Ads

Sunday, March 3, 2019

Jaka Lola Jilid 085

Pemuda itu bukan lain adalah Yo Wan. la belum pernah berjumpa dengan Maharsi, akan tetapi melihat pendeta Jangkung ini dia segera teringat akan cerita mendiang gurunya di Himalaya, tentang pendeta Nepal yang murtad dan sesat, yaitu Maharsi yang masih terhitung murid keponakan gurunya itu.

la tiba disitu bersama Lee Si dan gadis ini serta merta lari dan memeluk Cui Sian sambil bertanya apa gerangan yang terjadi. Ketika ia melihat jenazah ayahnya menggeletak dalam lubang kuburan, Lee Si menjerit, menubruk dan roboh terguling, pingsan.

Cui Sian segera memeluk dan memondongnya ke dekat ayahnya, menjauhi jenazah. Adapun Yo Wan ketika melihat subonya (ibu guru) berada dalam cengkeraman Maharsi dan terancam malapetaka hebat, segera dia menggunakan kata-kata dalam bahasa Nepal untuk mengalihkan perhatian Maharsi dan kini rnenyerangnya dengan kata-kata.

Sementara itu, Maharsi yang tadinya terkejut, kini tertawa mengejek, akan tetapi dia melepaskan tubuh Hui Kauw dan melempar nyonya itu kearah Pendekar Buta.

“Huh, boleh kutunda sebentar permainan dengan Pendekar Buta. Kau ini bocah lancang sombong. Apakah kau yang pernah kudengar diambil murid oleh supek (uwa guru) Bhewakala, seorang bocah yatim piatu dari timur?”

“Benar, Maharsi. Aku Yo Wan murid Bhewakala.”

“Dengan maksud apa engkau rnencegah perbuatanku? Apakah kau hendak membela Pendekar Buta dan Raja Pedang?”

“Aku hanya akan membela yang benar. Aku mencegah perbuatanmu karena tidak ingin melihat kau melakukan perbuatan sesat, mengingat bahwa kau masih ada hubungan perguruan dengan aku.”

“Ho-ho-ha-ha-ha, bocah masih ingusan berani memberi petunjuk kepadaku? Yo Wan, kau sombong seperti supek! Aku….. benar dua kali aku mengalah terhadapnya, mengingat dia seorang tua. Akan tetapi terhadap kau aku tidak sudi mengalah. Hayo pergi sebelum timbul marahku dan menghajarmu!”

“Maharsi, kalau kau lanjutkan kesesatanmu, terpaksa aku yang akan memberi hukuman kepadamu, mewakili mendiang guruku.”

Keduanya sudah saling menghampiri, keadaan menjadi tegang. Pendekar Buta, Hui Kauw yang sudah sadar, Raja Pedang, Cui Sian, dan Lee Si merasa betapa jantung mereka berdebar penuh ketegangan. Yo Wan merupakan pemuda harapan mereka, satu-satunya orang yang dapat diharapkan menolong mereka keluar dari jurang malapetaka yang mengancam hebat.

Akan tetapi diam-diam mereka bersangsi, dapatkah pemuda itu melawan Maharsi yang amat lihai? Dan disitu masih ada lagi Bhok Hwesio yang berdiri seperti patung, atau agaknya seperti sudah pulas sambil berdiri karena kedua matanya meram.

Hanya Cui Sian seorang yang penuh percaya akan kesaktian Yo Wan. Diam-diam gadis ini merasa terharu. Satu-satunya pria yang ia kagumi, yang ia harapkan, yang menimbulkan debar aneh di jantungnya, kini muncul dalam saat yang amat berbahaya untuk menolong dia sekeluarga. la menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu bercampur dengan rasa khawatir juga.

“Ha-ha-ha, Yo Wan. Kalau sekarang gurumu masih hidup, ingin aku mencobanya dengan ilmuku yang baru. Akan tetapi karena dia sudah mampus, kaulah penggantinya. Ha-ha-ha, kalau dulu aku sudah memiliki ilmu ini, kiranya dia tidak akan mampu menundukkan aku. Kau terimalah ini!”

Tubuh yang miring-miring itu tiba-tiba bergerak dan tangannya yang panjang mengirim pukulan Pai-san-jiu beruntun sampai tiga kali. Hebat bukan main pukulan ini. Angin pukulannya berdesir menimbulkan suara bersiutan.

Memang kali ini Maharsi mengerahkan tenaganya untuk pamer, juga dalam kegemasannya untuk segera merobohkan murid supeknya yang mengganggu ini, sekaligus membalas sakit hatinya, karena dahulu sampai dua kali dia dirobohkan dan ditekan oleh Bhewakala ketika dia mengganggu seorang gadis dusun, dan kedua kalinya ketika dia berusaha merampas sebuah kuil untuk tempat dia bertapa dari tangan pertapa lain.

Melihat hebatnya pukulan dengan tubuh miring ini, Yo Wan tidak berani memandang ringan. la cukup maklum betapa ilmu pukulan dari Nepal disertai tenaga mujijat dari latihan kekuatan batin.

Akan tetapi, tanpa menahan pukulan dengan tangkisannya, dia juga tidak akan dapat mengukur sampai dimana kehebatan tenaga pukulan lawan itu. Oleh karena inilah, maka setelah menggunakan langkah ajaib dari Si cap it Sin-po untuk menghindarkan dua pukulan, dia lalu mengangkat tangan menangkis pukulan ketiga.






“Desssss !”

Dua telapak tangan bertemu dan Maharsi melanjutkan dengan cengkeraman, akan tetapi bagaikan belut licinnya, telapak tangan pemuda itu sudah lepas pula, karena Yo Wan cepat menariknya ketika tubuhnya terpental dan terhuyung-huyung ke belakang.

“Heh-heh-heh, mana kau mampu menahan pukulanku, bocah?”

Maharsi mengejek dan seperti seekor kepiting, tubuhnya yang miring itu merayap maju untuk menerjang lagi. Karena yakin bahwa pemuda itu tidak akan mampu menahan serangan-serangannya, Maharsi lalu melancarkan serangan beruntun dengan ilmu pukulan Pai-san-jiu yang amat lihai.

Yo Wan tetap menghindarkan pukulan-pukulan itu dengan Si-cap-it Sin-po, sehingga tampaknya dia selalu terhuyung-huyung dan terdesak hebat, sungguhpun tak pernah ada pukulan yang, menyentuh tubuhnya.

“Hebat pemuda itu…..” RaJa Pedang Tan Beng San memuji perlahan.

“Ayah, dia terdesak….. bagaimana kalau dia kalah…..?” Cui Sian berkata lirih penuh kekhawatiran.

Mendengar suara anaknya ini, Beng San menoleh dan memandang aneh, lalu tersenyum.

“Sian-ji, kau kenal dia?”

Dalam keadaan terluka seperti itu, kedua pipi halus Cui Sian masih sempat memerah. Maklum bahwa ayahnya sedang menatapnya, ia tidak berani balas memandang, takut kalau-kalau sinar matanya akan bercerita sesuatu tentang isi hatinya.

“Aku pernah bertemu dengan dia, Ayah. Dia Yo Wan, murid Kwa-suheng…..”

Raja Pedang mengangguk-angguk.
“Pantas….. pantas langkah-langkah itu terang adalah langkah ajaib yang dimiliki Kun Hong. Tapi dia tadi mengaku murid Bhewakala…..”

“Ayah, pendeta itu begitu lihai, bagaimana kalau Yo-twako kalah…..?” kembali Cui Sian menyatakan kekhawatirannya ketika ia memandang kearah pertempuran.

“Dia tidak akan kalah,” jawab Raja Pedang.

Sementara itu Lee Si sadar dari pingsannya dan gadis ini menangis tersedu-sedu.
“Siapa membunuhnya, Bibi? Siapa? Kong-kong (Kakek), ayah dibunuh orang, kenapa Kong-kong diam saja?”

Raja Pedang Tan Beng San tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. Pertanyaan cucunya ini mengingatkan dia akan kecerobohannya, menuduh Pendekar Buta sehingga dia dan Pendekar Buta terluka parah, sehingga tidak mampu menghadapi lawan-lawan tangguh. Akan tetapi Cui Sian merangkul Lee Si dan berkata lirih,

“Tenanglah Lee Si. Kami semua terluka parah sebagai akibat membela kematian ayahmu. Pembunuh ayahmu adalah Ang-hwa Nio-nio, dia sudah tewas. Akah tetapi masih ada Maharsi dan Bhok Hwesio yang lihai, sedangkan kami semua terluka. Mudah-mudahan Yo twako dapat menolong kita, kalau tidak…..”

“Aku tidak terluka, biar aku membantunya!” Lee Si melompat bangun.

“Lee Si, duduklah! Jangan ganggu dia!” tiba-tiba Raja Pedang mencegah.

Gadis itu kecewa sekali, akan tetapi suara kakeknya demikian berwibawa sehingga ia tidak berani membantah, lalu menjatuhkan diri lagi duduk diatas rumput dekat Cui Sian yang memeluknya.

Lee Si menangis lagi sambil melihat kearah lubang ditanah, dimana menggeletak jenazah ayahnya. Kemudian ia menengok ke sekeliling dan melihat mayat-mayat orang amat banyak malang-melintang memenuhi tempat itu. Biarpun Lee Si puteri suami isteri berilmu tinggi dan ia sendiri adalah seorang pendekar wanita yang lihai, ia bergidik juga menyaksikan penglihatan yang menyeramkan itu. Ada dua puluh lima sosok mayat yang malang-melintang di tempat itu!

Sementara itu, Hui Kauw juga memegang lengan suaminya dan menekannya erat-erat ketika melihat munculnya Yo Wan tadi. Kun Hong tentu saja sudah mendengar suara muridnya, dan jantung Pendekar Buta inipun berdebar tegang.

Tanpa disengaja, Hui Kauw menyatakan kekhawatiran hatinya yang serupa dengan kekhawatiran Cui Sian.

“Dia belum belajar apa-apa darimu, bagaimana kalau dia kalah…..?”

Dan seperti juga Raja Pedang dalam menjawab puterinya, kini Pendekar Buta berkata kepada isterinya,

“Tenanglah, dia tidak akan kalah.”

Jawabannya mantep dan penuh keyakinan. Biarpun kedua matanya tak dapat melihat lagi, namun pendengaran Pendekar Buta yang tajam dapat membedakan gerakan Yo Wan dan gerakan Maharsi, malah dia dapat menduga bahwa Yo Wan sengaja berlaku murah kepada murid keponakan Bhewakala itu.

Dugaan Pendekar Buta dan dugaan Raja Pedang memang tepat sekali. Dalam pertemuan tenaga tadi, Yo Wan sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi itu mengandung tenaga mendorong dan menekan dari hawa sakti Yang-kang. la maklum bahwa pukulan macam itu amat berbahaya bagi orang-orang yang menghadapi Maharsi dengan tenaga keras, akan tetapi sesungguhnya hilang bahayanya kalau dihadapi dengan tenaga halus.

Oleh karena itu dia sengaja mainkan langkah-langkah ajaib dari Si-cap-it Sin-po sehingga semua pukulan dahsyat itu hanya menyambar-nyambar dan menimbulkan angin pukulan yang berputar-putar seperti angin puyuh yang berpusingan.

“Maharsi, sekali lagi, atas nama mendiang suhu Bhewakala, aku memberi kesempatan kepadamu untuk insyaf dan sadar daripada kesesatan, kembali ke jalan benar. Kembalilah ke barat dan jangan ikat dirimu dengan segala macam permusuhan yang tiada gunanya,” terdengar Yo Wan berkata dengan sabar.

Maharsi tertawa sampai terkekeh-kekeh.
“Ho-ho-hah, bocah sombong! Kau benar-benar tak tahu diri. Kematian sudah di depan mata, sejak tadi kau tidak mampu balas menyerang dan sekali menangkis kau hampir roboh, kau masih berani membuka mulut besar? Hah-hah-hah. Sungguh tak tahu malu dan tak tahu diri…..”

“Kau sendiri yang mencari penyakit. Kau yang memutuskan, nanti jangan sesalkan aku!”

Yo Wan menutup kata-katanya ini dengan lecutan cambuk yang berbunyi “tar-tar-tar!” disusul sinar cambuk Liong-kut-pian (Cambuk Tulang Naga) warisan Bhewakala.

Menyaksikan cambuk ini, kagetlah Maharsi. Cambuk inilah yang dahulu di tangan Bhewakala yang telah menghajarnya sampai dua kali. Akan tetapi sekarang kepandaiannya sendiri sudah meningkat tinggi sedangkan pemegang cambuk hanya seorang pemuda! Tentu saja dia tidak menjadi jerih. Sambil mengeluarkan seruan aneh, pendeta jangkung itu menyerbu lagi, tangan kiri mencengkeram kearah cambuk, tangan kanan mengirim pukulan Pai-san-jiu kearah lambung Yo Wan.

Namun pemuda ini sudah siap. Kakinya melangkah mundur lalu kekanan, sehingga serangan itu sekaligus dapat dia hindarkan, kemudian dengan langkah-langkah aneh seperti tadi, seperti orang terhuyung-huyung ke depan, dia maju lagi.

Maharsi gemas dan juga girang. Cepat dia memapaki tubuh Yo Wan dengan serangan kilat yang dia yakin akan mengenai sasaran. Akan tetapi kembali dia keliru karena secara aneh dan tiba-tiba tubuh Yo Wan lenyap ketika pemuda itu menyelinap diantara kedua lengannya. Sebelum Maharsi sempat mengirim susulan serangannya, terdengar suara keras di pinggir telinganya.

“Tar!!”

Keringat dingin membasahi muka Maharsi. Ujung cambuk tadi meledak di pinggir telinganya, dekat benar. Kalau tadi mengenai jalan darah atau kepalanya, agaknya dia sudah akan roboh. Rasa penasaran dan malu membuatnya marah dan dengan geraman hebat dia menubruk maju, mengirim pukulan Pai-san-jiu dengan hebat. Pukulan ini merupakan pukulan jarak jauh yang lihai sekali, disusul cengkeraman yang dapat menghancur-lumatkan batu karang.






No comments:

Post a Comment