Ads

Monday, March 4, 2019

Jaka Lola Jilid 088

Sambil berkata demikian, Bhok Hwesio menerjang maju lagi. Yo Wan meloncat dan menghindar, kini tangan kirinya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan putih sebagai pengganti cambuknya yang putus. Itulah pedang Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu.

“Tidak mudah, Hwesio, kalau kepandaian yang kau bawa dari Siauw-lim-pai hanya seperti ini…..”

Terdengar teriakan ngeri ketika Bhok Hwesio melompat maju seperti harimau menerkam. Teriakan ini keluar dari mulut Cui Sian saking kaget dan gelisahnya. Terkaman itu hebat bukan main. Tubuh Bhok Hwesio seperti terbang di angkasa dan tampaknya kedua kakinya ikut pula menyerang, persis seperti seekor harimau yang menerjang.

Yo Wan melompat lagi menghindar, akan tetapi tubuh Bhok Hwesio itu mengikutinya, seperti seekor kelelawar besar, mengancam dari atas. Melihat jari-jari tangan yang gemetar dan mengeluarkan bunyi berkerotokan itu, Yo Wan menjadi pucat. Sekali kena dicengkeram, akan hancurlah dia. Jangankan kena dicengkeram, kena sentuh jari-jari itu saja cukup untuk membuat orang roboh!

Melihat betapa tubuh diatas itu seperti terbang dapat mengikutinya, Yo Wan menjadi nekat. Sekuat tenaga dia menggerakkan kedua pedangnya, pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) di tangan kanan dan pedang Pek-giok-kiam (Pedang Kumala Putih), menyerang dengan tusukan-tusukan maut kearah tenggorokan dan bawah pusar!

Tapi kakek yang melayang Itu menggerakkan kedua tangannya, langsung menerima pedang-pedang itu dengan cengkeramannya. Terdengar bunyi “krakkk-krekkk!” dan pedang kayu Siang-bhok-kiam hancur berkeping-keping sedangkan pedang Pek-giok-kiam patah-patah menjadi tiga potong!

Akan tetapi terjangan ini membuat tubuh hwesio itu terpaksa turun kembali dan ternyata tangan kanannya yang mencengkeram Pek-giok-kiam tadi mengeluarkan darah karena terluka!

Bhok Hwesio mengeluarkan suara gerengan keras, lalu tiba-tiba berlari menerjang Yo Wan dengan kepala di depan. Gerakan ini luar biasa sekali, aneh dan lucu, seperti seekor kerbau gila mengamuk. Seekor kerbau tentu saja mengandalkan tanduknya yang kuat dan runcing, akan tetapi hwesio tua itu kepalanya gundul licin, masa hendak dipergunakan sebagai andalan serangan?

Karena Yo Wan memang kurang pengalaman, dia melihat gerakan hwesio ini dengan hati geli. Biarpun dia telah kehilangan cambuknya, kehilangan Siang-bhok-kiam dan Pek-giok-kiam, namun dia tidak menjadi gentar karena mengandalkah Si-cap-it Sin-po dan ilmu silat-ilmu silatnya yang tinggi, dia masih mampu mempertahankan dirinya sampai hwesio tua ini kehabisan napasnya.

“Yo Wan, awaaasss…..!!” Seruan ini hampir berbareng keluar dan mulut Raja Pedang dan Pendekar Buta.

Kagetlah hati Yo Wan. Tadinya dia menganggap gerakan Bhok Hwesio itu gerakan nekat yang pada hakekatnya hanya gerakan bunuh diri karena dengan kepala menyeruduk macam itu, alangkah mudah baginya untuk mengirim pukulan maut ke arah ubun-ubun kepala hwesio itu.

Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar seruan dua orang sakti itu. Cepat dia menggerakkan kaki mengatur langkah cepat karena tadinya tidak menganggap serangan itu berbahaya. la hanya merasa tekanan hawa yang luar biasa, panas dan membawa getaran aneh, lalu tubuhnya terjengkang.

Kepala maupun tubuh hwesio itu sama sekali tidak menyentuhnya, serangan kepala itu boleh dibilang tidak mengenai dirinya, karena tubuh Bhok Hwesio menyambar lewat, namun hawa pukulannya, demikian hebat sehingga Yo Wan terjengkang, terbanting dan merasa betapa dadanya sesak!

Cepat dia menekan perasaan ini dengan mengerahkan sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia tidak dapat mencegah tubuhnya terbanting dan bergulingan. Pada saat itu, Bhok Hwesio sudah mengejar maju, dan bertubi-tubi mengirim pukulan dengan kedua tangannya, pukulan jarak jauh yang tidak kalah ampuhnya oleh pukulan toya baja yang beratnya ratusan kati!

Raja Pedang memandang cemas, demikian pula Pendekar Buta mengepal tangan, hatinya tegang, kepatanya agak miring untuk dapat mengikuti semua gerakan itu dengan baik melalui pendengarannya.

Yo Wan melihat bahaya maut datang, cepat dia bergulingan lagi sehingga pukulan-pukulan jarak jauh itu hanya mengenai tanah, membuat debu beterbangan dan batu-batu terpukul hancur.

Dengan gemas Bhok Hwesio menyambar pedang Pek-giok-kiam yang tadi patah dan menggeletak diatas tanah, dilontarkannya pedang buntung itu kearah dada Yo Wan yang masih bergulingan diatas tanah.






Yo Wan mendengar bersiutnya angin, cepat dia menekankan kedua tangan diatas tanah, tubuhnya melejit ke atas dan “syyyuuuttt!” pedang buntung itu lewat di pinggir tubuhnya, merobek baju kemudian menancap sampai amblas di dalam tanah!

Yo Wan sudah berhasil melompat bangun, agak terhuyung-huyung dia karena pengaruh angin pukulan sakti tadi masih membuat dia sesak dadanya. Keadaannya berbahaya sekali karena setelah sekarang bertangan kosong dan terluka di sebelah dalam, biarpun tidak parah namun cukup akan mengurangi kelincahannya, agaknya dia akan roboh oleh kakek hwesio yang luar biasa tangguhnya itu.

Adapun Bhok Hwesio sudah menggereng lagi dan kepalanya menunduk, tubuhnya merendah, siap menerjang seperti tadi, terjangan dengan kepala seperti seekor kerbau mengamuk.

“Omitohud, Bhok-sute, banyak jalan utama, mengapa memilih jalan sesat? Selagi masih ada kesempatan, mengapa tidak mencuci noda lama dan kembali ke jalan benar?”

Ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus dan tenang penuh kasih sayang ini mengagetkan semua orang, terutama sekali Bhok Hwesio. la cepat mengangkat muka yang tadi ditundukkan itu memandang dan alis matanya yang sudah putih itu bergerak-gerak, keningnya berkerut-kerut.

Kiranya di depannya telah berdiri seorang hwesio tua yang tinggi kurus, usianya sudah sangat tua, kepalanya gundul mengkilap, alis, jenggot dan kumisnya yang jarang sudah putih semua, jubahnya kuning bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat hwesio.

Melihat hwesio tua ini, Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut. Juga Pendekar Buta miringkan kepalanya. Hanya Cui Sian dan Lee Si yang tidak mengenal siapa adanya kakek itu, juga Yo Wan tidak mengenalnya.

Tentu saja Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut karena mengenal kakek itu sebagai Thian Seng Losu, ketua Siauw-lim-pai. Kalau kakek ini datang dan membantu Bhok Hwesio yang terhitung sutenya sendiri, celakalah mereka semua. Menghadapi Bhok Hwesio seorang saja sudah repot, apalagi ditambah suhengnya yang tentu saja sebagai ketua Siauw-lim-pai memiliki ilmu yang hebat. Mana Yo Wan akan sanggup menahan?

“Suheng, harap jangan ikut-ikut, ini urusanku sendiri!” Bhok Hwesio mendengus marah ketika melihat ketua Siauw-lim-pai itu.

“Bhok-sute, insyaf dan sadarlah. Bukan saatnya bagi orang-orang yang mencari penerangan seperti kita ini melibatkan diri pada karma yang tiada berkesudahan. Mengapa sudah baik-baik kau bertapa, diam-diam kau pergi, Sute? Kalau kau masih ingin terikat karma, bukan begitu caranya. Lebih baik kau melakukan bakti terhadap negara. Pinceng mendengar bahwa kaisar sekarang kembali memimpin sendiri pasukan ke utara, dan kabarnya di luar tembok besar, Orang-orang Mongol mengganas dan memiliki banyak orang-orang sakti dari barat. Kalau memang hatimu belum puas dan ingin terikat pada dunia, kenapa kau tidak menyusul ke utara dan membantu kaisar?”

“Suheng, sekali lagi, jangan ikut-ikut. Raja Pedang adalah musuh besarku, dia harus menebus!”

“Otnitohud! Pinceng lihat Bu-tek-kiam-ong ketua Thai-san-pai yang terhormat sudah terluka parah dan tidak melawanmu. Mengapa kau sekarang main-main dengan anak muda?”

“Bocah ini mewakili Raja Pedang, terpaksa aku harus membunuhnya, Suheng, kemudian aku akan membikin musuh besarku tapadaksa, baru aku akan ikut dengan Suheng kembali ke kelenteng dan bertapa mencari jalan terang.”

“Ah….. ah…… menumpuk dosa dulu baru bertobat? Mengganas dalam kegelapan untuk mencari jalan terang. Mana bisa, Sute. Kau tersesat jauh sekali. Marilah kau ikut dengan pincengi dengan damai…..”

“Nanti sesudah kurobohkan bocah ini!”

Setelah berkata demikian, kembali Bhok Hwesio merendahkan tubuhnya, menundukkan muka dan siap untuk menerjang Yo Wan dengan ilmunya yang dahsyat.

“Jangan, Sute…..”

Tiba-tiba tubuh kakek tua itu melayang bagaikan sehelai daun kering dia tiba di depan Yo Wan, menghadang diantara pemuda itu dan Bhok Hwesio.

“San-jin-pai-hud (Kakek Gunung Menyembah Buddha) bukanlah ilmu untuk membunuh manusia…..!”

“Suheng, minggir!” bentak Bhok Hwe-sio.

“Jangan, Sute. Pinceng tidak membolehkan kau melakukan pembunuhan, sayang akan pengorbananmu selama puluhan tahun menderita dalam hidup. Apakah kau ingin mengulanginya lagi dalam keadaan yang lebih sengsara? Insyaflah.”

“Suheng, sekali lagi. Minggirlah!” Bhok Hwesio membentak marah sekali.

“Tidak, Sute…..”

“Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu lebih dahulu!”

“Omitohud, semoga kau diampuni…..”

Bhok Hwesio menggereng keras dan tubuhnya segera menerjang maju, kepalanya mengeluarkan uap kekuningan dan bagaikan sebuah pelor baja kepala gundul itu menubruk kearah perut Thian Seng Losu yang kurus. Ketua Siauw-lim-pai ini hanya berdiri diam, tidak mengelak, juga tidak menangkis.

“Desssss!!!”

Kepala gundul itu bertemu dengan perut dan tubuh.Thian Seng Losu terpental dan tak bergerak lagi! Sedangkan Bhok Hwesio berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, lalu maju terhuyung-huyung.

Yo Wan melompat marah.
“Hwesio jahat! Iblis kau, telah membunuh suheng sendiri!”

Yo Wan hendak menerjang Bhok Hwesio dengan penuh amarah, akan tetapi terdengar Kun Hong berseru.

“Yo Wan, mundur…..!”

“Yo Wan, tak perlu lagi, pertempuran sudah habis…..” kata Raja Pedang pula.

Yo Wan terkejut dan alangkah herannya ketika dia melihat tubuh Bhok Hwesio menggigil keras, lalu roboh miring.

Ketika dia mendekat, ternyata hwesio tinggi besar ini telah tewas, kepalanya retak-retak! Dan pada saat dia menengok, dia terbelalak memandang Thian Seng Losu sudah bangkit perlahan, wajahnya pucat dan matanya sayu memandang kearah Bhok Hwesio. Kemudian dia menghampiri jenazah sutenya, perlahan dia mengangkat jenazah itu, dipanggulnya, dan sambil menarik napas panjang dia menoleh kearah Yo Wan.

“Orang muda, kepandaianmu hebat. Tapi apa gunanya memiliki kepandaian hebat kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri? Di pantai timur bajak laut dan penjahat merajalela, di utara orang-orang liar mengganas, di dalam negeri sendiri, para pembesar menyalah gunakan wewenangnya, para menteri durna berlumba mencari muka sambil menggerogoti kekayaan negara. Kasihan kaisar yang bijaksana, pendiri kota raja baru, sampai di hari tuanya bersusah payah menghadapi musuh demi keamanan negara. Kalau orang-orang muda berkepandaian seperti kau ini hanya berkeliaran di gunung-gunung, saling serang dan saling bunuh dengan bangsa sendiri, bukankah itu sia-sia dan mengecewakan sekali?” Kembali kakek itu menarik napas panjang dan melangkah hendak pergi dari tempat itu.

“Thian Seng Losuhu, harap maafkan bahwa saya tidak dapat menyambut kedatangan Losuhu. Menyesal sekali urusan pribadi antara kami dan Bhok Hwesio membuat Losuhu terpaksa bertindak dan mengakibatkan tewasnya sute dari Lo-suhu,” kata Raja Pedang dengan suara menyesal dan mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil duduk bersila.






No comments:

Post a Comment