadaku?” terdengar Yosiko membentak marah dan meloncat turun dari atas batu yang tadi ia duduki. Di depannya, puluhan orang bajak yang dipimpin oleh empat orang laki-laki tampak bersungut-sungut.

Empat orang ini adalah empat orang kepala bajak yang kini menggabungkan diri dengan Kipas Hitam untuk bersama-sama menghadapi dan melawan pasukan kota raja yang dipimpin Bun Hui dan teman-temannya.

Orang pertama adalah si cambang bauk yang bernama Bong Ji Kiu yang berjuluk Kim-bwee-liong (Naga Berekor Emas). Mungkin julukan ini diadapatkan karena dia bersenjatakan sebatang golok besar yang bergagang emas, golok yang terukir dengan gambar naga dan ekornya tiba di gagang yang terbuat daripada emas. la tadinya seorang kepala bajak Sungai Kuning dan terkenal akan kelihaian dan kekejamannya.

Tiga orang yang lain adalah kepala-kepala bajak laut yang selama ini mengganas di pantai selatan. Seorang diantara mereka, yang kurus pucat adalah adik kandung Bong Ji Kiu bernama Bong Kwan, sedangkan yang dua lagi adalah teman-teman yang sudah mengangkat saudara.

Mereka ini juga bukan orang-orang lemah. Kalau Bong Kwan, seperti kakaknya, pandai pula bermain golok, adalah dua orang temannya yang bernama Tio Khong dan Yauw Leng merupakan ahli-ahli bermain pedang.

Empat orang pimpinan bajak itu, kini menghadapi Yosiko yang kelihatan marah-marah. Mula-mula adalah Bhong Ji Kiu si cambang bauk yang menyatakan tidak puasnya terhadap pimpinan ini karena Yosiko melarang Bong Ji Kiu dan anak buahnya mengeroyok Yo Wan dan Cui Sian.

“Mengapa Pangcu (Ketua) kelihatan memihak musuh? Terang bahwa mereka adalah sahabat-sahabat pimpinan pasukan musuh, kenapa tidak menangkap atau membunuh mereka?”

Bong Ji Kiu yang mewakili tiga orang temannya dan juga puluhan orang anak buahnya mengajukan tuntutan ini dengan suara menantang, sehingga Yosiko menjadi marah dan membentak apakah mereka tidak percaya lagi kepadanya.

“Kalau tidak percaya lagi kepada Pangcu, kiranya kita tidak akan berkumpul disini,” jawab Bhong Ji Kiu. “Sayang toanio (nyonya besar) tidak berada disini, kalau ada tentu dapat kami mintai pertimbangan. Hendaknya Pangcu ingat bahwa anak buah Pangcu kini tinggal sedikit, sudah banyak yang tewas, tinggal dua puluh orang lebih saja. Apakah Pangcu tidak merasa sakit hati? Jika tidak ada kami yang membantu dengan orang-orang kami yang semua mendekati seratus orang jumlahnya, bagaimana kita dapat melawan pasukan pemerintah?”

“Hemmm, Bong-twako! Apa perlunya kau bersikap mengancam? Habis, apa yang kalian kehendaki? Apa yang kalian ingin lakukan?”

“Kami hanya menghendaki supaya Pangcu sungguh-sungguh berdaya upaya untuk menghancurkan mereka, bukan melindungi mereka. Buktikan bahwa Pang-cu tidak miring hatinya terhadap pimpinan pasukan pemerintah atau kalau tidak demikian, kami terpaksa akan meninggalkan Pangcu dan tidak mau lagi bekerja sama menghadapi musuh.”

“Boleh! Kalian boleh tinggalkan aku, aku masih mempunyai anak buah yang setia!” bentak Yosiko marah.

Tiba-tiba Kamatari, jagoan Kipas Hitam, bangsa Jepang yang terkenal dengan samurai Cakar Naga, maju dan memberi hormat kepada Yosiko, sikapnya tenang dan tegas, kata-katanya nyaring.

“Pangcu, terus terang saja kami melihat gejala-gejala tidak baik terhadap diri Pangcu. Agaknya Pangcu memilih musuh menjadi sahabat, bahkan Pangcu hendak memilih jodoh dari golongan musuh. Hal ini mengecewakan hati kami dan kami membenarkan ucapan Bong-twako bahkan kamipun akan berfihak kepadanya kalau terjadi perpecahan.”

Pucatlah wajah Yosiko. Baru kali ini semenjak ia kecil, anak buahnya berani mencelanya. Kalau tidak ingat akan jasa-jasa Kamatari, tentu ia sudah turun tangan membunuhnya disaat itu juga. Melihat keadaan Yosiko ini, Siu Bi maju menghampiri dan berkata perlahan,

“Sudahlah, Yosiko, biarkan mereka itu semua pergi. Apa sih enaknya menjadi kepala bajak?”

Ucapan ini membuat para bajak menjadi marah. Mereka sudah berdiri dan sikap mereka mengancam, seakan-akan mereka siap untuk mengeroyok dua orang nona cantik itu. Melihat gelagat tidak baik ini, Yosiko lalu mengangkat tahgannya dan berkata nyaring,

“Baiklah, kalian orang-orang tiada guna! Kalian berani menghinaku, berani mengira bahwa Yosiko memihak musuh? Biar kubuktikan bahwa aku tidak takut terhadap musuh. Kamatari, kau sampaikan surat tantanganku kepada panglima pasukan musuh. Biar kutantang dia maju dan bertanding satu lawan satu denganku, sampai dia atau aku yang mampus. Selama dia bertanding denganku, karena tidak ada pimpinan, tentu pasukannya juga lengah. Nah, pada saat itu boleh Bong-twako memimpin orang-orangnya mengadakan serbuan besar-besaran. Bagaimana?”






Wajah orang-orang disitu menegang. Kamatari yang diam-diam menaruh rasa sayang kepada Yosiko berkata,

“Tapi….. tapi….. bukankah itu berbahaya sekali? Pemimpin mereka, panglima muda itu, kabarnya lihai bukan main.”

“Siapa takut dia? Lakukah perintahku, habis perkara!”

Yosiko lalu menyuruh anak buahnya menyediakan alat tulis, kemudian dengan huruf-huruf tebal ia menulis surat tantangan yang ditujukan kepada “Panglima muda she Bun” dari Tai-goan! Panglima muda itu ditantang untuk mengadakan “duel” di tepi laut untuk menentukan siapa lebih unggul antara pemimpin bajak laut dan pemimpin pasukan kota raja.

Malam hari yang gelap gulita itu menyembunyikan gerak-gerik Kamatari yang menancapkan surat tantangan itu dengan sebatang anak panah di batang pohon besar yang tumbuh diluar perkemahan pasukan pemerintah. Keesokan harinya, ributlah para pasukan pemerintah ketika melihat surat ini dan cepat-cepat mereka menyampaikan kepada Bun Hui.

Bukan main bingungnya hati panglima niuda ini ketika membaca surat tantangan Yosiko. la ingin mencari jalan damai dengan gadis kepala bajak yang telah merebut hatinya itu, siapa kira si gadis malah menantangnya untuk melakukan pertandingan secara terbuka! la maklum bahwa gadis itu kepandaiannya tinggi, dan bahwa belum tentu dia dapat menang. Hal ini bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya, akan tetapi dengan adanya surat tantangan ini, habislah jalan untuk dapat mengadakan perdamaian, untuk dapat menginsyafkan Yosiko.

Kalau surat tantangan macam itu tidak dia terima, tentu dia akan menjadi bahan ejekan orang. Kalau dia terima dan mereka bertanding, tentu seorang diantara mereka akan tewas!

Selagi Bun Hui kebingungan dan termenung di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang dan ternyata orang ini adalah Yo Wan. Bun Hui cepat mempersilakan pendekar ini dengan ramah.

“Saudara Bun, mengapa bingung memikirkan pertandingan melawan Yosiko?” tanya Yo Wan sambil tersenyum.

Muka Bun Hui menjadi merah ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula.
“Yo-twako bagaimana tahu bahwa aku bingung memikirkan pertandingan itu?”

“Ah, aku tahu semua, saudara Bun. Jangan khawatir, aku mendapat akal agar kau dapat mengalahkan Yosiko dengan mudah seperti yang terjadi kemarin dulu.”

Sejenak Bun Hui melongo, kemudian dia tersenyum maklum dan meloncat dari tempat duduknya, memegang tangan Yo Wan.

“Wah, kiranya kau yang telah membantuku, Yo-twako? Ah, pantas saja begitu mudah aku mendapat kemenangan! Mengapa kau lakukan itu, Yo-twako?”

“Bun-lote, ada sebabnya mengapa aku membantumu. Seperti juga engkau, aku merasa sayang melihat Yosiko dan tidak ingin melihat dia tersesat lebih jauh. Dia sebetulnya adalah seorang gadis baik, keturunan keluarga Raja Pedang, berdarah pendekar. Sayang dia terdidik dalam lingkungan liar. Oleh karena itu, aku akan merasa girang sekali kalau kau berhasil menundukkan dia, Bun-lote, membujuknya kembali ke jalan benar dan membubarkan anak buahnya. Kau hadapilah dia dan kau akan menang!”

“Tapi….. aku belum yakin bahwa aku akan bisa menang, Yo-twako. Ilmu pedangnya hebat dan karenanya aku tahu bahwa yang menjatuhkannya kemarin dulu bukanlah aku. Tanpa bantuanmu, belum tentu aku menang, atau andaikata dapat mencapai kemenangan juga, kiranya harus melalui pertandingan mati-matian dan seorang diantara kami harus tewas di ujung pedang!”

Keperihan hati Bun Hui terbayang pada wajahnya yang tampan dan diam-diam Yo Wan merasa geli. Cinta kasih memang tidak memilih bulu, tidak memandang pangkat, kedudukan, ataupun keadaan orang yang dicinta. Melihat kedudukannya, semestinya Bun Hui menganggap Yosiko sebagai musuh besar yang harus dibasminya, akan tetapi bahkan rintangan berat ini dapat dilalui dengan mudah oleh cinta kasih.

“Bun-lote, kau cinta kepada Yosiko, bukan?”

Ditanya begini langsung Bun Hui merasa seakan-akan diserang tusukan pedang yang langsung menembus jantungnya. Wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya, dan dengan gagap dia menjawab,

“Aku….. aku tertarik kepadanya…..”

“Kau cinta padanya?”

“Aku….. aku suka…..”

“…..dan cinta padanya?” Akhirnya Bun Hui mengangguk. “Nah, karena itu kau harus menangkan dia, Lote. Yosiko seorang gadis yang cukup pantas dilindungi. la memang berwatak aneh dan akan tunduk jika kau dapat memenangkannya. Karena itu, kau harus menang.”

“Bagaimana caranya? Aku belum tentu dapat…..”

“Waktu yang ia tentukan untuk bertanding masih tiga hari lagi. Biarlah aku menurunkan beberapa jurus ilmu pukulan pedang kepadamu. Aku sudah hafal akan ilmu pedang Yosiko, pernah aku bertanding melawan dia dan aku tahu dimana letak kelemahan-kelemahannya. Memang dia pandai, ilmu pedangnya adalah Sian-li Kiam-sut yang sudah tercampur ilmu lain, juga ia pandai Ilmu Langkah Hui-thian-jip-te. Akan tetapi dengan ilmu pedangmu Kun-lun Kiam-sut, kau tentu dapat menghadapinya dan mempertahankan diri. Jika kau melihat kesempatan baik, nah, kau gunakan jurus-jurus yang kuajarkan, tentu ia akan roboh. Kau perlihatkan baik-baik, Lote. Kalau kau melihat dia berada dalam kedudukan langkah seperti ini, nah, kau lalu pergunakan jurus ini sebagai pancingan, dan tentu dia akan bergerak begini, maka kau cepat-cepat menekan pedangnya dan menyapu kaklnya dengan jurus ini.”

Sambil bicara Yo Wah memberi contoh gerakan yang diperhatikan baik-baik oleh Bun Hui. Yo Wan menurunkan lima jurus serangan, disesuaikan dengan keadaan atau posisi yang akan dilakukan Yosiko. Dengan tekun Bun Hui mempelajarinya selama tiga hari sehingga dia hafal betul.

“Kau pasti akan berhasil, Bun-lote. Andaikata tidak, percayalah, aku takkan berada jauh dan akan menggunakan akal lain. Kalau dia sudah mengaku kalah, kau bujuk dia supaya membubarkan anak buahnya dan mengusir mereka dari wilayah ini, kemudian kau ajak dia pergi ke Thai-goari menghadap ayahmu untuk kau mintakan ampun. Tentang bagaimana kau membujuk ayahmu supaya mengambilnya sebagai mantu, terserah…..” Yo Wan tertawa melihat Bun Hui menjadi merah mukanya.

“Terima kasih, Yo-twako. Baru satu kali aku bertemu denganmu, akan tetapi kau sudah begini baik kepadaku…..”

“Bukan satu kali, Bun-lote. Pernah aku mengunjungi gedung ayahmu beberapa bulan yang lalu, mengunjungi tempat tahanan untuk membebaskan adik Siu Bi”.

“Ahhh…..!” Bun Hui berseru kagum. “Kiranya kau yang melakukan hal itu, Yo-twako? Kau benar-benar lihai! Akan tetapi….. mengapa kau menolong nona Siu Bi?” Bun Hui mengerutkan kening lalu menyambung, “Kau adalah murid Pendekar Buta, sedangkan nona Siu Bi bermaksud membalas dendam kepada Pendekar Buta sekeluarga, bahkan kini berhasil membuntungi lengan Swan Bu.”

Yo Wan meriarik napas panjang.
“Dia hidup sebatangkara, seperti aku, patut dikasihani. Tentang dendam dan balas membalas itu, ahhh…… bukan salah Siu Bi. la hanya menjadi korbah pendidikan keliru, seperti….. Yosiko. Kasihan Siu Bi, dan kasihan Swan Bu…..”

Bun Hui mengerti apa yang dimaksudkan Yo Wan, maka keduanya berdiam sejenak, tenggelam dalam keharuan hati masing-masing. Kemudian Bun Hui kembali berlatih jurus-jurus yang dia terima dari Yo Wan sampai Yo Wan merasa puas karena gerakan Bun Hui sudah boleh dibilang cukup memenuhi syarat.

**** 117 ****





No comments:

Post a Comment