Ads

Friday, March 8, 2019

Jaka Lola Jilid 102

Mendengar pertanyaan Yo Wan tentang muda-mudi dari Lu-liang-san, mata gadis itu berkilat.

“Bocah-bocah kurang ajar itu! Menyesal mengapa aku tidak membunuh mereka saja. Hemmm, semestinya kakakku membunuh mereka dan melempar mayat mereka ke laut agar menjadi makanan ikan hiu, ketika mereka kena tawan!”

Yo Wan mengerutkan kening. Benar-benar gadis ini seperti Siu Bi, liar, ganas. Akan tetapi, ucapan itu melegakan hatinya karena kegemasan gadis itu sudah jelas menyatakan bahwa muda-mudi Lu-liang-san itu tidak tewas, mungkin sudah bebas. Kelegaan hati ini membuatnya tersenyum, tapi karena pundaknya terasa nyeri, senyumnya menjadi senyum menyeringai masam.

“Apa yang terjadi? Siapakah orang-orang di dalam perahu yang menyerang kita….. eh, yang menyerang aku dan….. kakakmu?”

“Mereka itu adalah orang-orang yang dipimpin oleh Jenderal Bun di Tai-goan dipimpin oleh putera jenderal itu sendiri. Mereka berusaha hendak menangkap….. kakakku. Hemmm, tikus-tikus itu mana mampu menangkap ketua Kipas Hitam? Apalagi membasmi Kipas Hitam! Kau lihat saja betapa kami akan menghancurkan mereka nanti.”

Diam-diam Yo Wan terkejut. Kiranya mereka yang menyergapnya dengan Yosiko, yang telah melukai pundaknya, adalah orang-orang pemerintah yang bermaksud membasmi bajak laut. Dan dalam kegelapan malam tentu saja dia yang bersama-sama dengan Yosiko disangka bajak pula! Diam-diam dia mengeluh.

“Dan mereka itu, muda-mudi Lu-liang-san itu, bagaimana dengan mereka?”

“Uh, mereka? Biar dimakan setan neraka mereka itu. Mereka bergabung dengan orang-orang Tai-goan, menyebar kematian diantara anak buah kami. Awas kalau mereka terjatuh ke tanganku!”

Yo Wan girang sekali. Tak salah dugaannya dan tak salah ketika dia membantu muda-mudi Lu-liang-san itu. Mereka adalah pendekar-pendekar muda yang perkasa, sedangkan Yosiko, dan….. adiknya ini kalau benar adiknya, serta semua anak buahnya adalah bajak laut-bajak laut yang ganas dan patut dibasmi. Berpikir demikian, tiba-tiha dia merasa malu. Mengapa dia harus membiarkan dirinya dirawat oleh seorang pemimpin bajak laut? Kalau para pendekar kang-ouw mengetahuinya, alangkah akan rendah dan malunya. Pikiran ini membuat dia serentak bangkit.

Gadis itu kaget.
“Eh, mau apa kau? Mau kemana?”

“Aku harus pergi dari sini! Harus!”

la mengeluh karena pundak kirinya sakit sekali. Dengan tangan kanan dia meraba ke belakang pundak kiri, memegang gagang anak panah dan mengerahkan tenaga mencabutnya. Anak panah tercabut, darah muncrat keluar dan gadis itu menjerit berbareng dengan robohnya tubuh Yo Wan, pingsan diatas perahu!

Gadis itu cepat menerima tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting, lalu dengan cekatan dan kelihatan ringan sekali dia memondong tubuh Yo Wan ke darat dan berlari-Iarilah gadis itu menuju ke sebuah hutan yang penuh dengan bunga, hutan Jeng-hwa-lim.

Bagaikan berlarian di dalam taman bunga miliknya sendiri, gadis itu dengan cepatnya menuju ke sebuah gua yang berada di hutan ini. Indah sekali tempat ini. Letaknya tepat di tepi Sungai Kuning yang terjun ke dalam air Laut Po-hai, lembah yang subur dan indah. Air sungai yang amat tenang itu mengalir tak jauh di depan gua.

Apa yang diceritakan oleh gadis itu kepada Yo Wan memang tidak bohong. Orang-orang di dalam perahu-perahu sunyi gelap pada malam hari itu, bukan lain adalah orang-orang Bun-goanswe yang berusaha membasmi dan menangkap ketua bajak laut, dipimpin sendiri oleh Bun Hui, pemuda putera Bun-goanswe yang tampan dan gagah perkasa.

Adapun Hwat Ki dan Cui Kim, ketika sadar daripada pengaruh obat memabukkan di dalam gedung tempat tinggal ketua Kipas Hitam, roboh kembali oleh Yo Wan yang menyelamatkan mereka daripada sambaran senjata-senjata rahasia ampuh dan berbahaya yang dilontarkan oleh si ketua Kipas Hitam.






Namun sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hwat Ki dan sumoinya sudah meloncat bangun lagi. Mereka tahu bahwa pemuda sederhana yang membantu mereka itu telah terluka dan kini mengejar Yosiko, maka serentak mereka berduapun meloncat melakukan pengejaran.

Akan tetapi begitu tiba di depan gedung, mereka dihadang oleh banyak sekali anak buah bajak laut Kipas Hitam yang bersenjata lengkap. Kemarahan Hwat Ki dan sumoinya memuncak. Mereka tadi sudah memungut pedang masing-masing dan kini sambil berseru marah muda-mudi Lu-liang-pai ini mengamuk. Pedang mereka berkelebatan bagaikan dua ekor naga sakti yang menyambar-nyambar.

Namun para pengeroyok mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan pula. Barisan bajak yang mengeroyok mereka berdua dipimpin oleh tiga orang kakek yang tadi dikalahkan Yo Wan. Agaknya maklum bahwa yang hendak dikeroyok adalah dua orang muda perkasa, maka yang maju adalah anggauta-anggauta bajak laut pilihan yang sedikit banyak sudah memiliki kepandaian silat lumayan.

Seorang demi seorang, para bajak laut itu mulai roboh. Akan tetapi yang datang membantu jauh lebih banyak daripada yang roboh, sedangkan muda-mudi Lu-liang-pai ini masih agak pening karena pengaruh racun tadi, maka keduanya lalu beradu punggung dan mempertahankan diri daripada hujan senjata dari kanan kiri.

Mereka dapat merobohkan seorang dua orang, akan tetapi tidak mampu keluar daripada kepungan yang makin tebal itu. Agaknya para bajak sudah mendapat instruksi dari atasannya untuk bertahan sampai dua orang itu dapat ditangkap atau dibunuh. Keadaan ini bukan tidak berbahaya.

Hwat Ki maklum akan hal ini maka sambil mengeluarkan teriakan keras dia menubruk maju, tangan kirinya menggunakan pukulan-pukulan Cheng-tok-ciang dan terdengarlah pekik berturut-turut ketika empat orang roboh oleh pukulan dahsyat ini!

Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat dan berhasil baik ini ternyata malah mendatangkan malapetaka, karena tiga orang kakek itu yang melihat akan hebatnya Cheng-tok-ciang, lalu memberi aba-aba dan kini para bajak menggunakan obor untuk mengurung Hwat Ki dan Cui Kim!

Pucat wajah kakak beradik seperguruan ini. Menghadapi senjata-senjata tajam dari para pengeroyok, mereka masih mampu mempertahankan diri. Akan tetapi kalau begitu banyaknya pengeroyok menggunakan api untuk menyerang, celakalah mereka!

“Sumoi, terjang kekiri, cari jalan keluar melalui darah mereka!” teriak Hwat Ki kepada adik seperguruan itu. la mendapatkan akal untuk menggabung tenaga menerjang ke kiri, membuka jalan darah.

Cui Kim mengerti akan maksud suhengnya, maka dia segera memutar pedangnya sedemikian cepatnya sehingga seorang pengeroyok yang tidak sempat menangkis, terbabat putus bahu kiri berikut lengannya. Orang itu menjerit ngeri dan roboh. Akan tetapi Cui Kim terpaksa meloncat mundur lagi karena ada empat orang yang menyorongkan obor kepadanya. la merasa ngeri juga dan takut.

Api adalah benda yang amat berbahaya. Sekali mencium ujung pakaiannya, akibatnya tentu amat mengerikan.

Hwat Ki juga berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi para bajak itu ternyata dipimpin oleh orang-orang yang pandai juga, karena agaknya mereka tahu akan niat dua orang muda ini sehingga begitu mereka berdua menerjang ke kiri, bagian ini diperkuat sehingga sukarlah untuk membobolkannya.

“Gunakan jala!!”

Tiba-tiba terdengar perintah dan para bajak itu kini menyeret jala ikan. Ketika mereka mulai menggunakan benda ini, Cui Kim dan Hwat Ki makin kaget. Kiranya jala ikan itu mereka lemparkan ke arah kaki kakak beradik ini.

Hwat Ki dan Cui Kim cepat meloncat, akan tetapi obor-obor menyala menyambut mereka sehingga terpaksa mereka turun lagi menginjak jala. Dapat dibayangkan sukarnya orang bersilat diatas jala-jala ikan yang malang-melintang. Tiba-tiba terdengar Cui Kim memekik karena gadis ini terlibat kakinya dan terguling!

Seorang bajak laut cepat menubruk maju, karena para bajak yang terdiri daripada orang-orang kasar dan liar itu di dalam hati saling berlomba untuk dapat menangkap si gadis cantik dari Lu-liang-san agar sebelum menyerahkannya kepada ketua, mereka dapat memuaskan kekurang-ajaran mereka.

Bajak yang menubruk maju ini berseru girang karena dia merasa menang dalam perlumbaan ini, lebih dulu memeluk Cui Kim. Akan tetapi seruan girang itu berubah seketika pekik mengerikan ketika lehernya ditembusi pedang yang berada di tangan Cui Kim.

Sebagai seorang anak murid Lu-liang-pai yang terkasih, tentu saja gadis ini bukan seorang gadis sembarangan. Biarpun dia sudah terlibat dan jatuh terguling, namun dalam robohnya dia sudah dapat membalikkan tubuh dan bersiap dengan pedangnya. Maka begitu ada bajak yang menubruknya, pedangnya bergerak dan berhasil menusuk tembus leher si bajak, sehingga bajak itu tewas seketika sambil membawa nafsu kekurang-ajarannya ke neraka!

Cui Kim kaget sekali ketika pedangnya sukar dicabut kembali. Agaknya pedang ini menembus tulang, maka tidaklah begitu mudah dicabut, padahal pada saat itu, tiga orang bajak yang melihat kawannya mati dalam keadaan mengerikan, segera maju dengan obor dan golok di tangan. Cui Kim sudah meramkan mata menanti datangnya maut, akan tetapi ia segera membuka matanya kembali ketika di sampingnya roboh berdebukan tiga orang bajak laut itu.

Cepat ia bangkit berdiri dan sekuat tenaga menarik pedangnya, sambil melirik girang kepada suhengnya yang dapat menolongnya dalam waktu yang tepat. Akan tetapi suhengnya kelihatan lelah sekali, juga dia merasa amat lelah biarpun kini berhasil membebaskan kakinya dari libatan jala.

Pada saat kedua orang jago muda dari Lu-liang-pai ini amat terancam kedudukannya, tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah dan kacaulah barisan para bajak laut. Mereka yang mengeroyok Hwat Ki dan Cui Kim makin berkurang dan akhirnya sisa daripada mereka yang roboh tewas, membuang obor mereka dan melarikan diri, menghilang ke dalam gelap setelah terdengar tanda suara seperti terompet.

Apakah yang terjadi? Selagi Hwat Ki dan Cui Kim menduga-duga dengan hati lega karena terbebas daripada bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang memegang pedang yang berlepotan darah.

“Saudara Hwat Ki…..! Syukur kau dan sumoimu selamat…..!”

“Eh, Bun-lote (adik Bun)! Kiranya kau yang menolong kami? Dengan siapa kau datang?” kata Hwat Ki gembira ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Bun Hui.

“Dengan pasukan khusus dari Tai-goan, dibantu pasukan dari Cin-an! Bajak laut Kipas Hitam itu harus dibasmi, mereka mengganas dimana-mana. Kau melihat ketuanya? Dimana dia?”

“Lari, tadi dikejar oleh saudara baju putih yang lihai. Mudah-mudahan tertangkap,” kata Hwat Ki.

“Kemana larinya?”

“Kesana!” kata Cui Kim yang juga girang melihat putera jenderal ini, yang pernah ia jumpai ketika pemuda itu naik ke puncak Lu-liang-san untuk bertemu dengan suhunya.

“Mari kita kejar!”

Mereka bertiga mengejar keluar dan ternyata di sekitar tempat itu sudah penuh dengan anak buah yang dibawa Bun Hui. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut dimana anak buah Bun Hui dengan perahu-perahu mereka mengepung Yosiko, mereka kecewa mendengar betapa ketua Kipas Hitam itu berhasil melenyapkan diri sambil menyelam.

Yang amat khawatir dan kaget hatinya adalah Hwat Ki dan Cui Kim. Mereka mendengar dari orang-orang kerajaan ini bahwa mereka berhasil memanah seorang pemuda, entah ketua Kipas Hitam entah bukan karena tadinya ada dua orang pemuda yang berenang seakan-akan berkejaran atau hendak melarikan diri. Hwat Ki dan sumoinya khawatir, jangan-jangan penolong mereka itu yang terkena anak panah!

Mereka semua harus terus melakukan pengejaran dan mencari-cari. Hwat Ki dan sumoinya memisahkan diri, juga mereka berdua mencari. Kalau Bun Hui dan para anak buahnya mencari jejak para bajak laut yang hendak mereka basmi, adalah kedua orang muda dari Lu-liang-san ini mencari jejak pemuda baju putih yang telah menolong mereka.

Mereka berdua dapat membayangkan betapa berbahayanya keadaan mereka ketika mereka roboh oleh makanan yang mengandung racun. Mereka sudah pingsan dan tidak berdaya sama sekali. Entah apa yang akan dilakukan oleh ketua Kipas Hitam kepada mereka dalam keadaan pingsan itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya kalau saja tidak muncul pemuda baju putih yang demikian aneh, yang tadinya sudah mereka lihat di dalam restoran di dusun Leng-si-bun.

Melihat cara pemuda pakaian putih itu menggempur Yosiko dan membuat ketua Kipas Hitam itu terdesak hebat, sudah membuktikan bahwa pemuda baju putih itu lihai bukan main. Mereka mencari terus, mencari di sepanjang lembah Huang-ho, menyusuri pantai Sungai Kuning ini.






No comments:

Post a Comment