Ads

Friday, March 8, 2019

Jaka Lola Jilid 101

Yosiko menoleh dan tertawa, kemudian, tiba-tiba lenyaplah kepala yang tertawa itu. Yo Wan terkejut. Celaka, pikirnya. Apakah orang itu tenggelam? Jangan-jangan kakinya diseret ikan buas! Kalau Yosiko kena celaka, berarti dia sendiripun menghadapi bahaya maut.

Akan tetapi tiba-tiba bulu tengkuknya meremang saking ngeri dan kagetnya ketika dia merasa betapa kakinya terjepit sesuatu dan dia ditarik ke bawah! Celaka, pikirnya, tentu ikan buas! Yosiko menjadi korban ikan buas dan kini ikan-ikan itu mulai menyambar kakinya dan menarik ke bawah.

Cepat dia mengerahkan tenaganya dan menggerakkan kaki sehingga sepatunya terlepas. Akan tetapi berbareng dengan terlepasnya sepatu kanannya, ikan yang menggigit kakinya itupun terlepas.

Mendadak ada suara orang tertawa di sebelah belakangnya. Cepat dia menengok dan….. kiranya Yosiko yang tertawa, mentertawakannya.

“Mana kegagahanmu, Yo Wan? Agaknya di air kau tidak segagah di darat!”

Yo Wan menggerakkan tangan kanan meraih untuk menangkap lawan itu, akan tetapi tiba-tiba kepala itu lenyap lagi. Yo Wan terkejut dan maklumlah dia bahwa Yosiko kiranya adalah seorang ahli dalam air! Tentu yang mempermainkannya, yang mencopot sepatunya adalah Yosiko inilah! Berabe, pikirnya. Kalau harus bertanding di air, melihat gerakan Yosiko demikian cepatnya, dia pasti takkan berdaya. Benar saja, Yosiko muncul disana-sini, main kucing-kucingan, sedangkan Yo Wan sudah payah dan lelah sekali.

Mendadak perahu-perahu yang sunyi dan gelap itu tiba-tiba menjadi terang benderang, agaknya ada tanda rahasia yang membuat orang-orang yang bersembunyi di dalam perahu secara serentak memasang lampu penerangan. Terdengar teriakan-teriakan gaduh.

“Itu dia! Benar dia kepala bajak Kipas Hitam. Serbu!”

“Tangkap!”

“Bunuh…..!”

“Hadiahnya besar kalau bisa tangkap dia, hidup atau mati!”

“Mari serbu, hadiahnya bagi rata!”

Ramai sorak-sorai itu dan perahu-perahu hitam tadi mulai bergerak mengurung tempat Yo Wan dan Yosiko main kucing-kucingan di dalam air. Kemudian telinga Yo Wan yang tajam dapat menangkap mengaungnya suara anak-anak panah menyambar. la terkejut sekali, akan tetapi apa dayanya. Di dalam air, dia tidak dapat mengelak atau bergerak secepat di darat, apalagi pundak kirinya mulai kena pengaruh racun. Tiba-tiba….. “ceppp!” pundak kirinya sebelah belakang terkena anak panah yang menancap cukup dalam. Yo Wan mengeluh.

Yosiko mengeluarkan seruan kaget.
“Cepat, tahan napasmu…..!” suara ini hanya terdengar seperti bisikan di dekat telinga Yo Wan, akan tetapi dia mentaatinya, menahan napasnya.

Sebagai seorang ahli Iweekeh tentu saja hal ini mudah dilakukannya dan pada saat itu dia merasa betapa tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air, lalu dibawa berenang sambil menyelam dengan kecepatan luar biasa. Beberapa menit kemudian Yo Wan tidak ingat apa-apa lagi.

Yo Wan bermimpi. la melihat seorang laki-laki sederhana, berpakaian seperti petani, namun berwajah tampan dan bersikap gagah, bersama seorang wanita cantik yang wajahnya diliputi kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya, melambaikan tangan ketika mereka berjalan meninggalkannya.

“Ayah….. ibu…..!”

Yo Wan memanggil, mengeluh karena tidak dapat menggerakkan tubuh untuk mengejar mereka.

la merasa seperti dalam neraka. Api neraka membakarnya, tenaganya habis dan dia tidak berdaya menyingkir dari-pada api yang mengelilinginya itu. Dadanya terasa sesak, kepalanya panas dan serasa hampir meledak. Sekali lagi dia memanggil ayah ibunya untuk minta pertolongan, namun mereka sudah terlalu jauh, hanya tampak bayang-bayang mereka saja, tidak jelas lagi. Betapapun, Yo Wan masih dapat mengenal mereka, ayahnya yang gagah berani, ibunya yang cantik peramah.






Tiba-tiba muncul bayangan seorang gadis jelita. Sejenak dia bingung dan tidak mengenal siapa gadis ini. Wajahnya aneh, sebentar seperti Siu Bi, kemudian berubah seperti Lee Si, berubah lagi seperti wajah Bu Cui Kim, akhirnya menjadi wajah Cui Sian.

Girang hatinya. Berdebar jantungnya. Mulutnya bergerakl hendak memanggil Cui Sian, akan tetapi rasa malu dan rendah diri menahan niatnya. Cui Sian puteri Raja Pedang, mana bisa disejajarkan dengan dia? Dia seorang jaka lola, miskin dan bodoh.

Mendadak semua bayangan itu lenyap. Yo Wan kecewa dan menyesal, mencari-cari Cui Sian, namun gadis itu tetap tidak tampak lagi. Sadarlah dia daripada mimpi, sebuah mimpi kacau balau ketika dia pingsan. Kini terasa betapa tubuhnya panas sekali dan sakit-sakit. la mengeluh, membuka matanya, heran dan bingung. Teringat dia kini betapa dia tenggelam, menahan napas, kemudian dibawa berenang di bawah permukaan air oleh Yosiko. Otomatis dia menahan napasnya, takut kalau-kalau air memasuki hidung dan mulut.

Akan tetapi dia tidak merasakan air lagi di sekeliling tubuhnya. Perlahan dibukanya mata yang tadi dia tutup kembali. Sekali lagi dia melihat bahwa dia tidak berada di dalam air, kini lebih jelas.

Ada air tampak olehnya, namun di bawah, dan dia rebah diatas sebuah perahu yang bergerak perlahan dan tenang. Badannya panas seperti terbakar, pundak kirinya sakit sekali. Teringatlah dia bahwa pundaknya terluka oleh senjata rahasia beracun yang dilepas oleh Yosiko. Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah perjalanan menuju ke alam baka melalui sungai dan naik perahu? Kembali dia mengeluh, tenggorokannya terasa haus bukan main. la mengumpulkan tenaga dalam tubuhnya yang lemas, mencoba untuk bangkit dan duduk.

“Uuhhh…..”

Pundak kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kanannya meraba, kiranya di pundak kiri sebelah belakang masih menancap sebatang anak panah! Teringatlah kini Yo Wan bahwa sebelum dia tenggelam, ada anak panah yang mengenai pundaknya.

“Ee-e-eee….. tidak boleh bangun dulu…… kau harus rebah terus, miring kanan…..” tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita dan jari-jari tangan yang halus pula merangkul pundak kanannya, kemudian dengan tekanan perlahan menyuruh dia rebah kembali, terlentang agak miring kekanan agar anak panah di pundak kirinya tidak menyentuh lantai perahu.

Yo Wan serasa mengenal suara ini, dan ini membuat hatinya kecewa. Ketika untuk pertama kali mendengar suara wanita tanpa melihat orangnya, sepenuh hatinya dia mengharapkan bahwa orang itu Cui Sian adanya. Akan tetapi kini dia merasa pasti bahwa itu bukanlah suara Cui Sian, dan kenyataannya ini mengecewakan hatinya. Suara siapakah? Serasa mengenalnya, akan tetapi dia tidak dapat memastikan siapakah wanita ini.

Setelah rebah, dia memutar leher dan memandang. Seorang gadis cantik jelita sedang sibuk mendayung perahu itu. Gadis itu memandangnya dengan bibir tersenyum dan mata bersinar-sinar. Mata itu! la tidak mengenal wajah ini, akan tetapi dia mengenal benar mata itu. Dimana gerangan? Dan suara itu! Payah Yo Wan mengingat-ingat, namun dia tetap tidak tahu dimana dan bila rnana dia pernah mendengar suara ini dan melihat mata itu. Rasa panas menyesakkan napasnya.

“Uhh-uhhh…… panas…… haus…..” bisiknya.

Gadis itu dengan gerakan perlahan menancapkan sebatang bambu panjang ke bagian yang dangkal di pinggir sungai dan perahu itu kini terikat pada bambu. Kemudian dia menghampiri Yo Wan.

“Haus? Minumlah ini, jangan banyak-banyak. Kau terserang demam, akan tetapi tidak berbahaya, jangan khawatir. Nanti setelah tiba di hutan Jeng-hwa-lim (Hutan Seribu Bunga), disana banyak obat untuk mengusir demam, juga untuk menahan keluarnya darah. Karena itu, biar sementara kita diamkan anak panah itu, sesampainya disana baru dicabut.”

Gadis itu bicara dengan halus dan ramah seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan baik sejak bertahun-tahun. Tiada canggung, tiada keraguan, tidak sungkan-sungkan lagi. Siapakah gadis jelita ini? Matanya begitu tajam dan bening, bersinar-sinar seperti bintang pagi yang pada saat itu masih berkedap-kedip di angkasa, menghias pagi yang dingin. Hidungnya kecil mancung, menjadi imbangan yang manis dari bibirnya yang lunak, merah dan berbentuk indah.

“Kau siapakah, Nona?”

Tak tahan lagi Yo Wan bertanya, matanya memandang wajah itu, akan tetapi keningnya berkerut-kerut menahan sakit.

Sebelum menjawab, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Gerakan ini membuat ujung lengan bajunya tersingkap dan tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sampai ke siku membayangkan di balik lengan baju. Jari-jarinya kecil meruncing dengan kuku mengkilap terpelihara.

Tangan halus itu dengan gerakan lembut dan mesra menyentuh dahi Yo Wan seperti biasanya orang hendak melihat panas seorang terserang demam. Kemudian dicabutnya sehelai saputangan merah muda dari balik bajunya dan dihapusnya dahi yang penuh keringat itu, terus ke pipi dan leher Yo Wan. Biarpun sedang menderita demam dan sakit, perbuatan ini membuat jantung Yo Wan berdebar jengah dan malu. Siapakah gadis ini yang begini mesra dan begini telaten merawathya?

“Kau….. kau siapa…..?” tanyanya lagi.

“Kau minum dulu ini, bukankah tadi kau bilang haus?” kata si gadis yang tanpa ragu-ragu menyorongkan lengan kirinya yang kecil ke bawah leher Yo Wan, mengangkat kepala pemuda itu keatas sedikit, kemudian tangan kirinya mendekatkan sebuah cawan ke mulut Yo Wan.

Pemuda ini merasai hal yang aneh di dalam hatinya. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Betapa tidak? Biarpun usia Yo Wan sudah cukup dewasa, sudah dua puluh delapan tahun, namun baru kali ini lehernya dirangkul lengan seorang wanita!

Kepalanya seakan-akan bersandar kepada pundak dan dada orang, hidungnya mencium keharuman yang asing baginya, dan hampir saja dia tidak sanggup menelan air yang diminumnya karena tenggorokannya serasa tercekik. Namun, sebagai seorang ahli tapa, dia dapat menenteramkan hatinya dan biarpun dia sedang menderita sakit, dia dapat merasa betapa lengan kiri yang lembut dan kecil halus itu mengandung tenaga yang hebat!

“Siapakah kau, Nona?” tanyanya lagi setelah gadis itu merebahkannya kembali.

Si gadis tersenyum. Dekik kecil pada ujung mulut sebelah kiri membuatnya manis sekali. Dekik pipi kiri ini mengingatkan Yo Wan akan sesuatu, akan tetapi dia tidak tahu benar apa dan siapakah “sesuatu” itu. Hanya dia merasa pasti bahwa dekik ini bukan baru sekarang dia lihat!

“Apakah kau tidak bisa menduga? Aku adalah adik dari ketua Kipas Hitam! Kau terluka dan hampir celaka di laut, kakakku menolongmu, kemudian menyerahkan kepadaku untuk merawatmu sampai sembuh.”

Yo Wan memandang penuh perhatian. Salahkah dugaannya? Betulkah Yosiko ketua Kipas Hitam itu mempunyai seorang adik perempuan? Wajahnya serupa benar dan kini teringatlah dia bahwa sinar mata dan dekik pada ujung mulut itu dia lihat pada wajah Yosiko!

Hemmm, gadis ini adalah Yosiko sendiri, dia hampir merasa pasti akan hal itu. Hanya ada sebuah kemungkinan, yaitu bisa juga gadis ini adiknya, akan tetapi adik kembar. Hanya adik kembar yang mempunyai persamaan seperti ini, bagai pinang dibelah dua.

Akan tetapi, andaikata benar adiknya, mengapa begini hebat? Sebaliknya, apabila gadis ini adalah Yosiko sendiri, mengapa harus seaneh ini sikapnya? la tidak mau meributkan soal itu, mengingat akan keadaannya. Akan tetapi diapun tidak mau berhutang budi kepada kepala bajak. Dengan menahan rasa sakit, Yo Wan bangun lagi, tidak peduli akan cegahan gadis itu.

“Eh, jangan bangun…… kau mau apa.,…?” Gadis itu bertanya, memegang lengannya.

“Aku….. aku harus pergi dari sini.”

“Eh, jangan! Kau masih terluka hebat, racun di pundakmu belum keluar habis, dan anak panah itu berbahaya sekali. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?”

“Aku harus menolong muda-mudi dari Lu-liang-san. Dimana mereka? Dan apa yang terjadi?”

Kini mereka duduk berhadapan diatas perahu dan terlihatlah kini dengan jelas oleh Yo Wan bahwa gadis di depannya itu benar cantik jelita, akan tetapi pada wajah yang elok itu terbayang sifat liar dan terbuka, bebas dan lincah seperti terdapat pada wajah Siu Bi si gadis liar dari Go-bi-san.

Gadis ini masih muda, takkan lewat dua puluh tahun usianya. Melihat kulit muka dan kulit tangan yang agak gelap dapat diduga bahwa gadis ini banyak berada di alam terbuka, banyak terkena sinar matahari. Bagian yang paling menarik pada wajahnya adalah mata dan mulut.






No comments:

Post a Comment