Ads

Monday, March 11, 2019

Jaka Lola Jilid 118

Saat pertandingan antara pimpinan bajak dan pimpinan pasukan pemerintah tiba, seperti yang diajukan dalam surat tantangan Yosiko. Tempatnya di tepi laut, dimana tiga hari yang lalu Bun Hui sudah mengadu ilmu melawan Yosiko.

Pagi hari itu, Bun Hui dengan ditemani Tan Hwat Ki, Kwa Swan Bu, Tan Cui Sian, dan Bu Cui Kim, mendatangi tempat itu dengan langkah kaki tenang. Tentu saja Bun Hui besar dan tabah karena di sebelahnya berjalan empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sehingga andaikata terjadi pengeroyokan, dia tidak usah merasa khawatir.

Sesungguhnya, andaikata para bajak laut itu melakukan pertempuran secara terbuka, dia dengan bantuan empat orang muda perkasa ini, apalagi ditambah dengan Yo Wan sudah cukup untuk membasmi para bajak laut. Akan tetapi celakanya, para bajak laut itu tidak pernah melakukan pertempuran terbuka, melainkan melakukan penyerangan tiba-tiba dan di waktu malam secara diam-diam dan curang! Ini yang menyebabkan sukarnya usaha pembasmian para bajak itu.

Di lain fihak, Yosiko sudah muncul pula dengan pakaian serba putih yang ringkas, sikapnya gagah dan wajahnya cantik sekali, membuat jantung Bun Hui makin berdebar kencang, seakan-akan dia merasa bahwa pertemuannya dengan Yo-siko ini bukan pertemuan untuk bertanding, melainkan pertemuan sebagai pengantin!

Yosiko diiringkan oleh empat orang pula, yaitu empat orang kepala bajak, sedangkan belasan orang anggauta bajak pilihan kelihatan agak jauh di belakang, merupakan pasukan pengawal.

Swan Bu sudah mendengar bahwa Siu Bi berada bersama Yosiko, kini tidak melihat kekasihnya itu muncul bersama Yosiko, dia tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi lalu melangkah maju dan bertanya,

“Kaukah pangcu dari Hek-san-pang? Aku mendengar bahwa Siu Bi bersamamu. Dimana kau menahan dia? Lekas bebaskan dia dan jangan bawa-bawa dia dalam kejahatanmu!”

Yosiko hanya memandang tajam dan sebelum ia sempat menjawab, dari sebelah kirinya, terdengar Bong Kwan si kepala bajak pucat kurus membentak marah, agaknya menunjukkan wibawa.

“Bocah buntung mengapa banyak mulut? Tutup mulutmu, atau aku akan membuntungi lenganmu yang sebelah lagi!”

Penghinaan yang tak tersangka-sangka ini membuat Yosiko dan fihak Bun Hui terkejut sekali sehingga mereka tak dapat berkata-kata. Swan Bu dengan muka tenang seperti biasa, akan tetapi sepasang matanya memancarkan api, bertanya,

“Kau siapakah, orang gagah?”

Bong Kwan yang pucat kurus membusungkan dada, karena ucapan Swan Bu yang merendah itu dia anggap sebagai tanda gentar terhadap dirinya.

“Aku Bhong Kwan berjuluk Si Ular Terbang!”

“Dengan apa kau hendak membuntungi lenganku yang sebelah ini?”

Swan Bu bertanya lagi, wajahnya masih tenang seperti biasa, hanya suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia menahan kemarahan yang meluap-luap.

“Dengan apa? Hah, dengan golokku ini!” kembali Bong Kwan menyombong sambil mencabut goloknya.

Inilah agaknya yang dikehendaki Swan Bu. Terdengar ucapannya,
“Bersiaplah!” dan tubuhnya berkelebat lenyap, yang tampak hanya gulungan sinar pedang berkelebat bagaikan halilintar menyambar ke depan, kearah Bong Kwan.

Kejadian ini begitu cepatnya sehingga tidak ada yang dapat mencegah. Bong Kwan sendiri segera menggerakkan goloknya membacok sinar berkeredepan yang menyambarnya itu.

Terdengar bunyi “Tranggg!” diiringi pekik kesakitan dan ketika semua orang memandang, ternyata Swan Bu sudah melesat kembali dan berdiri seperti biasa, pedangnya masih tergantung di dalam sarung pedang, wajahnya biasa seperti tadi. Akan tetapi di fihak sana, Bong Kwan berkelojotan dan mengerang-erang kesakitan, golok berikut lengan kanannya telah terbabat buntung!






Kejadian ini terjadi amat cepatnya sehingga semua orang melongo dan kaget. Pasukan bajak laut lalu berlarian datang, dan atas perintah Bong Ji Kiu si cambang bauk yang marah sekali melihat adiknya menjadi buntung, mereka menggotong pergi Bong Kwan dari tempat itu.

Diam-diam Yosiko kagum bukan main. Ilmu pedang si pemuda buntung kekasih Siu Bi itu hebat bukan main, membuat ia merasa gentar juga. Dia sendiri merasa yakin bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung putera Pendekar Buta yang luar biasa itu, dan bergidiklah ia kalau mengingat betapa Bun Hui didampingi orang-orang yang begitu lihai.

Alangkah banyaknya orang lihai di dunia ini dan ia teringat akan ucapan Yo Wan betapa kelirunya kalau ia memilih jodoh orang yang terlihai kepandaiannya. Di dunia ini kiranya sukar dicari orang yang paling pandai, karena tentu ada saja yang melebihinya.

“Ah, tidak keliru Siu Bi memilih!” Ucapan ini tak terasa keluar dari mulut Yosiko. “Kau putera Pendekar Buta yang bernama Swan Bu? Jangan khawatir, Siu Bi tidak ditahan, ia tidak ikut muncul karena takut kepada dia ini!” la menudingkan telunjuknya kearah Cui Sian sambil mengerling nakal. “Dia galak benar sih! Akan tetapi Siu Bi titip pesan bahwa dia selalu menantimu dengan setia.”

Wajah Swan Bu berseri mendengar ini, akan tetapi dia hanya mengangguk, merasa agak malu untuk menjawab.

“He, Bun-ciangkun, kau datang bersama begini banyak orang lihai, apakah kau merasa jerih terhadap aku dan hendak mengandalkan pengeroyokan mereka ini untuk mengalahkan aku?”

“Ihhh, sombongnya!” Cui Sian membentak. “Aku sendiripun cukup untuk membereskan orang seperti kau ini, masa harus mengeroyok?”

Yosikp tersenyum kepadanya.
“Aku bicara dengan Bun-ciangkun, siapa minta kau turut campur? Eh, Bun-ciangkun, bagaimana jawabmu?”

“Mereka hanya menemaniku sebagai saksi,” jawab Bun Hui. “Kulihat kau juga membawa teman, apa bedanya?”

“Kalau begitu biar kita suruh mereka menyingkir mundur yang jauh. Aku hanya ingin bicara dan bertanding denganmu, yang lain-lain tak boleh mencampuri!”

Tanpa diminta Cui Sian lalu mengajak Swan Bu, Hwat Ki, dan Cui Kim untuk mengundurkan diri dan berdiri dari jauh, hanya untuk menjaga kalau-kalau musuh mempergunakan tipu curang.

Dari tempat mereka berdiri, mereka hanya dapat melihat, akan tetapi tidak dapat mendengar kata-kata mereka berdua. Juga Bong Ji Kiu dan dua orang temannya lalu mengundurkan diri di tempat pasukan anak buah mereka, juga cukup jauh dari tempat pertandingan.

“Nah, sekarang kita hanya berdua. Bebas untuk bicara. Nona Yosiko, sebetulnya apakah maksudmu mengadakan tantangan seperti ini? Sudah kukatakan dahulu bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu, malah ingin menawarkan perdamaian.”

“Hemmm, pertandingan antara kita tempo hari belum selesai. Sekarang kita selesaikan dengan perjanjian, kalau kau kalah, kau harus menarik pulang pasukanmu dan jangan mengganggu kami lagi.”

“Kalau kau yang kalah?”

“Kalau aku yang kalah, aku tetap memegang janjiku lima hari yang lalu, aku menyerah dan menurut segala kehendakmu.”

“Nona…., betulkah itu? Kau takkan melanggar Janji?”

“Janji lebih berharga daripada nyawa.”

Gemetar suara Bun Hui ketika dia berkata,
“Nona, kalau Thian mengabulkan dan aku berhasil menangkan engkau, aku hanya minta agar kau membubarkan semua bajak, melarang mereka melakukan perbuatan jahat lagi, kemudian kau ikut bersamaku ke Thai-goan, kuhadapkan ayah, kumintakan ampun….. bagaimana, setujukah engkau?”

Yosiko mengangguk.
“Aku sudah berjanji, dan aku menurut segala kehendakmu.”

“Bagus! Mari kita mulai, mudah-mudahan aku akan menang,” kata Bun Hui gembira.

Mereka mencabut pedang masing-masing dan memasang kuda-kuda.

“Akan tetapi kau harus mempergunakan ilmu pedang, jangan menggunakan ilinu sihir seperti dahulu,” kata Yosiko sebelum mulai.

Bun Hui tersenyum. Yang disangka llmu sihir itu tentulah bantuan Yo Wan secara diam-diam.

“Tidak, aku hanya akan menggunakan ilmu silatku, akan tetapi kaupun harap jangan menggunakan senjata gelap dan segala racun.”

“Baiklah, mulailah!”

Bun Hui menggerakkan pedangnya menyerang dan beberapa menit kemudian mereka sudah saling terjang dengan hebat dan seru. Sebetulnya hanya Yosiko yang terus-menerus melakukan penyerangan, karena mentaati pesan Yo Wan, Bun Hui tidak mau menyerang, hanya melindungi tubuhnya dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat kuat.

Pedangnya membentuk benteng baja yang sukar ditembus sehingga makin penasaran hati Yosiko. Namun, biarpun hanya mempertahankan diri, Bun Hui selalu mengincar kedudukan kaki Yosiko untuk menanti kesempatan seperti yang diajarkan oleh Yo Wan.

Kesempatan pertama terbuka ketika Yosiko menyerangnya dengan mengembangkan lengan kiri dan menusukkan pedang ke dadanya. Kedudukan kaki dan posisi badan gadis itu persis seperti yang diajarkan Yo Wan kepadanya. Cepat dia miringkan tubuh ke kiri seperti diajarkan Yo Wan, kemudian pedangnya berkelebat menyabet lengan kiri gadis yang dikembangkan itu dengan cepat sekali.

Kagetlah Yosiko menghadapi serangan balasan ini. Lengan kirinya terancam bahaya dan serangan balasan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah ia sangka karena justeru kelemahan kedudukannya adalah pada lengan kiri itu.

Tepat seperti diperhitungkan dan diajarkan Yo Wan kepada Bun Hui, gadis itu menarik lengan kirinya dan melangkah mundur setindak dengan kaki kiri pula. Bun Hui mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram dengan tangan kirinya kearah pedang si gadis sambil berseru,

“Lepaskan pedang!”

Kembali Yosiko terkejut sekali dan cepat ia menarik gagang pedangnya sambil menggoyang pergelangan tangan untuk menangkis cengkeraman itu dengan mata pedang.

Akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu yang, betul-betul menyerang adalah pedang di tangan kanan Bun Hui. Pedang itu berkelebat dan….. putuslah sabuk sutera yang mengikat pinggang Yosiko, putus kedua ujungnya yang berkibar-kibar!

“Ihhh…..!!” Yosiko meloncat lagi air mukanya menjadi merah sekali.

“Maaf…… tidak sengaja…..” kata Bun Hui sambil tersenyum.

“Aku belum kalah!” kata Yosiko menutupi rasa malunya dan pedangnya berkelebat lagi melakukan serangan yang lebih hebat.

Bun Hui yang sudah siap cepat memutar pedangnya melindungi tubuh dan kembali mereka bertanding dengan seru. Pedang mereka berkali-kali bertemu mengakibatkan bunyi nyaring dan percikan bunga api.

Kesempatan kedua tiba ketika Bun Hui melihat posisi menyerang lawannya dengan tubuh miring. Cepat ia “memasuki” lowongan dengan memukulkan tangan kirinya kearah pundak sambil menangkis pedang Yosiko.

Tepat seperti yang diajarkan Yo Wan. Yosiko mengelak sambil menusukkan pedangnya dari samping. Cepat bagaikan kilat karena sudah menduga akan perubahan atau perkembangan kaki Yosiko, Bun Hui menekan pedang lawan ke bawah dan selagi gadis itu mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, kaki Bun Hui menyapu dan…., terjungkallah Yosiko!

Namun gadis itu dapat cepat melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. la terheran-heran karena seakan-akan pemuda itu mengenal baik jurus-jurusnya dan tahu pula akan perubahannya, kalau tidak demikian bagaimana dapat tahu bahwa pada saat itu kelemahannya terletak pada kedudukan kakinya sehingga dapat melakukan penyerangan yang begitu tepat?

“Maaf…..!” untuk kedua kalinya Bun Hui berkata perlahan.






No comments:

Post a Comment