Ads

Friday, March 8, 2019

Jaka Lola Jilid 105

“Karena itu….. bagaimana, Yosiko? Kau melukai aku dengan jarum beracun, kemudian kau menolongku di laut dan merawatku disini. Apa kehendakmu?”

Yosiko masih tersenyum, akan tetapi kini tidak selancar tadi ia menjawab, bahkan kelihatan gagap,

“Yo Wan, tak mengertikah kau? Aku….. aku….. karena kau jauh lebih lihai daripada Tan Hwat Ki, aku….. aku memilih engkau!”

Diam-diam Yo Wan merasa terharu sekali. Gadis ini amat polos dan jujur, terang bahwa didalam sanubari seorang gadis seperti ini terkandung watak yang bersih dan tidak dibuat-buat. Mungkin gadis ini belum pernah mengenal rasa cinta kasih antar muda sehingga dalam soal pemilihan jodoh, sama sekali ia tidak mendasarkan pada cinta, melainkan pada “tingkat kepandaian” Dan semua itu ia kemukakan dengan jujur dan apa adanya!

“Hennmm…..! Dan ibumu, mengapa tadi ia menyerangku mati-matian?”

“Ibu tidak percaya kepadaku akan kelihaianmu, tidak puas kalau tidak mencoba sendiri.”

Ah, anaknya gila ibunya sinting, gerutu Yo Wah di dalam hatinya. la pernah tertarik sekali kepada Siu Bi dan agaknya kali ini dia akan jatuh cinta oleh gadis aneh yang jelita ini kalau saja hatinya tidak sudah terampas oleh Cui Sian puteri Raja Pedang!

Setelah dia mengenal Cui Sian yang berhasil menjatuhkan hatinya dan merenggut cinta kasihnya, kini Yo Wan menganggap Yosiko sebagai seorang bocah yang nakal. la harus segera membebaskan diri dari ibu dan anak ini, akan tetapi kalau lukanya belum sembuh, agaknya tidak mungkin hal itu dia lakukan. Gadis ini sudah cukup berbahaya, apalagi disitu masih ada ibunya yang lihai. la harus bersabar dan menanti sampai lukanya sembuh betul.

Berpikir demikian, Yo Wan lalu merebahkan dirinya tanpa berkata apa-apa.

“Bagaimana? Menarikkah penuturanku?” tanya Yosiko.

“Menarik juga, tapi sudahlah. Aku mau tidur.”

Yosiko merengut gemas.
“Bagaimana pendapatmu? Kau tentu tidak keberatan menjadi pilihanku?”

Edan, pikir Yo Wan. Terpaksa dia menjawab,
“Yosiko, kau memandang terlalu rendah tentang perjodohan. Apa kau kira syarat kebahagiaan perjodohan adalah ilmu silat yang tinggi? Apakah kalau kau menjadi isteri seorang ahli silat yang lebih lihai dari padamu, hidupmu lalu bahagia?”

“Tentu saja!” jawab Yosiko tanpa ragu-ragu lagi. “Ayah tewas karena kepandaiannya kurang tinggi, sehingga ibu menjadi janda. Bukankah itu celaka sekali? Seandainya ayah berkepandaian tinggi seperti engkau, kiranya sekarang ayah masih hidup. Dengan seorang suami yang kepandaiannya paling tinggi hidupku akan terjamin, karena itu aku memilih engkau!”

Yo Wan menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, akan tetapi dia tidak bangkit dari pembaringan.

“Yosiko, agaknya kau sejak kecil hidup dikelilingi kekerasan dan kekejaman, sehingga kau tidak mempedulikan tentang perasaan. Apakah kau tidak mempunyai perasaan halus? Apakah ibumu tidak pernah memberi tahu kepadamu bahwa syarat perjodohan adalah kasih sayang?”

“Tentu saja sudah!” Yosiko tersenyum lagi, matanya bersinar-sinar gembira. “Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?”

Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. Sukar bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. la harus bicara dengan ibu gadis ini yang tentu lebih mudah diajak bicara. Diam-diam diapun kasihan kepada Yosiko karena kalau dibiarkan demikian, kelak mungkin sekali berjodoh dengan seorang pria tanpa kasih sayang sehingga akhirnya akan merana dalam kesengsaraan batin.

Hatinya lega juga karena kini dia yakin bahwa perawatan gadis itu, sikap manisnya, bukan terdorong oleh rasa cinta yang dia khawatirkan, melainkan oleh rasa kagum akan kepandaiannya sehingga dia dipilih menjadi calon jodoh dan karenanya harus dirawat sampai sembuh! Diam-diam Yo Wan merasa seakan-akan dirinya menjadi seekor binatang peliharaan terkasih yang sedang sakit!

“Bagaimana, Yo Wan? Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?”






Yo Wan menarik napas panjang.
“Sudahlah, Yosiko, biarkan aku mengaso. Kelak kalau aku sudah sembuh, hal ini akan kita bicarakan bersama ibumu. Tentu saja aku sayang kepadamu, kau gadis yang baik.”

Girang sekali hati Yosiko dan wajahnya berseri. la cepat mengambil sehelai selimut dan menyelimuti tubuh Yo Wan yang segera tidur nyenyak. Yosiko juga berbaring diatas sebuah pembaringan kayu kecil di sudut ruangan, wajahnya kelihatan puas dan berseri.
Menjelang pagi, Yo Wan terbangun dari tidurnya ketika dia mendengar orang berseru girang,

“Dia disini…..!”

Sebagai seorang ahli silat yang lihai, begitu sadar Yo Wan sudah meloncat turun dari pembaringannya, siap menghadapi bahaya. Akan tetapi wajahnya berubah ketika dia melihat sepasang muda-mudi dari Lu-liang-pai yang berdiri di mulut gua dan memandang kepadanya dengan terheran, apalagi ketika mereka memandang kepada Yosiko yang juga sudah duduk diatas pembaringannya.

Tentu saja Yo Wan menjadi jengah dan bingung. Betapa tidak? Orang melihat dia berduaan dengan seorang gadis cantik dalam sebuah gua, melewatkan malam disitu! Dilain fihak, Tan Hwat Ki dan sumoinya yang tidak mengenal keadaan Yo Wan, tentu saja mengira bahwa wanita itu tentu ada hubungannya dengan pendekar yang telah menolong mereka.

“Saudara yang gagah, kiranya kau berada disini dan dalam keadaan selamat. Syukurlah…..” kata Hwat Ki sambill melirik kearah Yosiko.

Lirikan inilah yang membuat Yo Wan cepat-cepat memperkenalkan,
“Aku juga girang melihat kalian selamat dan….. Nona ini….. eh, dia nona Yosiko…..”

“Apa…..? Dia….. dia ketua Kipas Hitam…..?”

Yosiko tersenyum, sepasang matanya yang puas tidur itu berseri.
“Aku adiknya!”

“Srattt!”

Tampak sinar hitam berkelebat ketika Bu Cui Kim mencabut Hek-kim-kiam dan sambil berseru nyaring nona ini menerjang maju kearah Yosiko.

“Eh, ah, galaknya…..!” Yosiko mengejek dan sekali meloncat ia telah menghindarkan diri.

“Sumoi…..!” Hwat Ki berseru bingung.

“Suheng, tidak lekas-lekas membantu aku membasmi bajak laut mau tunggu apa lagi?”

Bu Cui Kim berseru dan terus menyerang lagi. Hwat Ki menjadi merah mukanya, akan tetapi biarpun tadinya dia ragu-ragu, mengingat betapa lihainya Yosiko, dia sudah mencabut pedangnya pula dan melompat maju untuk membantu sumoinya.

“Tahan senjata!”

Yo Wan berseru sambil melangkah maju. Suaranya berpengaruh sekali sehingga tidak saja Hwat Ki dan Cui Kim menghentikan penyerangannya, juga Yosiko yang sudah memegang pedangnya, berhenti dan memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang muda Lu-liang-san itu.

“Saudara Tan Hwat Ki, ketahuilah bahwa nona Yosiko bukanlah orang lain, melainkan saudara misanmu sendiri. Dia adalah puteri dari bibimu Tan Loan Ki yang menikah dengan seorang pendekar Jepang.”

Tentu saja Hwat Ki sudah mendengar nama-nama ini dari ayahnya, maka dia memandang dengan bingung, kemudian dia menatap wajah Yo Wan penuh curiga.

“Kau siapakah? Bagaimana mengetahui namaku?”

Yo Wan menjura sambil tersenyum.
“Aku Yo Wan…..”

Hwat Ki terkejut.
“Apa? Kau murid paman Kwa Kun Hong Pendekar Buta?”

“Ahhh…..!” Seruan ini keluar dari mulut Cui Kim dan mulut Yosiko.

“Beliau adalah suhuku yang terhormat,” jawab Yo Wan sederhana.

“Saudara Yo….. tapi….. tapi mengapa dia menjadi….. eh, ketua bajak laut? Dan dimana pula bibi Loan Ki?”

“Suheng, biarpun masih ada ikatan keluarga, kalau jahat harus kita basmi!” Cui Kim berseru, matanya masih melotot marah.

“Yo Wan, dua orang ini bersekongkol dengan orang pemerintah, anak buahku banyak yang tewas. Biarkan kubunuh mereka!” bentak Yosiko pula.

Yo Wan maklum akan sulitnya keadaan. Kalau dibiarkan, tiga orang ini tentu akan bertanding mati-matian. la mengangkat kedua tangannya dan berkata, suaranya keren.

“Tidak boleh! Saudara Hwat Ki, biarlah lain kali aku menerangkan semua ini kepadamu. Sekarang kuminta dengan hormat agar kau dan sumoimu meninggalkan tempat ini dan kuminta pula agar kau tidak memberitahukan tempat ini kepada orang lain.”

Hwat Ki meragu. Cui Kim mengomel,
“Mana bisa? Dia bajak…..”

Akhirnya Hwat Ki menjura kepada Yo Wan.
“Saudara Yo Wan, karena kau pernah menolong kami, maka aku percaya kepadamu, apalagi mengingat bahwa kau adalah murid paman Kwa Kun Hong. Namun, aku tetap mengharapkan penjelasanmu kelak mengapa kau melarang kami.” Setelah berkata demikian, Hwat Ki mengajak sumoinya keluar dari gua itu.

Setelah dua orang muda itu pergi, Yosiko mengomel,
“Yo Wan, mengapa kau menghalangi aku membunuh dua orang itu? Mereka musuh Kipas Hitam…”

“Mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa, pembasmi kejahatan, apalagi Tan Hwat Ki adalah putera Lu-liang-pai, cucu Raja Pedang. Mana mungkin aku membiarkan dia terbunuh? Aku tidak menghendaki permusuhan dengan kau dan kalau kau menyerangnya, terpaksa aku membantunya.”

Dengan muka masih cemberut Yosiko berkata,
“Hemmm, kau memang tak kenal budi, tidak mengasihani orang. Hwat Ki sendiri saja kepandaiannya sudah lebih lihai daripada aku, melawan dia saja aku belum tentu dapat menang, kau masih hendak membantunya. Sama saja dengan kau dan dia sengaja hendak membunuh aku!”

Aneh sekali, secara tiba-tiba gadis itu menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja air matanya bercucuran keluar, karena segera dihapusnya dan sikapnya kembali keras.

“Kau mau bunuh aku, mengapa masih memakai jalan memutar, plintat-plintut? Mau bunuh hayo bunuh!”

“Eh-eh, kenapa kau mengamuk tidak karuan, Yosiko? Siapa ingin membunuhmu? Aku bilang membantu mereka, yaitu kalau kau hendak membunuh mereka, karena biarpun ilmu silatmu kalah lihai, namun akalmu lebih banyak dan tipu muslihatmu mungkin akan mengalahkan mereka berdua. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu mereka mengancam keselamatanmu dan hendak membunuhmu, sudah tentu akan kuhalangi niat mereka dan kubela engkau.”

Seketika berubah wajah Yosiko, kemarahannya lenyap bagaikan awan tipis ditiup angin. Akan tetapi ia masih mencela,

“Yo Wan, kalau memang kau suka kepadaku, mengapa kepalang tanggung? Kalau kau membenciku, juga kenapa tidak terus terang saja? Kau orang aneh ….. tapi sudahlah, kau mengaso biar sembuh, baru kita bicara lagi. Sebentar lagi ibu tentu akan mengantarkan obat yang kuminta, atau aku akan mencari kesana.”

Yo Wan tidak mau membantah lagi. la maklum bahwa menghadapi seorang gadis remaja yang galak ini, lebih baik dia menutup mulut dan bersabar sampai dia sembuh benar. Kalau dilawannya cekcok mulut tentu akan menjadi-jadi dan hal ini amat tidak baik baginya.

Di tempat lain, terjadi percekcokan lain lagi. Semenjak meninggalkan gua yang dijadikan tempat persernbunyian ketua Kipas Hitam itu, Bu Cui Kim tampak cemberut dan pendiam. Beberapa kali Hwat Ki mengajaknya bicara, akan tetapi sumoinya yang biasanya amat ramah dan taat kepadanya, kini hanya menjawab singkat-singkat saja, kadang-kadang bahkan tidak menjawab sama sekali. Seakan-akan kegembiraan dan semangat sumoinya tertinggal di gua!






No comments:

Post a Comment