Ads

Wednesday, March 6, 2019

Jaka Lola Jilid 091

Seorang diantara mereka, yang bermuka lonjong dan pipinya cacad sebelah kiri, agaknya sudah setengah mabuk. Dengan kepala bergoyang-goyang dia berkata kepada laki-laki pendek muka kuning yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu,

“Heh-heh-heh, Pui-twako, yang kau dapatkan hanya kembang-kembang mawar kota yang sudah layu, yang tiada durinya sama sekali. Itu sih membosankan! Lain lagi kalau bisa mendapatkan mawar hutan yang liar, yang harumnya semerbak asli, yang berduri runcing, yang segar…..”

“Ha-ha-ha'” sambung seorang yang matanya sipit hampir meram dengan ketawanya yang kasar. “Pui-twako tentu saja berhati-hati, apalagi menghadapi mawar merah yang selain berduri, juga dijaga siang malam oleh tukang kebunnya! Jangan-jangan tangan akan tertusuk pedang dan kepala akan dikemplang tukang kebun! Ha-ha-ha!” Si mata sipit mengerling ke arah meja muda-mudi itu.

“Ah, mana Pui-twako takut akan semua itu? Pedang itu hanya untuk berlagak agar harganya naik menjadi mahal, tukang kebunnya pun kecil kurus, bisa berbuat apa terhadap Pui-twako? Tidak percuma Pui-twako dijuluki Tiat-houw (Macan Besi), siapa yang tidak mengenal Harimau dari Huang-ho?”

Orang yang disebut Pui-twako dan berjuluk Harimau Besi itu hanya tersenyum-senyum dan mengerling kearah meja muda-mudi itu. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya pendek tapi tegap dan kelihatan kuat, sikapnya seorang jagoan asli, tersenyum-senyum mengejek dengan pandangan mata acuh tak acuh dan memandang rendah segala di sekelilingnya. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi merah oleh pengaruh arak dan jelas sekali dia menjadi bangga mendengar puji-pujian teman-temannya.

“Aku bukan termasuk lelaki rendah yang suka mengganggu wanita baik-baik,” katanya dengan suara lantang, agaknya sengaja dikeluarkan agar didengar oleh gadis di seberang itu.

Yo Wan mengenal orang macam ini. Seorang dengan hati palsu dan mulut pandai bicara, pandai berlagak dan pandai pura-pura menjadi seorang gagah dan seorang yang baik hati.

Akan tetapi ucapan ini dikeluarkan berlawanan dengan isi hatinya, hanya dengan maksud agar supaya dia kelihatan “berharga” dalam pandang mata wanita itu. Yo Wan tahu betul akan hal ini, karena suara dan pandang mata orang she Pui itu berlawanan, seperti bumi dengan langit.

“Ahhh, Pui-twako. Siapa yang tidak tahu bahwa kau seorang gagah perkasa? Mengganggu lain lagi dengan mengajak berkenalan. Gagah sama gagah, berkenalan dengan segala macam cacing busuk yang lemah, lebih baik berkenalan dengan Harimau Besi, sedikit banyak bisa ketularan kegagahannya!” kata si muka cacad sambil mengerling kearah meja muda-mudi itu penuh arti.

Yo Wan makin mendongkol. Alangkah kurang ajar dan beraninya enam orang itu. Terang bahwa si pemuda diejek dan dihina, karena memang sikap dan pakaian pemuda itu seperti seorang pelajar yang pada masa itu sering kali diejek dengan sebutan cacing buku atau kutu buku.

Akan tetapi muda-mudi yang dijadikan bahan percakapan dan bahan ejekan itu masih saja makan dengan lambat dan tenang, sama sekali tidak menghiraukan mereka berenam. Hanya terdengar gadis itu berkata, suaranya halus dan perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri, tanpa melirik kearah enam orang itu.

“Hemmm, banyak lalat-lalat kotor menjemukan disini. Sayang…… biar bukan gangguan besar, sedikitnya mengurangi selera makan…..”

“Biarlah, Sumoi….. biasanya dekat sungai besar memang banyak lalat kotor. Tapi mereka tidak ada artinya…..” kata pemuda itu menghibur.

Yo Wan hampir tak dapat menahan ketawanya. Bagus, pikirnya. Kiranya mereka itu adalah kakak beradik seperguruan, dan tepat sekali sindiran mereka itu yang diam-diam memaki enam orang kasar itu sebagai ‘lalat-lalat hijau yang kotor’.

Tentu saja enam orang itu mengerti pula akan sindirian ini. Si pipi cacad bangkit berdiri menepuk meja.

“Pui-twako, masa diam saja dihina orang? Kalau suhengnya kutu buku, tentu pedang sumoinya itu hanya hiasan belaka, untuk menakut-nakuti orang supaya dianggap pendekar-pendekar jempolan. Hayo minta maaf pada…..”

“Sssttttt, Gong-lote, jangan mencari gara-gara disini!” tiba-tiba si Harimau Besi berkata tajam dan si pipi cacad itu segera duduk kembali.






“Pui-twako, orang-orang bilang singa-singaan batu dari restoran ini beratnya lebih dari tiga ratus kati dan tidak pernah ada yang kuat mengangkat. Dasar orang-orang lemah, siapa bilang tidak ada yang kuat angkat? Harap Pui-twako suka membantah kabar itu dengan membuktikan kepada mereka!”

Si Harimau Besi hanya tersenyum-senyum saja?
“Ah, kalian ini ada-ada saja,” katanya ketika teman-teman yang lain juga membujuknya.

“He, pelayan-pelayan, ke sinilah!” teriak si mata sipit.

Lima orang pelayan berlari menghampiri mereka sambil tertawa-tawa. Agaknya enam orang itu memang langganan mereka.

“Apa betul selama ini tidak ada orang yang mampu mengangkut singa-singaan batu di depan itu?” tanya si sipit sambil menuding kearah sebuah singa-singaan batu yang terukir kasar dan diletakkan di depan pintu restoran sebagai hiasan.

“Betul, Loya. Singa itu berat sekali. Empat orang baru dapat mengangkatnya, itupun harus orang-orang kuat dan menggunakan tambang,” jawab seorang pelayan yang kurus.

“Ah, dasar orang-orang tiada guna. Lihat, Pui-twako akan mengangkatnya seorang diri tanpa bantuan siapa pun juga!” kata si mata sipit sambil memandang kepada orang she Pui.

“Ahhh, harap Loya jangan main-main! Singa itu beratnya lebih dari tiga ratus kati! Jangankan mengangkat, kalau hanya sendiri, menggeser saja tidak ada yang mampu lakukan!”

Si mata sipit melotot, akan tetapi tetap sipit, karena memang lubang pelupuk matanya sempit.

“Menggeser? Huh, dasar kalian ini gentong-gentong kosong. Lihat!”

la melangkah lebar menghampiri singa-singaan batu, kedua lengannya memegang kepala singa-singaan itu dan sambil berseru

“Hiyaaahhh!” la menggeser singa-singaan itu beberapa dim jauhnya!

“Wah, Loya kuat sekali!” lima orang pelayan itu memuji dan memandang kagum.

Si mata sipit mengangkat dadanya yang tipis dan yang bersengal-sengal.
“Ini belum!” la menyombong. “Tapi Pui-twako yang disana itu, dia mampu mengangkat singa-singaan ini. Kalian tidak tahu siapa itu adalah Tiat-houw Pui-enghiong, Harimau Besi dari Huang-ho! Aku sendiri, tenagaku tidak sebesar Pui-twako, akan tetapi sepasang golokku ini siapa berani melawan Huang-ho Siang-to (Sepasang Golok Huang-ho) inilah orangnya! Dan saudaraku di sana itu” Ia menudingkan telunjuknya ke arah si pipi cacad, “Siapa tidak pernah mendengar nama Huang-ho Sin-piauw (Piauw Sakti dari Huang-ho)? Kami bertiga sudah malang-melmtang di sepanjang Huang-ho, baru sekarang berkesempatan memperkenalkan diri di Leng-si-bun.”

Mendengar ini lima orang pelayan itu segera menjura dengan muka berseri-seri,
“Kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) tiga orang gagah juragan-Juragan perahu yang terkenal itu? Maaf, kami tidak tahu dan kurang hormat. He, teman-teman, lekas sediakan arak wangi, untuk menghormati tamu-tamu besar”.

Melihat sikap para pelayan yang menghormat mereka, diam-diam Yo Wan memperhatikan. Kiranya mereka itu adalah tiga orang juraga perahu yang terkenal juga. Dan agaknya yang tiga lagi adalah pedagang-pedagang langganan mereka.

“Pui-twako, setelah kita memperkenalkan diri, harap suka turun tangan sedikit agar cacing-cacing buku tidak tertutup matanya!” kata pula Huang Siang-to yang bermata sipit.

“Bhe-lote, apa sih artinya angkat-angkat batu macam ini? Tidak ada artinya bagiku!” kata orang she Pui, akan tetapi dia melangkah kearah singa-singaan batu, membungkuk, mengangkat dengan kedua tangannya lalu sekali dia berseru keras, singa-singaan batu itu sudah terangkat ke atas kepalanya!

Tepuk tangan menyambut demonstrasi ini, tepuk tangan para pelayan dan lima orang teman-teman si Harimau Besi. Ketika singa-singaan batu itu sudah diturunkan kembali, si Harimau Besi tidak kelihatan tersengal napasnya hanya mukanya yang kuning berubah merah.

Yo Wan yang memandang dari sudut matanya tentu saja tidak heran menyaksikan demonstrasi itu dan dia sekaligus maklum bahwa si Harimau Besi adalah seorang ahli gwakang yang bertenaga besar. Ketika dia melirik kearah muda-mudi itu, dia melihat si gadis tersenyum mengejek.

Diam-diam Yo Wan terkejut juga. Kalau gadis itu masih berani tersenyum mengejek setelah menyaksikan demonstrasi ini, tentu saja gadis itu mempunyai andalan dan menganggap demonstrasi itu bukan apa-apa. Mulailah dia menaruh perhatian dan kalau tadi dia agak mengkhawatirkan keselamatan muda-mudi itu, sekarang perhatiannya terbalik dan dia malah mengkhawatirkan keselamatan enam orang itu. la melihat kilatan mata yang penuh ancaman di atas bibir yang tersenyum mengejek.

“Dasar manusia-manusia tak tahu diri,” diam-diam Yo Wan berpikir, “benar-benar seperti rombongan monyet berlagak, mencari penyakit sendiri.”

Ahli golok bermata sipit she Bhe itu cengar-cengir, kini terang-terangan memandang ke arah meja si muda-mudi sambil berkata,

“Kalau si kutu buku dan sumoinya sanggup mengangkat batu ini, biarlah kami takkan banyak bicara lagi. Akan tetapi kalau tidak sanggup, si kutu buku harus membiarkan sumoinya yang cantik manis untuk menemani kami minum beberapa cawan arak.”

Sungguh keterlaluan si mata sipit ini, kekurang ajarannya sudah memuncak. Yo Wan ingin sekali memberi tahu agar muda-mudi itu pergi saja meninggalkan restoran dan menjauhi keributan. Akan tetapi muda-mudi itu enak-enak saja makan, lalu terdengar si gadis berkata mengomel,

“Suheng, makin lama lalat-lalat hijau busuk itu membosankan. Bagaimana kalau aku tepuk mampus binatang-binatang hina itu?”

“Ihhh, apa perlunya melayani segala macam lalat bau, Sumoi? Biarkan saja, memang biasanya lalat-lalat hijau itu hanya berkeliaran di tempat-tempat kotor, lalu menimbulkan suara ribut dan menyebar penyakit. Biarkan saja, mereka tentu akan mampus sendiri kelak.”

Muda-mudi itu tertawa geli sambil melanjutkan makan minum. Tiga orang jagoan itu kelihatan marah sekali, juga si pendek yang mengangkat batu tadi. Mukanya yang kuning menjadi merah, matanya melotot. la lalu mengangkat lagi singa-singaan batu, mengerahkan tenaga dan melontarkan singa-singaan itu keatas, kearah meja si muda-mudi.

la sudah memperhitungkan bahwa dua orang muda itu tentu akan mengelak dengan melompat pergi sehingga singa-singaan batu akan menimpa dan menghancurkan meja dan mereka akan dapat mentertawakan dua orang itu. Batu besar itu berputaran ke atas, lalu menyambar kearah meja si muda-mudi yang masih enak-enak saja makan minum seakan-akan tidak melihat datangnya bahaya!

Akan tetapi setelah singa-singaan batu itu melayang diatas kepala mereka dan agaknya akan menimpa mereka berdua dan meja didepan mereka, si nona cantik itu menggerakkan tangan kiri, dengan jari-jari terbuka, jari-jari tangan yang kecil meruncing dan halus itu hanya menyentuh batu itu tampaknya, akan tetapi batu itu tiba-tiba terputar diudara dan melayang kembali kearah meja enam orang itu!

“Wah, celaka, lari….!” teriak si mata sipit.

Karena tiga orang saudagar yang menjadi langganan mereka itu tak pandai silat, maka si mata sipit, si pendek, dan Si pipi cacad masing-masing menarik tangan seorang saudagar dan dibawa meloncat pergi dari dekat meja. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika singa-singaan batu jatuh menimpa meja. Meja pecah, keempat kakinya patah-patah, mangkok piring hancur berantakan, sumpit beterbangan dan cawan-cawan arak tumpah.

“Ha-ha-ha!” Si pemuda tertawa.

“Hi-hi-hik!”

Si pemudi mengikutinya. Akan tetapi mereka tetap saja makan minum tanpa pedulikan tiga orang jagoan yang melotot marah dan tiga orang saudagar yang menjadi pucat mukanya. Adapun Yo Wan yang masih duduk tenang, memandang kagum, akan tetapi juga merasa betapa gadis itu agak terlalu ganas. Enak saja bermain-main dengan batu seberat itu. Bagaimana kalau tadi menimpa kepala orang? Tentu akan remuk dan mati seketika juga.






No comments:

Post a Comment