Ads

Monday, March 4, 2019

Jaka Lola Jilid 093

Muda-mudi itu sudah berdiri berhadapan dengan pemimpin rombongan, saling pandang seperti lagak jago-jago mengukur pandang dan saling menaksir lawan. Akhirnya si pendek itu bertanya, suaranya ketus, kasar dan kaku,

“Kalian berdua yang membunuhi teman-teman kami di pantai Laut Po-hai seminggu yang lalu?”

Gadis itu melangkah maju dan dengan sikap menantang ia berkata nyaring,
“Kalau betul, kalian mau apa? Kalian inikah bajak laut Kipas Hitam? Apakah kau kepalanya?”

Kepala rombongan itu mengeluarkan suara makian dalam bahasa asing, sikapnya mengancam.

“Kami tidak diberi perintah untuk membunuh kalian, hanya diperintah untuk mengajak kalian ikut menghadap kongcu (tuan muda) kami”.

“Mau apa dia? Siapa kongcu kalian itu?” tanya si gadis, lalu terdengar bisiknya kepada suhengnya, “Suheng, kau awasi tikus di belakang kita itu, dia mencurigakan…..”

Si pemuda membalikkan tubuhnya dan sekali lagi Yo Wan tercengang ketika melihat sinar mata tajam menyambarnya di samping senyuman mengejek. Ia tahu bahwa dirinya dicurigai, maka untuk menyembunyikan wajahnya, dia menenggak araknya dan berkata seperti orang sinting,

“Ahhh ….. arak habis para pelayan pergi semua. Ke manakah orang-orang tolol itu?”

Sementara itu, si pendek menerangkan dengan suara kaku,
“Kongcu adalah pemimpin kami, sekarang kongcu menanti di pantai. Kalian harus ikut dengan kami menghadap kongcu.”

“Mau apa dia?”

“Kalian bicara sendiri dengan kongcu, kami hanya diperintah untuk mengajak kalian dengan baik, harap kalian jangan membantah lagi…..”

“Kalau kami tidak mau?” tanya pula si gadis.

“Hemmm……. hemmmmm……. mudah-mudahan jangan begitu. Mau tidak mau kalian harus menghadap kongcu. Kongcu bilang bahwa kalian bukanlah orang-orang pengecut yang tidak berani menghadapi pemimpin Kipas Hitam”.

“Aku tidak mau! Persetan dengah kongcu kalian! Pergi dari sini, kalian mau apa kalau aku tidak mau?” tantang si gadis dengan sikap menantang, sedangkan si pemuda tetap tenang saja, kadang-kadang melirik kearah Yo Wan yang dicurigai.

Si pendek itu sejenak memandang dengan mata mengancam, kemudian dia menarik napas panjang.

“Sayang,” katanya, “Sudah lama aku tidak bertemu lawan yang pandai. Segala macam cumi-cumi seperti juragan-juragan perahu tadi hanya menjemukan saja. Alangkah senangnya kalau dapat mengadu ilmu dengan kalian yang kabarnya lihai. Sayangnya, kongcu tidak memperkenankan kami mengganggu kalian. Kongcu mengundang kalian dengan baik-baik, untuk diajak bercakap-cakap entah urusan apa. Kalau saja tidak ada pesan dari kongcu, sudah sejak tadi samuraiku bicara!”

Sambil berkata demikian dia menepuk-nepuk pedang panjang yang tergantung di pinggangnya sambil berkata,

“Cakar Naga, jangan kecewa, mereka bukan musuh…..”

“Sumoi, kalau orang yang mereka sebut kongcu itu hendak bicara, mari kita pergi menemuinya. Kita bukanlah pengecut, takut apa bertemu dengan pemimpin Kipas Hitam?” kata si pemuda, agaknya tertarik juga menyaksikan sikap orang Jepang itu.

“Wah, tidak ada alasan untuk bersikap murah dan mengalah, Suheng. Kalau memang ingin bicara, mengapa yang menyebut dirinya kongcu itu tidak datang sendiri menemui kita? He, orang pendek. Pedangmu kau sebut Cakar Naga, tentu kau pandai bermain pedang. Dengarlah! Kalau kau dapat mengalahkan aku dengan pedangmu, baru kuanggap kau cukup pantas menjadi utusan untuk mengundang kami. Kalau tidak dapat, jangan banyak cerewet lagi!”






Orang Jepang itu mengangkat muka, keningnya berkerut lalu dia menepuk dada dengan tangan kirinya.

“Aku Kamatari tidak pernah mundur menghadapi tantangan siapapun juga, akan tetapi aku taat kepada perintah kongcu. Nona, mungkin kau berkepandaian, akan tetapi harap kau jangan memandang rendah samurai Cakar Naga di tanganku. Lihatlah betapa saktinya Cakar Naga!”

Sambil berkata demikian, Kamatari menggunakan kakinya menendang sebuah bangku kayu yang berada di dekatnya. Bangku itu terlempar keatas dan pada saat bangku melayang turun, tiba-tiba tampak sinar berkeredepan berkelebat beberapa kali, terdengar suara “crak-crak!” perlahan.

Dalam sekejap mata, sinar berkeredepan itu lenyap dan….. bangku yang sudah terbelah menjadi tiga potong itu runtuh ke bawah. Anehnya, yang sepotong melayang kearah meja Yo Wan menimpa diatas meja membikin pecah mangkok dan menggulingkan cawan arak!

Yo Wan tidak berkata apa-apa, hanya berdiri sebentar, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena percikan arak, lalu duduk kembali dengan tenang. la maklum bahwa orang Jepang yang lihai ilmu pedangnya dan besar tenaga dalamnya itu agaknya mencurigainya dan sengaja mementalkan sepotong kayu bangku kearahnya untuk memancing.

Tentu saja dia dapat melihat betapa tadi orang pendek itu mencabut pedang samurainya dengan gerakan yang betul-betul cepat serta mengandung tenaga yang hebat. Demikian cepatnya gerakan Kamatari sehingga bagi mata orang biasa, orang pendek ini tidak berbuat apa-apa, karena sebelum potongan-potongah bangku jatuh ke tanah, samurainya sudah kembali ke sarungnya. Seperti main sulapan saja!

Kamatari mengerling sekejap kearah Yo Wan, kemudian dia menghadapi nona itu, wajahnya membayangkan kepuasan dan harapan bahwa kali ini gadis itu akan menjadi Jerih dan suka menurut. Akan tetapi dugaannya meleset jauh. Gadis itu berpaling kepada suhengnya dan berkata,

“Suheng, bukankah lucu sekali badut pendek ini?”

“Sumoi, jangan main-main. Agaknya dia jujur dan mari kita menemui kongcu itu, kita lihat apa kehendaknya,” jawab suhengnya yang agaknya tidak ingin mencari keributan.

“Suheng, setelah dia mengeluarkan pedang cakar ayamnya, kalau kita menurut saja, bukankah orang akan menganggap kita ini tidak becus apa-apa? Biarkan aku main-main sebentar dengannya.”

Si pemuda menghela napas, lalu jawabnya lirih,
“Sesukamulah, akan tetapi jangan menimbulkan gara-gara.”

Si gadis tersenyum manis.
“Aku hanya ingin main-main, siapa hendak menimbulkan gara-gara?” Kemudian ia menghampiri Kamatari dan berkata, “Namamu Kamatari dan pedangmu yang bengkok adalah pedang cakar ayam, ya?” Sengaja ia mengganti Cakar Naga dengan cakar ayam. “Bagus, akupun punya pedang yang saat ini kuberi nama pedang penyembelih ayam. Boleh kau coba-coba layani pedangku ini, Kamatari. Sekali lagi kunyatakan bahwa kalau kau tidak bisa menangkan pedangku ini, aku tidak sudi bertemu dengan kongcumu!”

Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut sebatang pedang dengan perlahan. Tertawalah orang-orang Jepang yang berada di belakang Kamatari ketika melihat sebatang pedang pendek dengan ukuran kurang lebih dua puluh cun (satu cun ±2 senti meter), warnanya hitam sama sekali tidak mengkilap, bahkan warna hitamnya hitam kotor seperti tanah.

Dan jauh tampak seperti pedang terbuat daripada tanah lempung saja. Tentu saja orang-orang Jepang yang terkenal dengan pedang-pedang samurai mereka yang terbuat daripada baja tulen dan berkilauan saking tajamnya itu tertawa mengejek menyaksikan pedang si nona yang begitu buruk dan pendek. Akan tetapi diam-diam Yo Wan kagum. Ia maklum bahwa pusaka yang ampuh tampak sederhana. seperti juga orang pandai kelihatan bodoh dan air dalam kelihatan tenang.

Kamatari juga tertawa. Suara ketawanya pendek-pendek susul-menyusul dan kepalanya bergoyang-goyang, kemudian dia menoleh kepada teman-temannya yang masih berdiri seperti barisan dengan tubuh tegak di belakangnya.

“Kalian mendengar sendiri, dia yang memaksaku bermain-main, harap. kalian nanti dapat melaporkan kepada kongcu agar aku tidak dipersalahkan.”

Setelah berkata demikian, dia melangkah maju menghadapi gadis itu sambil berkata, lagaknya sombong.

“Aku sudah siap Nona!”

Nona itu tersenyum mengejek, akan tetapi alisnya yang hitam kecil itu bergerak-gerak.
“Cabut pedangmu, orang sombong!”

“Cakar Naga tak pernah meninggalkan sarungnya kalau tidak perlu. Nona boleh menyerang.”

“Cih, siapa sudi? Aku bukan orang yang suka menyerang orang tak memegang senjata. Kalau kau mengajak kami menemui kongcumu, kau harus menyerang dan mengalahkan pedangku. Habis perkara!”

“Begitukah? Nah, lihat pedangku!”

Kamatari tiba-tba mengeluarkan pekik menyeramkan, tubuhnya menerjang maju didahului sinar berkilauan. Bagi mata orang biasa, gerakan mencabut dan mempergunakan pedang samurai tidak akan tampak, yang kelihatan hanya sinar pedang yang menyilaukan mata. Akan tetapi gadis itu agaknya dapat melihat jelas karena sekali menggeser kaki ia telah mengelak kekiri.

“Crakkk!” terdengar suara kayu terbelah.

Kamatari sudah berdiri tegak lagi, tangan kiri dengan jari terbuka melindungi dada, tangan kanan tergantung di pinggang, dekat gagang pedang, akan tetapi pedangnya sendiri sudah bersarang di dalam sarung pedangnya lagi.

Meja yang tadi berada di dekat gadis itu, meja kosong, bergoyang-goyang, tidak kelihatan disentuh, tidak kelihatan rusak, akan tetapi perlahan-lahan miring lalu roboh menjadi dua potong. Begitu tajamnya samurainya, seakan-akan meja itu terbuat daripada agar-agar saja!

“Hi-hi-hik, mengapa kau berhenti, Kamatari? Kalau hanya membelah meja, anak kecilpun bisa!”

“Jagalah ini. Haiiiiittttt!”

Kamatari sudah menerjang lagi, didahului sinar samurainya yang berkelebatan menyambar-nyambar. Sambaran pertama dihindarkan oleh gadis itu dengan melejit ke kanan, sambaran kedua yang menyerampang kakinya dia hindarkan dengan loncatan indah ringan keatas melalui meja. Serangan ketiga yang luar biasa hebat dan berbahayanya, dia tangkis dengan pedang hitamnya.

“Cring….. tranggggg…..!!”

Dua kali samurai tajam mengkilat bertemu pedang pendek hitam buruk. Bunga api berpijar menyilaukan mata dan tampak Kamatari terhuyung ke belakang sedangkan gadis berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tersenyum.

“Kenapa berhenti lagi? Kau mau merusak pedangku?” Gadis itu mengejek.

Kini Kamatari mengurangi lagaknya. Pedang samurai tidak dimasukkan ke dalam sarung Pedangnya, melainkan dipegang di tangan kanan. la tadi terkejut setengah mati karena selain Pedang buruk lawannya itu dapat menahan samurainya, juga telapak tangannya serasa hendak pecah-pecah dan kuda-kuda kakinya tergempur. Tahulah dia bahwa gadis di depannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan.

Kini dia tidak main-main aksi-aksian lagi, dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Terdengar mulutnya mengeluarkan pekik berkali-kali, pekik serangan, dan samurainya menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar memanjang. Gerakannya penuh tenaga dan gesit samurainya selalu membalik dan mengikuti gerakan si gadis yang mengelak kesana kemari. Namun dia seakan-akan menyerang bayangannya sendiri. Kemanapun dia menyabet, selalu samurainya membelah angin belaka.

Diam-diam Yo Wan terkejut dan matanya terbelalak, jantungnya berdebar. Baginya, pemandangan di depan mata ini mengejutkan. Betapa tidak? Ia mengenal baik gerakan gadis itu, gerakan mengelak sambil berloncat-loncatan, jongkok, berdiri, terhuyung-huyung. Biarpun ada beberapa perbedaan, namun tak salah lagi, itulah gerakan-gerakan yang mirip sekali dengan Si-cap-it Sin-po, yaitu empat puluh satu jurus langkah ajaib yang dia pelajari dari suhunya, Pendekar Buta.

Memang gaya dan perkembangannya berbeda, namun dasarnya memiliki persamaan yang tidak dapat diragukan lagi tentu dari satu sumber. Keduanya memiliki ciri-ciri yang khas dari gerakan seekor burung, atau jelasnya, gerakan seekor burung rajawali.






No comments:

Post a Comment