Ads

Monday, March 4, 2019

Jaka Lola Jilid 087

Kata-kata yang jujur dan berdasarkan sungkan melawan orang bertangan kosong ini diterima oleh Bhok Hwesio sebagai penghinaan. la merasa dipandang rendah!

“Bocah sombong, melawan cacing macam engkau saja, mana perlu menggunakan senjata? Terimalah ini!”

Sepasang lengan hwesio tua itu bergerak dan dari kanan kiri menyambarlah angin pukulan dahsyat mendahului ujung lengan baju yang lebar. Yo Wan terkejut sekali ketika tiba-tiba diserang oleh angin pukulan dari dua jurusan, akan tetapi melihat betapa kedua lengan kakek itu bergerak lambat, dia melihat kesempatan baik sekali.

Diam-dam dia heran mengapa kakek itu memandangnya terlalu ringan sehingga melancarkan penyerangan begini bodoh, serangan yang tidak berbahaya, sebaliknya malah membuka diri sendiri menjadi sasaran. Cepat dia menggerakkan kedua tangannya, cambuk di tangan kirinya melecut ke arah urat nadi tangan kanan lawan sedangkan Pedang Kayu Wangi di tangan kanannya memapaki lengan kiri lawan dengan tusukan kearah jalan darah dekat siku. Semacam tangkisan yang sekaligus merupakan serangan mematikan, karena kalau kedua senjatanya itu mengenai sasaran, sepasang lengan kakek itu sedikitnya akan lumpuh untuk sementara!

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yo Wan dan sekaligus dia melihat kenyataan akan tepatnya peringatan Pendekar Buta dan Raja Pedang kepadanya tadi, ketika mendadak cambuk dan pedang kayunya terpental oleh hawa pukulan sakti, kembali menghantam dirinya sendiri!

Demikian kuatnya hawa pukulan sakti yang menyambar dari kedua lengan kakek itu sehingga selain sepasang senjatanya terpental kembali, juga angin pukulan itu masih dengan dahsyatnya menghantam dirinya.

“Lihai…..!!!”

Yo Wan berseru keras, cepat dia melempar diri ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh tanah, kemudian dia membalik dan cepat dia menggunakan langkah ajaib untuk keluar dari pengurungan hawa pukulan yang dahsyat tadi. Dengan terhuyung-huyung dia melangkah kesana kemari, akhirnya berhasillah dia keluar dari kurungan hawa pukulan!

Hwesio tua itu tersenyum mengejek, hidungnya mendengus seperti kerbau, kemudian lengannya bergerak-gerak lagi mengirim pukulan. Gerakan kedua tangannya lambat-lambat saja, jari tangannya terbuka dan dari telapak tangan itulah keluar hawa pukulan yang dahsyat tadi, sedangkan ujung lengan bajunya berkibar-kibar merupakan sepasang senjata kuat.

Sepasang ujung lengan baju ini yang tadi menangkis dan membentur cambuk dan pedang, membuat kedua senjata itu terpental kembali. Dari peristiwa ini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga sinkang kakek Siauw-liin-pai ini luar biasa hebatnya.

Setelah mengalami gebrakan pertama yang hampir saja mencelakainya, wajah Yo Wan sebentar pucat sebentar merah. la merasa malu sekali. Tadinya dia mengira kakek itu terlalu memandang rendah kepadanya, kiranya perkiraan itu malah sebaliknya. Dialah yang tadi terlalu memandang rendah, menganggap gaya gerakan kakek itu sembarangan dan ceroboh.

Sekarang dia dapat melihat jelas dan dapat menduga bahwa agaknya inilah Ilmu Silat Lo-han-kun dari Siauw-lim-pai, yang dimainkan oleh seorang tokoh tingkat tertinggi sehingga bukan merupakan ilmu pukulan biasa, melainkan lebih mirip ilmu gaib karena biarpun digerakkan begitu lambat seperti gerakan kakek-kakek lemah tenaga, namun di dalamnya mengandung hawa pukulan yang bukan main kuatnya.

Sekaligus terbukalah mata Yo Wan dan diam-diam dia harus mengakui kewaspadaan Pendekar Buta dan Raja Pedang yang tadi memesan kepadanya agar dia tidak mengadu tenaga dan menghadapi kakek tua renta yang sakti ini dengan permainan kucing-kucingan, berusaha menghabiskan napas kakek itu sambil menanti pulihnya tenaga Raja Pedang atau Pendekar Buta.

Setelah kini yakin bahwa kakek yang dihadapinya ini benar-benar luar biasa lihainya, dia tidak berani berlaku ceroboh lagi. Begitu kakek ini menyerangnya dengan pukulan lambat yang mendatangkan angin keras, dia cepat mengelak dengan langkah-langkah ajaib.

Akan tetapi Yo Wan tidak mau mengalah begitu saja, karena biarpun dia maklum akan kelihaian lawan, dia merasa penasaran kalau tidak membalas. Pedang kayunya menyambar-nyambar mainkan Liong-thouw-kun yang empat puluh delapan jurus banyaknya, sedangkan cambuk Liong-kut-pian di tangan kirinya melecut-lecut dan melingkar-lingkar ketika dia mainkan Ngo-sin-hoan-kun (Lima Lingkaran Sakti), berubah menjadi segulung awan menghitam yang melingkar-lingkar dan sambung-menyambung, sedangkan pedang kayunya kadang-kadang menyambar keluar seperti kilat menyambar dari dalam awan hitam!






“Omitohud….. bocah ini berilmu iblis …,.!”

Bhok Hwesio berseru memuji tapi dengan kata-kata mengejek. Diam-diam dia kagum bukan main dan sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu memiliki ilmu yang demikian aneh dan dahsyatnya. Selain ini, juga dia merasa amat penasaran karena tidak seperti biasanya, pukulan-pukulannya yang penuh dengan hawa sinkang itu kali ini tak pernah mengenai sasaran.

Setelah mainkan ilmu gabungan yang indah dan dahsyat itu selama hampir seratus jurus tahulah Yo Wan bahwa menghadapi kakek ini benar-benar dia tidak berdaya, jurus-jurus simpanannya dia keluarkan dan beberapa kali ujung cambuk dan ujung pedang kayunya menyentuh tubuh Bhok Hwesio.

Akan tetapi semua itu sia-sia belaka karena begitu menyentuh kulit kakek itu, senjatanya membalik dan telapak tangannya serasa panas dan sakit. Malah ada kalanya, ketika senjatanya terbentur hawa pukulan kakek itu, senjatanya membalik hampir menghantam tubuhnya sendiri. la maklum apa artinya ini.

Ternyata dia jauh kalah kuat dalam adu kekuatan dan menghadapi seorang yang sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja sukar baginya untuk dapat merobohkan. Sebaliknya, andaikata dia tidak dapat mainkan Si-cap-it Sin-po, yaitu Empat Puluh Satu Langkah Ajaib, sekali saja terkena pukulan Bhok Hwesio, sukar untuk menolong keselamatan nyawanya!

Oleh karena ini, penyerangan-penyerangannya dia ubah sama sekali, kini dia hanya menyerang apabila mendapatkan kesempatan baik dan sasarannya hanya tempat-tempat yang tak dapat dilindungi oleh Iweekang, seperti mata dan ubun-ubun kepala.

Bhok Hwesio makin penasaran. Dia, seorang tokoh tinggi Siauw-lim-pai yang hanya dapat dijajari tingkatnya oleh ketua Siauw lim-pai, kini menghadapi seorang pemuda tak dapat mengalahkannya dalam seratus jurus lebih! Betapa aneh dan memalukan! Bukan itu saja, malah sekarang pemuda itu mengarahkan serangan ke mata dan ubun-ubun kepala, membuat dia terpaksa harus mengelak atau menangkisnya!

Karena rasa penasaran inilah, dia mempercepat gerakannya dan makin lama dia bersilat makin cepat untuk mengimbangi kecepatan Yo Wan dan untuk dapat cepat-cepat merobohkan bocah itu.

Namun benar-benar Ilmu Langkah Si-cap-it Sin-po luar biasa sekali, karena tak pernah pukulan Bhok Hwesio mengenai sasaran. Hal ini sebetulnya tidaklah mengherankan. Ilmu langkah itu didapat oleh Yo Wan dari Pendekar Buta dan pendekar ini mendapatkannya dari Ilmu Sialt Kim-tiauw-kun. Padahal Kim-tiauw-kun yang diciptakan oleh Bu-beng-cu di puncak Liong-thouw-san (Bu Beng Cu adalah suheng dari Sin-eng-cu) dan kemudian ditemukan Kun Hong, bersumber pada Ilmu Silat Im-yang-bu-tek-cin-keng yang menjadi raja segala ilmu silat tjnggi, dan menjadi pegangan dari Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu! Tidaklah mengherankan kalau langkah ajaib ini sekarang dapat membuat seorang tokoh besar Siauw-lim-pai menjadi tidak berdaya.

Di lan fihak Yo Wan adalah seorang pemuda yang cerdik. Setelah menjadi yakin bahwa terhadap Bhok Hwesio dia tidak akan mampu menggunakan ilinunya untuk mencapai kemenangan, dia sepenuhnya menjalankan pesan Pendekar Buta dan Raja Pedang. ia mainkan langkah ajaib dengan cermat sekali dan setiap kali ada kesempatan, dia mengancam mata atau ubun-ubun kepala lawan.

Selain ini, dia sengaja berloncatan menjauhkan diri mempergunakan ginkangnya, sehingga lawannya yang makin bernafsu itu mengejarnya lebih cepat. Ini membutuhkan pergerakan cepat sehingga makin lama mereka bergerak makin cepat sampai lenyap bentuk tubuh berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan.

Betapapun saktinya Bhok Hwesio, dia hanyalah seorang manusia juga. Manusia yang mempunyai darah daging, otot-otot dan tulang. Manusia yang tidak akan mampu, betapapun sakti dia, melawan kekuasaan dan kesaktian usia tua.

Usia kakek ini sudah amat tinggi, mendekati sembilan puluh tahun. Boleh jadi dia matang dalam kepandaiannya, amat kuat dalam tenaga sinkang, namun harus diakui bahwa usia tua menggerogoti daya tahannya. Tanpa dia sadari, setelah mengejar-ngejar Yo Wan seperti orang mabuk mengejar bayangannya sendiri, lewat tiga ratus jurus, napasnya mulai kempas-kempis, mukanya penuh peluh dan pucat, sedangkan dari kepalanya yang gundul itu mengepul uap putih tebal!

Dapat dibayangkan, seorang kakek berusia sembilan puluh tahun main kejar-kejaran dengan gerakan secepat itu selama tiga jam! Ini masih ditambah oleh rasa marah dan penasaran yang tentu saja menambah sesaknya napas.

Saking marahnya Bhok Hwesio, ketika untuk ke sekian kalinya, bagaikan ujung ekor ular mempermainkan kucing, cambuk Yo Wan menyambar ke arah kedua matanya. Bhok Hwesio menggeram, tidak mengelak melainkan menangkap cambuk ini dengan kedua tangannya! la berhasil menangkap cambuk, lalu merenggut keras.

Yo Wan terkejut, tapi dia mempertahankan cambuknya. Terjadi betot-membetot. Tentu saja pengerahan tenaga menarik jauh bedanya dengan tenaga mendorong. Mendorong merupakan tenaga yang dipaksakan, dan dalam hal ini Yo Wan tidak berani menerima dorongan lawan karena kalah kuat.

Akan tetapi dalam adu tenaga menarik, tidak ada bahayanya kalau kalah, paling-paling harus melepaskan cambuk. Karena itulah maka Yo Wan tidak mau menerima kalah begitu saja. la memegang gagang cambuk erat-erat dan mengerahkan tenaganya menahan.

Ada sedikit keuntungan baginya. la memegang gagang cambuk yang tentu saja lebih “enak” dipegang, dari pada ujung cambuk yang kecil dan menggigit kulit tangan. Keuntungan inilah agaknya yang membuat Yo Wan dapat menebus kekalahannya dalam hal tenaga, sehingga tidak mudah bagi Bhok Hwesio untuk dapat merampas cambuk itu cepat-cepat.

Cambuk Liong-thouw-pian peninggalan Bhewakala ini luar biasa kuatnya. Ditarik oleh dua orang yang memiliki tenaga sakti itu, benda ini mulur panjang, kadang-kadang mengkeret kembali seperti karet. Lama dan ramailah adu tenaga ini, seperti dua orang kanak-kanak main adu tambang. Hanya penasaranlah yang membuat Bhok Hwesio bersitegang tidak mau menyudahi betot-membetot yang lucu dan tidak masuk dalam kamus persilatan ini!

Yo Wan mengangkat muka memandang. Hwesio itu mukanya pucat sekali, seperti tidak berdarah atau agaknya semua darah di mukanya sudah terkumpul di kedua matanya yang menjadi merah mengenaskan. Keringat sebesar kacang kedelai memenuhi muka dan leher, juga kepala, dadanya kembang-kempis secara cepat.

Melihat ini, Yo Wan mengerahkan tenaganya dan mempertahankan cambuknya. Bukan karena dia terlalu sayang akan cambuknya, melainkan dengan jalan ini dia dapat menguras dan memeras habis tenaga lawan.

Dalam ilmu silat dan tenaga dalam dia kalah, namun dia harus mencari kemenangan dalam keuletan dan pernapasannya, mencari kemenangan mengandalkan usianya yang jauh lebih muda. Dia sendiri juga mandi keringat, akan tetapi agaknya tidak sehebat kakek itu.

Bhok Hwesio makin penasaran, menahan napas dan mengerahkan seluruh tenaganya, menarik. Tubuhnya seakan-akan membesar, otot-otot di lehernya mengejang dan menonjol keluar.

“Krekkkkk!!”

Cambuk itu putus di tengah-tengah! Yo Wan terbanting ke belakang, terus bergulingan seperti bola, ada lima meter jauhnya. Tanpa disengaja, dia terguling ke dekat Cui Sian dan agaknya akan menabrak gadis itu kalau saja Cui Sian tidak mengulurkan tangan dan menahannya sehingga mereka seperti berpelukan! Cepat-cepat Cui Sian menjauhkan diri dan mukanya menjadi merah sekali!

“Ah….. eh…… maaf, Sian-moi…..” kata Yo Wan, juga merah mukanya.

Akan tetapi Cui Sian segera dapat mengatasi hatinya.
“Waspadalah, Yo-twako, dia lihai bukan main. Kau usap peluhmu itu…..”

Sambil berkata demikian, Cui Sian menyerahkan sehelai saputangan sutera. Yo Wan menerimanya, teringat akan lawannya dan cepat dia melompat bangun dan berdiri sambil mengusapi peluh di mukanya.

Bau sedap dari saputangan itu menyegarkan semangatnya sehingga dia lupa akan cambuknya yang amat disayangnya, cambuk yang kini sudah putus menjadi dua. la melihat kakek itu juga berdiri tegak, sepasang matanya yang biasanya meram itu kini terbelalak, merah menakutkan. Jelas sekali kakek itu tidak dapat menahan napasnya yang terengah-engah.

“Hwesio tua, kalau kau mau mengaso, mengasolah dulu. Napasmu perlu diatur, jangan-jangan putus nanti seperti cambukku…..”

Yo Wan sengaja mengejek, karena dia khawatir kalau kakek itu mengaso dan mendapatkan kembali tenaga dan napasnya, tentu akan lebih berbahaya.

“Iblis cilik, sekarang pinceng akan menghancurkan kepalamu!”






No comments:

Post a Comment