Ads

Wednesday, March 6, 2019

Jaka Lola Jilid 095

Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu.
“Kiranya takkan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka,” kata Hwat Ki kepada sumoinya.

“Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang”.

Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik Seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak seperti sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan,

“Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tinggal seorang bernama Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?”

Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak dan memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka inipun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung,

“Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang kesini, tidak tahu dimana rumahnya. Apakah gedung besar itu?”

Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek.
“Betul.”

Kemudian dia memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka.

Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kembali ke tempat Cui Kim menanti.
“Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa disini. Orang-orang itu agaknya takut kepadanya. Sumoi, mari kita kesana.”

Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.

“Kita ketuk saja pintunya,” kata Cui Kim.

“Hemmm, takkan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tak perlu banyak aturan. Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!”

Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik keatas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri diatas tembok.

Terang sekali di sebelah dalam tembok. Ruangan depan rumah gedung itupun amat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.

“Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!” teriak Tan Hwat Ki dengan suara lantang.

Adapun Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.

Sunyi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang bergema sedikit di dalem gedung. Kemudian terdengar suara halus dan nyaring,

“Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!”

“Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!” bisik Cui Kim.

“Tak usah takut, marilah!” kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan.

Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun keatas lantai ruangan depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah. Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka lalu melangkah ke dalam melalui di pintu besar yang memang tidak tertutup.






Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah dan di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong.

Empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang diantaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih. Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya.

Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi diatas kepala. Melihat sikapnya, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula.

Seorang diantara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung pedang samurai. Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang, tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak kekanan kiri.

Yang seorang pula bertubuh tinggi kurus, bajunya lebar dan lengan bajunya panjang, kumisnya tipis panjang bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu dan leher. Mereka berempat kini memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.

Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu ia melihat pedang hitamnya terletak diatas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring.

“Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau kau memang jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!”

Pemuda itu tersenyum, bangkit dari bangkunya lalu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam.

“Bukan salahku…..!” jawabnya sambil tersenyum ramah. “Aku mengutus orang mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang mana bisa memancing kalian datang pada malam ini?”

Berkata demikian, mata pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam dan pandang mata penuh selidik.

Hwat Ki tetap tenang, memang pemuda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoinya dia telah memasuki gua harimau, akan tetapi sedikitpun dia tidak gentar.

“Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apakah yang hendak kau bicarakan dengan kami?” tanyanya.

Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.

“Banyak yang hendak kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, ataukah….. barangkali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?”

Hwat Ki tersenyum mengejek.
“Takut apa?”

la lalu melangkah maju, diikuti sumoinya. Keduanya lalu duduk diatas bangku, berhadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itupun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cui Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tidak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu.

Hanya adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku. Agaknya tuan rumah merasai hal ini. Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata,

“Silakan, Nona. Ini pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi.”

Cui Kim menerima pedangnya dengan kedua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tidak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Setelah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk.

Si pemuda baju putih bertepuk tangan tiga kali dan bermunculanlah pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik, berjumlah lima orang. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.

Memang sehari itu, Hwat Ki dan sumoinya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa fihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran.

Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya. Hanya Cui Kim yang merasa canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa dan baginya sudah biasa merantau di dunta kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan. Akan tetapi entah bagaimana, berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!

“Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona tentu belum pernah mencobanya, bukan? Silakan!”

Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan amat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah.

Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, biarpun amat ramah, namun agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik.

Buktinya para pelayannya tadipun muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup. la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini, Hwat Ki bersikap waspada dan hati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoinya yang cukup cantik sebagai korban!

Sikap pemuda she Yo itu makin manis terhadap Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap Malah kelancangannya makin menjadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan rnengerling tajam.

“Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh….. betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya”.

Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi ia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat ia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegupan hampir meledak mendengar kata-kata itu. Biasanya, ia akan marah dan memukul atau sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang kepadanya.

Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap,

“Aku….. namaku….. Bu Cui Kim dan….. dan…..”

“Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!” tiba-tiba Hwat Ki memotong, lalu menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, kemudian dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,

“Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, sudah makan dan minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu sebagaimana lajimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kaulah yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah sepatutnya kalau kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi di dalam hatimu terhadap kami.”

Begitu melihat sikap suhengnya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. lapun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi kini pandang matanya berkilat dan penuh curiga!






No comments:

Post a Comment