Ads

Wednesday, March 6, 2019

Jaka Lola Jilid 092

“Kurang ajar!”

Tiat-houw atau si Harimau Besi berseru marah. Dengan muka merah dia menarik singa-singaan batu dari atas meja yang sudah ringsek, mengangkatnya tinggi-tinggi diatas kepala dan kini dia melontarkan batu itu sekuatnya kearah si nona manis!

“Kau terimalah ini!”

Singa-singaan batu itu kali ini tidak melayang seperti tadi yang hanya dilontarkan keatas kearah meja si muda-mudi, melainkan langsung menyambar kearah nona itu merupakan sambitan keras dan berbahaya.

Namun, seperti juga tadi, nona itu dengan amat tenang masih terus asyik makan minum, malah pada saat singa-singaan batu sudah menyambar dekat, nona itu dengan tangan kirinya mengangkat cawan arak dan meminumnya!

Para pelayan memandang dengan muka pucat, bahkan ada yang meramkan mata, tidak sampai hati menyaksikan nona cantik jelita yang sedang minum itu remuk kepalanya oleh singa-singaan batu. Hanya Yo Wan yang dapat menduga apa yang akan terjadi maka diapun enak-enak minum araknya.

Tepat seperti dugaan Yo Wan, nona itu dengan tangan kanannya mengangkat sepasang sumpitnya, dan secara mudah dan enak saja ia “menerima” batu itu dengan sumpit. Batu besar berbentuk singa itu terputar-putar di ujung sumpit, kemudian sekali menggerakkan lengan kanan, singa batu itu terbang dari ujung sumpitnya, kembali ke alamat pengirim. Semua ini dilakukan dengan cawan arak masih menempel di bibir!

“Aiiihhh…..”‘

Orang she Pui yang berjuluk Harimau Besi itu berteriak kaget sekali ketika melihat singa-singaan batu itu tiba-tiba menyambar kearahnya. la tidak sempat lagi mengelak, terpaksa dia menggerakkan kedua lengannya menerima singa-singaan batu itu. Sambil mengerahkan tenaganya dia menerima, akan tetapi alangkah kagetnya ketika singa-singaan batu itu ternyata berlipat kali lebih berat daripada tadi.

Hal ini adalah karena batu itu dilontarkan dengan tenaga sinkang. Si pendek sombong berusaha menahan, namun dia terhuyung-huyung ke belakang, singa batu menghimpit dadanya dan setelah terhuyung-huyung sampai lima meter ke belakang dan menabrak meja, baru dia berhenti. Singa-singaan batu itu dia lemparkan ke sebelah kanannya dan dia batuk-batuk. Darah segar tersembur keluar ketika dia batuk-batuk itu, temudian dengan lemas dia menjatuhkan diri keatas kursi, napasnya terengah-engah, mukanya pucat, matanya meram. Jelas bahwa dia menderita luka di sebelah dalam dadanya, yang cukup hebat!

Kini terbukalah mata si mata sipit dan si pipi cacad bahwa gadis yang mereka tadi sebut-sebut sebagai bunga hutan liar itu benar-benar liar dan tentang durinya, jangan tanya lagi!

Melihat teman mereka terluka hebat, si pipi cacad yang berjuluk Huang-ho Sin-piauw dan she Gong menjadi amat marah. Dengan gerakan yang tak dapat diikuti pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu dia telah mengayun kedua tangannya bergantian kearah muda-mudi itu dan terdengar teriakannya.

“Bocah-bocah mau mampus, makanlah ini!”

Sinar hitam berkelebatan menyambar kearah meja muda-mudi itu ketika beberapa batang piauw menyambar. Tidak heran si pipi cacad ini berjuluk Piauw Sakti dari Huang-ho. Kiranya dia pandai sekali bermain piauw dan dapat menyambitkan senjata rahasia itu dengan gerakan yang cepat. Agaknya orang akan kalah cepat kalau harus berlumba mencabut dan mempergunakan senjata rahasia dengan si pipi cacad yang bermuka lonjong buruk itu.

“Menjemukan!” seru si gadis, matanya yang bening dan indah itu memancarkan cahaya kemarahan.

“Biarlah, Sumoi…..!” kata si pemuda yang mendahului sumoinya, menggerakkan sumpitnya.

Sumpit itu bergerak-gerak seperti tergetar. Terdengarlah suara “cring-cring-ering” beberapa kali disusul berkelebatnya sinar-sinar hitam keatas lalu

“cap-cap-cap-cap-cap!”, empat batang piauw sudah menancap pada langit-langit diatas pemuda itu!






Si pemuda yang wajahnya masih belum tampak oleh Yo Wan karena pemuda itu duduknya membelakangi Yo Wan, kini bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, minum araknya kemudian berdongak keatas dan dari mulutnya tersembur arak lembut seperti uap yang terus menyambar ke langit-langit. Terdengar suara nyaring dan….. empat batang piauw yang menancap pada langit-langit itu rontok dan runtuh semua ke bawah!

“Hebat…..!!”

“Luar biasa…..!”

“Bagus sekali…..!!” demikian teriakan para pelayan yang menjadi amat gembira menyaksikan kesudahan-kesudahan dari serangan-serangan yang tadinya amat mengkhawatirkan itu.

Yo Wan enak minum araknya. Semua ini sudah diduganya dan dia tidak heran, hanya dia merasa kagum akan sikap muda-mudi yang begitu tenang. Timbul keinginan keras di hatinya untuk mengenal mereka.

Akan tetapi yang paling marah adalah si Piauw Sakti! Bagaimana julukannya Piauw Sakti akan dapat bertahan terus kalau permainan piauwnya diperlakukan seperti lalat-lalat menyambar oleh pemuda tak terkenal itu? Timbul pikiran yang licik dalam benaknya.

Tadi si gadis mendemonstrasikan tenaga yang hebat ketika menghadapi singa-singaan batu. Kini yang menghadapi piauwnya adalah si pemuda, agaknya ini membuktikan bahwa si gadis tidaklah sehebat si pemuda dalam menghadapi piauw. Untuk menebus kekalahannya, si pipi cacad kembali mengayun senjata-senjata rahasianya, kali ini sekaligus dia nienyambitkan enam batang piauw yang kesemuanya menyambar kearah si gadis, bahkan menyambar ke enam bagian tubuh yang berbahaya.

“Suheng, kali ini jangan larang aku!” terdengar si gadis berkata halus, tiba-tiba ia meloncat bangun dan sepasang sumpit telah berada di kedua tangannya.

Dengan gerakan yang cepat kedua tangan yang memegang sumpit itu menangkis, terdengar suara nyarlng berkali-kali dan sinar-sinar hitam itu menyambar kembali kearah penyerangnya!

Si pipi cacad kaget sekali, cepat mengelak, namun dia hanya dapat menghindarkan diri dari empat batang piauw, sedangkan yang dua batang lagi telah menancap di pundak dan pahanya. la memekik dan roboh, termakan senjatanya sendiri seperti keadaan kawannya si pendek tadi!

Melihat perkembangan peristiwa itu menjadi pertandingan yang mengakibatkan luka dan darah, para pelayan yang tadi gembira menyaksikan demonstrasi kepandaian yang mengagumkan, sekarang menjadi bingung dan ketakutan. Ingin mereka melerai, ingin mereka minta agar supaya orang keluar dari restoran kalau hendak berkelahi, akan tetapi tak seorangpun diantara mereka berani bicara. Karena itu mereka hanya lari kesana kemari dan saling pandang dengah muka pucat, tak tahu harus berbuat apa seperti ayam hendak bertelur.

Kini tinggallah seorang jagoan lagi, yaitu si mata sipit yang berjuluk Huang-ho Siang-to. Orang she Bhe ini melihat dua orang kawannya sudah terluka, diam-diam merasa gentar juga dan maklum bahwa ternyata mereka bertiga yang selama ini menjagoi daerah lembah Sungai Huang-ho di bagian Leng-si-bun, kiranya telah tersandung batu!

la maklum bahwa kedua orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi melihat dua orang kawannya terluka, tak mungkin dia diam saja. Kemana akan disembunyikan mukanya kalau dia tidak membela? Nama besarnya tentu akan menjadi bahan ejekan orang. Maju dan kalah oleh lawan yang lebih lihai bukanlah hal memalukan, akan tetapi mundur teratur tanpa melawan, benar-benar tak mungkin dapat dia lakukan.

“Bocah-bocah sombong, siapakah kalian berani bermain gila di daerah ini? Hayo layani sepasang golok dari Huang-ho Siangrto, kalau dapat mengalahkan sepasang golokku, barulah boleh disebut gagah!”

Pemuda itu hanya tersenyum, akan tetapi si pemudi mendengus dengan sikap mengejek.

“Suheng, agaknya tukang cacah daging bakso ini sudah sinting, mau apa dia bawa-bawa golok pencacah bakso? Biar kuhabiskan saja dia…..”

“Ssttt, jangan. Biarkan, kita lihat mau apa tikus ini…..” kata si pemuda.

Tentu saja si mata sipit tahu bahwa dirinya yang dimaki tukang cacah bakso dan tikus, maka kemarahannya memuncak. Matanya menjadi makin sipit dan mukanya merah sekali.

“Keparat, kalian yang akan kujadikan bakso…..”

Sambil berkata demikian, dia mengayun dan menggerakkan kedua goloknya diatas kepala. Sepasang golok itu berkelebatan mengeluarkan sinap berkeredepan.

Mendadak gerakannya terhenti dan si mata sipit terkejut dan heran karena dia merasa betapa sepasang goloknya terhenti di tengah udara, di belakang kepalanya seakan-akan tersangkut sesuatu. Betapapun dia berusaha membetotnya, tapi sia-sia. Cepat dia membalikkan tubuh dengan bulu tengkuk meremang dan terpaksa dia melepaskan kedua goloknya. Apa yang dilihatnya?

Ketika dia membalikkan tubuh, di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek, berkepala botak. Laki-laki ini mengangkat kedua tangannya dan ternyata sepasang goloknya itu telah dijepit oleh jari tengah dan telunjuk yang ditekuk. Dapat dibayangkan betapa hebat tenaga orang ini, karena dengan dua jari menjepit sebuah punggung golok, si mata sipit tak mampu membetotnya!

Ketika si mata sipit melihat bahwa di belakang orang pendek ini masih terdapat tujuh orang pendek lain kesemuanya berdiri tegak dan angker, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan dia berkata gagap.

“Ki….. kipas….. Kipas Hitam…..”

Mendengar suara ini, para pelayan berserabutan lari melalui pintu belakang restoran dan sebentar saja mereka tidak tampak lagi. Diam-diam Yo Han memperhatikan hal ini dan dia dapat menduga bahwa nama Kipas Hitam tentulah sudah terkenal dan ditakuti orang. Cepat dia memandang penuh perhatian.

Laki-laki yang menjepit sepasang golok dengan jari tangannya itu, benar-benar pendek tubuhnya, pendek gempal dan tegap, tampak amat kuat sepasang lengannya yang juga pendek itu. Di pinggangnya tergantung sarung pedang yang panjang dan agak bengkok, sedangkan di ikat pinggang depan terselip sebuah kipas berwarna hitam.

Tujuh orang di belakangnya pun seperti itu dandanannya, hanya bedanya, orang yang di depan itu sarung pedangnya lebih indah. Agaknya kipas-kipas hitam yang berada di pinggang mereka itulah yang menjadi tanda bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Kipas Hitam. Dan lucunya, mereka semua, delapan orang ini kepalanya dicukur botak tinggal diatas kedua telinga dan di sebelah belakang saja.

Laki-laki pendek yang menjepit golok itu lalu berkata, suaranya kaku dan asing,
“Tiga ekor cumi-cumi banyak tingkah!”

Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan entah bagaimana, tahu-tahu tubuh si mata sipit sudah melayang keluar dari restoran setelah melalui jarak belasan meter. Dua orang jagoan lain, si pipi cacad dan si pendek muka kuning yang sudah terluka, tahu-tahu sudah melarikan diri diikuti oleh tiga orang saudagar. Mereka inilah yang mengangkat si golok sakti dan setengah diseret pergi dari tempat itu!

Yo Wan dapat menduga sekarang. Agaknya rombongan Kipas Hitam ini adalah perampok-perampok atau lebih tepat agaknya bajak-bajak laut, mengingat akan makiannya tadi. Hanya orang orang yang biasa berlayar saja agaknya yang akan menggunakan nama binatang laut cumi-cumi untuk memaki orang, Apalagi orang pendek ini suaranya kaku dan asing. Mereka inilah bajak laut-bajak laut Jepang seperti yang pernah didengar Yo Wan dari percakapan orang-orang di sepanjang perjalanan!

Sementara itu, sepasang muda-mudi yang tadinya kelihatan tenang-tenang saja itu, kini bangkit dari tempat duduk mereka. Agaknya sebutan Kipas Hitam tadi yang membuat mereka serentak bangkit dan memandang tajam kepada delapan orang yang baru tiba.

Kini Yo Wan dapat melihat bahwa si pemuda juga amat tampan dan gagah, tubuhnya tegap dan biarpun tidak tampak, Yo Wan dapat mengetahui bahwa pemuda itu menyembunyikan sebatang pedang di balik jubahnya, jubah seorang pelajar. Pandang mata yang amat tajam dari pemuda itu satu kali melirik ke arahnya, dan tercenganglah hati Yo Wan. Biarpun hanya melirik satu kali, namun pandang mata itu tajam menembus hati, seakan-akan si pemuda itu sudah dapat menilainya hanya dengan sekali lirikan saja!

“Hemmm, bukan pemuda sembarangan. Harus hati-hati menghadapi orang seperti ini…..” pikirnya.

Keadaan di restoran itu tegang. Para pelayan sudah lari menyingkir, juga di depan restoran tampak sunyi. Agaknya orang-orang disitu sudah mendengar akan kedatangan delapan orang pendek-pendek rombongan Kipas Hitam.






No comments:

Post a Comment