Ads

Monday, March 4, 2019

Jaka Lola Jilid 086

Namun sekali lagi dia menubruk dan memukul angin, karena Yo Wan sudah menyelinap pergi, dan sekali dia menggerakkan tangan kanan, cambuknya melecut bagaikan seekor ular hidup, kali ini diam-diam tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga, akan tetapi tahu-tahu ujung cambuknya sudah membelit pergelangan tangan kanan Maharsi!

Pendeta itu kaget sekali, cepat mengerahkan tenaganya untuk merenggut lepas tangannya yang terbelit cambuk. Namun sia-sia belaka, karena pada saat itu, dia telah dibetot oleh tenaga luar biasa melalui cambuk. Betapapun dia mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga pada sepasang kakinya, Maharsi tidak mampu menahan dan dia terhuyung ke depan. Tiba-tiba cambuk terlepas dari tangannya dan hampir saja Maharsi roboh terguling kalau saja dia tidak cepat melompat ke samping untuk mematahkan tenaga dorongan tadi.

“Maharsi, sekali lagi kuberi kesempatan. Pulanglah ke barat!” Yo Wan berkata lagi nada suaranya keren.

Maharsi termenung, ragu-ragu. Baru saja dia mendapat kenyataan bahwa pemuda murid uwak gurunya itu benar-benar lihai sekali. Permainan cambuknya tidak saja menyamai Bhewakala, malah lebih aneh dan hebat karena gerakan langkah kaki pemuda itu benar-benar membingungkannya. Gerakan cambuk Bhewakala masih dapat dikenalnya sedikit, akan tetapi langkah kaki itu benar-benar amat sukar dia ikuti sehingga dia tidak dapat menduga dari mana datangnya serangan cambuk.

Maharsi menjadi serba salah. Jelas bahwa pemuda itu masih memandang perhubungan perguruan dan memberi kesempatan kepadanya. Akan tetapi rasanya amat memalukan kalau harus rnengaku kalah terhadap seorang pemuda. Kalau melawan, dia agak jerih, khawatir kalau-kalau sekali lagi dia akan menderita kekalahan, kali ini malah dari murid uwak gurunya, Bhewakala.

“Sungguh memalukan menjadi seorang pengecut…..”

Yo Wan menengok dan mencari dengan pandang matanya, akan tetapi dia hanya melihat hwesio tua dengan mata meram itu berdiri agak jauh. la menduga bahwa hwesio tua itu yang bicara, akan tetapi hwesio itu tidak menggerakkan mulut dan dia tidak mengenal siapa adanya hwesio tinggi besar itu.

Akan tetapi bagi Maharsi, suara ini mengembalikan keberaniannya. la tadi lupa bahwa disitu masih ada Bhok Hwesio yang kesaktiannya telah dia ketahui. Dengan adanya hwesio itu disitu, takut apakah?

“Bocah sombong, Maharsi bukanlah seorang pengecut!”

Setelah membentak keras, pendeta jangkung ini melompat ke depan dan mengirim serangan yang lebih dahsyat daripada tadi. Yo Wan menjadi gemas sekali. Ia mengerahkan tenaganya, menyalurkan sinkang kepada sepasang lengan lalu sengaja dia menerima serangan itu dengan dorongan kedua lengan.

Kini sepasang lengan bertemu telapak tangannya dan bagaikan diterbangkan angin puyuh, tubuh pendeta itu terjengkang ke belakang dan roboh. Kiranya kali ini dia menggunakan jurus rahasia Pek-in-ci-tiam (Awan Putih Keluarkan Kilat), yaitu jurus yang paling ampuh dari empat puluh delapan jurus Liong-thouw-kun yang dia pelajari dari mendiang Sin-eng-cu.

Ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dia telah mewarisi jurus-jurus yang khusus dipergunakan oleh Sin-eng-cu untuk menghadapi Bhewakala, juga dari fihak Bhewakala dia mewarisi jurus-jurus sebaliknya. Oleh karena itu, dia sudah hafal betul akan ilmu silat dari barat dan tahu pula akan kelemahan-kelemahannya. Demikian pula, dia dapat segera mengetahui kelemahan Ilmu Pukulan Pat-san-jiu dari Maharsi, maka untuk menghadapinya, dia menggunakan Pek-in-ci-tiam yang sekaligus telah berhasil baik sekali karena Maharsi yang terbanting roboh itu tidak dapat bangun lagi. Tenaga Yang-kang telah membalik ke dalam tubuh pendeta itu sendiri, merusak isi dada dan memecahkan jantung sehingga nyawanya melayang.

Yo Wan menyesal sekali melihat Maharsi tewas. Akan tetapi, hanya sebentar dia mengerutkan kening. Pendeta itu telah mencari kematian sendiri. Sudah beberapa kali dia memberi kesempatan tadi. Dengan cepat dia lalu menghampiri Kun Hong dan berlutut di depan Pendekar Buta dan isterinya.

“Suhu dan Subo, maafkan teecu datang terlambat sehingga Ji-wi (kalian) mengalami luka…..”

Untuk sejenak Kun Hong meraba kepala Yo Wan dengan terharu, kemudian dia berkata,

“Bangkitlah dan kau wakili Thai-san-ciangbunjin (ketua Thai-san-pai) yang juga terluka parah untuk menghadapi Bhok Hwesio. Hati-hati, dia tokoh Siauw-lim-pai, lihai sekali. Jangan lawan dengan keras, gunakan Si-cap-it Sin-po, hindarkan adu tenaga dan biarkan dia lelah karena usia tuanya.”






Yo Wan kaget sekali. Kiranya orang tua gagah perkasa yang duduk bersila disana dengan muka pucat tanda luka dalam itu adalah Raja Pedang atau ketua Thai-san-pai yang amat terkenal! Dan jago tua yang luka itu adalah ayah Cui Sian! Mengapa Raja Pedang bisa terluka? Dan mengapa pula Pendekar Buta, gurunya yang sakti itu. Juga subonya, dan agaknya Cui Sian juga, semua terluka?

Tiada waktu untuk bicara tentang ini, karena dia mendengar hwesio itu bertanya kepada Raja Pedang dengan nada mengejek sekali.

“Tan Beng San, kau dan kawan-kawanmu berhasil menghabiskan musuh-musuhmu. Bagus sekali! Akan tetapi pinceng tetap tidak sudi melawan orang luka. Sekali lagi pinceng memberi kesempatan kepadamu. Kau berlutut dan mengangguk tiga kali minta maaf dan pinceng akan memberi waktu satu bulan kepadamu untuk memulihkan kesehatan dan tenaga sebelum pinceng datang mengambil nyawamu di Thai-san. Kalau tidak, terpaksa pinceng akan membuat kau menjadi seorang bercacad seumur hidup.”

“Bhok Hwesio, mengapa mesti banyak bicara lagi? Sekali lagi dengarlah, dalam keadaan terluka begini aku tidak mampu melayani bertanding. Akan tetapi bukan berarti aku kalah atau takut padamu. Mau bunuh boleh bunuh, jangan harap aku sudi minta maaf kepadamu. Nah, aku tidak mau bicara lagi!”

Bhok Hwesio melebarkan matanya dan keningnya berkerut.
“Hemmm, manusia keras kepala, kau mencari sengsara sendiri'” Hwesio tua itu melangkah maju, matanya membayangkan kemarahan.

Yo Wan melompat cepat dan tubuhnya melayang ke depan Bhok Hwesio.
“Losuhu, tidak layak seorang hwesio berhati kejam, dan sungguh memalukan bagi seorang sakti menyerang lawan yang terluka parah.”

Bhok Hwesio berhenti melangkah, lalu tertawa mengejek.
“Raja Pedang, apakah kau hendak mewakilkan bocah ingusan ini untuk melawanku? Kau tahu, dia bukan lawanku!”

Yo Wan cukup maklum betapa tokoh-tokoh sakti seperti Raja Pedang dan Pendekar Buta, tak mungkin suka mengharapkan bantuan orang lain untuk mewakili nnereka dalam sebuah pertandingan. Bagi seorang pendekar besar, hal seperti itu merupakan pantangan dan dipandang hina. Ia dapat menduga bahwa pertanyaan seperti yang telah diajukan oleh Bhok Hwesio itu tentu akan disangkal oleh Raja Pedang. Oleh karena inilah dia sengaja cepat-cepat mendahului Raja Pedang dan menjawab, suaranya lantang,

“Hwesio tua, para Locianpwe seperti Raja Pedang dan Pendekar Buta, tidak membutuhkan wakil dalam pertandingan. Kalau beliau-beliau itu tidak dalam keadaan terluka parah, tentu sejak tadi sudah melayani kesombonganmu. Aku maju bukan mewakili mereka, melainkan untuk mencegah kau melakukan perbuatan pengecut dan mengganggu mereka yang terluka.”

“Omitohud…..!” Bhok Hwesio mengeluarkan pujian. “Dunia terbalik, anak kecil berani menantang pinceng! Sungguh memalukan. Heh, Raja Pedang, pinceng tidak sudi melayani segala bocah, kecuali kalau kau menganggap dia wakilmu!”

Memang tidak mengherankan kalau Bhok Hwesio merasa sungkan melawan Yo Wan. Bhok Hwesio adalah seorang tokoh besar di dunia persilatan, dia menduduki tingkat teratas di Siauw-lim-pai, dan seorang dengan kedudukan seperti dia tentu saja tidak sudi melayani lawan yang tidak setingkat kedudukannya. Kalau dia mau melayani orang-orang muda seperti Yo Wan, apalagi di depan tokoh-tokoh seperti Pendekar Buta dan Raja Pedang, sama artinya dengan merendahkan diri dan menjadikan diri sebagai bahan tertawaan belaka. Kecuali kalau orang muda itu memang diangkat oleh lawannya menjadi wakil, hal itu tentu saja lain lagi sifatnya.

Raja Pedang maklum akan hal ini. Iapun tidak begitu rendah untuk mewakilkan seorang muda menghadapi tokoh seperti Bhok Hwesio, kecuali kalau dia yakin bahwa orang muda itu berfihak kepadanya dan memiliki kepandaian yang cukup. Biarpun Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, namun dia murid Bhewakala pula, dan dia tidak mengenal pemuda itu. Selagi dia ragu-ragu, terdengar Kun Hong berkata,

“Locianpwe, Yo Wan sama dengan saya sendiri, saya harap Locianpwe sudi mengijinkan dia mewakili Locianpwe.”

Raja Pedang menarik napas panjang, masih meragu.
“Ayah, biarlah Yo-twako mewakili Ayah. Dia cukup berharga untuk menjadi wakil Ayah,” kata Cui Sian perlahan.

Kata-kata puterinya ini membuat wajah Beng San berseri. Akhirnya! Hatinya menjadi terharu. Akhirnya gadisnya yang selalu menolak pinangan dan tidak mau dijodohkan itu kini mendapatkan pilihan hati! Sebagai seorang yang berpengalaman matang, ucapan Cui Sian tadi saja cukup baginya untuk menjenguk isi hati anaknya.

“Yo Wan, kesinilah sebentar,” ujarnya.

Yo Wan cepat menghampiri dan berlutut di depan Raja Pedang.
“Maaf, Locianpwe, saya tidak berani lancang mewakili Locianpwe, akan tetapi…..”

Raja Pedang mengangguk-angguk.
“Aku sudah menyaksikan gerakan-gerakanmu tadi. Kau cukup baik, akan tetapi tidak cukup untuk menghadapi Bhok Hwesio. Apakah kau tahu bahwa dengan mewakili aku menghadapinya, keselamatan nyawamu terancam bahaya?”

“Locianpwe, dalam membela kebenaran, berkorban nyawa merupakan hal yang mulia.”

Raja Pedang tersenyum gembira. Ucapan ini saja cukup membuktikan bagaimana mutunya pemuda yang menjadi pilihan hati Cui Sian, dan dia puas.

“Baiklah, kau hadapi dia, akan tetapi tenang dan waspadalah, dia amat lihai dan kuat. Seberapa dapat kau ulur waktu pertempuran, mengandalkan napas dan keuletan. Mudah-mudahan aku atau Kun Hong sudah dapat memulihkan tenaga selama kau menghadapinya.”

“Saya mengerti, Locianpwe.”

“He, Bhok Hwesio. Kuanggap bocah ini cukup berharga, malah terlalu berharga untuk menghadapimu dan menjadi wakilku. Bhok Hwesio, aku terima tantanganmu dan kuajukan Yo Wan, kalau dia kalah olehmu, kau boleh melakukan apa saja terhadap diriku dan aku akan menurut!”

Bhok Hwesio tertawa masam.
“Sialan memang, harus melawan seorang bocah! Akan tetapi karena kau mengangkatnya sebagai wakil, apa boleh buat. He, bocah sombong, mari!”

Yo Wan memberi hormat kepada Raja Pedang dan bangkit sambil mengerling ke arah Cui Sian yang memandangnya dengan air mata berlinang.

“Yo-twako….. kau hati-hatilah…..”

Yo Wan tersenyum dan mengangguk, bibirnya tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya jelas menghibur dan minta supaya gadis itu tidak khawatir.

Maklum akan kehebatan lawan, sehingga Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri memberi peringatan kepadanya, Yo Wan tidak berani memandang rendah. Sambil menghampiri Bhok Hwesio, dia mengeluarkan cambuk Liong-kut-pian. Cambuk ini peninggalan Bhewakala, biarpun disebut Cambuk Tulang Naga, tentu saja bukan terbuat daripada tulang naga, melainkan daripada kulit binatang hutan yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya.

Cambuk ini lemas, tapi amat ulet dan berani menghadapi senjata tajam yang bagaimanapun juga. Karena sifatnya yang lemas inilah maka bagi seorang ahli silat yang tinggi tingkatnya, senjata ini dapat dipergunakan secara tepat karena dapat menampung penyaluran tenaga sakti melalui tangan yang memegangnya.

Cambuk Liong-kut-pian di-pegang oleh Yo Wan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mengeluarkan pedangnya. Bukan pedang Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu, melainkan pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) yang dibuat daripada semacam kayu cendana yang tumbuh di Himalaya.

Dengan sepasang senjata di tangannya ini, Yo Wan seakan-akan menjelma menjadi dua orang tokoh sakti, yaitu Sin-eng-cu (Bayangan Garuda) di tangan kanan dan Bhewakala di tangan kiri!

Yo Wan adalah seorang yang jujur dan polos, sederhana dan dia belum banyak pengalaman bertempur, maka dia berkata,

“Hwesio tua, harap kau suka keluarkan senjatamu.”

Kalau saja dia tidak demikian jujur, tentu dia tidak akan mengeluarkan kata-kata ini, tidak akan merasa sungkan berhadapan dengan lawan bertangan kosong, karena lawannya ini bukanlah tokoh sembarangan.






No comments:

Post a Comment