Ads

Wednesday, March 6, 2019

Jaka Lola Jilid 094

Setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus lamanya, tiba-tiba gadis itu membuat gerakan aneh, tubuhnya meloncat keatas seperti hendak menubruk. Kamatari berseru heran, pedangnya menyambar memapaki tubuh itu, akan tetapi secara indah dan mengagumkan sekali kaki kiri gadis itu menendang dari samping sehingga sekaligus mengancam pergelangan tangan lawan sedangkan pedang hitamnya berkelebatan di depan muka Kamatari.

Sebelum jago Jepang itu dapat menyelami jurus yang aneh ini, tiba-tiba dia merasa pundaknya sakit dan terhuyunglah dia ke belakang. Kiranya pundak kirinya sudah terluka oleh ujung pedang hitam, membuat tangan kirinya serasa lumpuh!

Cepat dia menyimpan samurainya dan menutupi lukanya, lalu menjura sampai dalam.
“Ilmu pedang Nona sungguh hebat …”.

Pada saat itu berkelebat bayangan putih, cepat dan tak terduga gerakannya, seperti seekor burung dara melayang memasuki restoran itu.

“Sumoi, awas…….!” seru si pemuda yang sudah melompat maju.

Gadis itu cepat mengangkat pedangnya, akan tetapi ia tertahan dan tertegun melihat bahwa yang meloncat masuk ini adalah seorang pemuda berpakaian serba putih berkembang-kembang kuning yang indah sekali, sebuah muka yang tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang pagi, sepasang bibir yang merah dan tersenyum amat tampannya!

Begitu kaki pemuda ini menginjak tanah, tangannya bergerak dan dua bayangan putih melayang ke depan, langsung sinar ini menyambar ke arah leher si gadis. Gadis itu berseru keras dan mengelak ke belakang, akan tetapi tiba-tiba sinar putih ke dua menyambar pedangnya dan dilain saat pedang itu sudah terlibat sesuatu dan terampas dari tangannya!

“Kembalikan pedang, Sumoi!”

Si pemuda menerjang maju, gerakannya cepat dan amat kuat sehingga diam-diam Yo Wan kagum melihatnya. Akan tetapi lebih kagum lagi hati Yo Wan menyaksikan gerakan pemuda baju putih yang baru masuk, karena sekali menjejakkan kedua kaki, tubuh pemuda baju putih itu sudah melayang keluar restoran, meninggalkan dua sinar putih menyambar yang diikuti teriakannya nyaring,

“Awas senjata rahasia!”

Si pemuda kaget sekali, apalagi ketika melihat dua sinar putih berkilauan menyambar kearah jalan darah yang berbahaya di tubuhnya. Cepat dia mengibaskan lengan baju dan runtuhlah dua senjata rahasia itu. Anehnya, senjata rahasia itu hanyalah dua potong uang perak! Uang perak untuk senjata rahasia benar-benar merupakan hal yang langka, pemboros mana yang menghamburkan uang perak begitu saja? Ketika dia memburu keluar, pemuda baju putih itu sudah lenyap!

Marahlah si pemuda. Sekali dia bergerak, dia sudah menangkap Kamatari, menjambak baju pada punggungnya dan mengangkatnya keatas seperti orang mengangkat seekor kelinci saja!

“Tikus busuk! Kalau kami menghendaki, apa susahnya mencabut nyawamu yang tak berharga? Hayo katakan, siapa bangsat tadi'”

Kamatari terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa si pemuda begini galak dan begini kuat. Tentu saja dia tidak sudi diperlakukan seperti ini, maka dia membentak,

“Lepaskan bajuku!” dan tangannya memukul.

Akan tetapi tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi kaku, kedua lengannya yang bergerak hendak memukul seakan-akan berubah menjadi dua batang kayu kering!

“Keparat, jangan banyak lagak kau! Hayo bilang siapa dia tadi!”

Tahulah kini Kamatari bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang luar biasa. Percuma untuk berkeras kepala lagi, maka dengan suara merintih dia berkata,

“Dia adalah kongcu kami. Baiknya kongcu masih tidak berniat memusuhi kalian. Kalau kalian ada kepandaian, boleh datang merampas pedang di pantai Po-hai di dusun Kui-bun, cari gedung Yo-kongcu!”






Dengan sekali gerakan, pemuda itu melempar tubuh Kamatari ke belakang. Jago Jepang ini menambrak kawan-kawannya dan roboh terguling, ditolong teman-temannya, lalu mereka pergi dari tempat itu dengan cepat.

Si pemuda teringat akan Yo Wan, cepat dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi si pemuda yang mencurigakan hatinya tadi telah lenyap dari situ, diatas mejanya terletak beberapa potong uang, agaknya untuk membayar makanan dan minuman. Makin curigalah pemuda itu.

“Sumoi, kita harus mengejar si baju putih she Yo itu.”

“Mari, Suheng. Akupun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia bisa merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang Emas Hitam)!”

Biarpun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar, matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan mampu menandingi pemuda luar biasa itu.

Pemuda itu memanggil pelayan, dengan suara nyaring. Datanglah seorang pelayan berlari-lari, diikuti oleh empat temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi bersembunyi, sekarang berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.

“Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan disini akan saya bayar.”

Pelayan itu membungkuk-bungkuK dan tersenyum-senyum penuh hormat.
“Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas.”

“Siapa yang membayar?” Pemuda itu mengangkat alisnya.

“Yang membayar pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu.” Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.

Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya,
“Siapa dia?”

“Siapa lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat…..”

Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoinya.

“Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!”

“Kurasa kalau orang membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya.”

Pemuda itu membuka kipas sutera hitam. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,

“Berkawan sebatang pedang menjelajah laut bebas, sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang hati mencari-cari…..”

“Bagus…..!” tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu.

Si pemuda cepat menoleh, memandang dan sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seakan-akan sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh, luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi, merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang kesana!

“Pemuda sombong, atau cengeng…..’.”

Si pemuda malah mencela. Sumoinya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat, menuju ke timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai.

Pemuda dan sumoinya itu bukanlah pendekar-pendekar biasa, bukanlah petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar Tan Sin Lee.

Seperti kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai. Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecilnya digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi.

Adapun sumoinya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee mempunyai murid sepuluh orang jumlahnya termasuk putera mereka. Akan tetapi diantara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim.

Cui Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela didusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim sejak kecil kelihatan amat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap anak sendiri. Demikianlah, semenjak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera suhunya itu mempelajari ilmu silat tinggi.

Pada suatu hari di puncak Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang bukan lain adalah Bun Hui, putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, diantara pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, yang paling dekat tinggalnya dengan Tai-goan dan kota raja, adalah Tan Sin Lee inilah.

Lu-liang-san terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Maka, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee. Di dalam suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan.

Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari fihak Mongol di utara masih makin menghebat sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari utara itu.

Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut timur juga merupakan pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di darat sepanjang pesisir Laut Po-hai.

Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri memerintahkan kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat. Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, akan tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, mempunyai banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya.

Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san itu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai. Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai.

Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar dari Lu-liang-san ini. Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mengganas pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki dan sumoinya lalu pergi ke kota Leng-si-bun di tepi Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.

Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua perkumpulan Kipas Hitam yang merupakan gerombolan bajak laut yang cukup terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai timur.

Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya. Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar.

Di ujung yang paling jauh dari pantai, terdapatlah sebuah rumah gedung besar yang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang ataupun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan kalau untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.






No comments:

Post a Comment