Ads

Sunday, March 3, 2019

Jaka Lola Jilid 084

“Bhok Hwesio, dua puluh tahun yang lalu kau tersesat kemudian datang Thian Ki Losuhu yang menjadi suhengmu dan membawamu kembali ke Siauw-lim-pai. Apakah selama dua puluh tahun ini kau belum juga dapat mengubah kesesatanmu?”

“Tan Beng San, kau sungguh bermulut besar. Karena kau, pinceng menderita puluhan tahun. Tapi sekarang kau telah terluka, sayang sekali. Tidak enak melawan orang sudah terluka parah, akan tetapi tidak bisa pinceng melepaskanmu begitu saja. Raja Pedang, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun sambil mengangguk tiga kali di depanku, baru pin-ceng mau melepaskanmu dan memberi waktu kepadamu untuk menyembuhkan lukamu, setelah itu baru kita bertanding melunasi perhitungan lama.”

Tidak ada penghinaan bagi seorang pendekar silat yang lebih hebat daripada menyuruhnya mengaku kalah dan berlutut minta ampun! Kalah menang dalam pertandingan bagi seorang pendekar adalah lumrah,

Raja Pedang sendiri tentu takkan merasa penasaran kalau memang dia kalah dalam pertandingan melawan musuh yang lebih pandai. Akan tetapi mengaku kalah sebelum bertanding, apalagi berlutut minta ampun? Lebih baik mati! Perasaan marah yang mendatang karena mendengar penghinaan ini menyesakkan dada Tan Beng San yang terluka, membuatnya sukar bernapas. Oleh karena itu, dia tidak menjawab ucapan Bhok Hwesio, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi hwesio tua itu dan duduk bersila, meramkan mata.

“Tan Beng San, kau berjuluk Raja Pedang, ketua Thai-san-pai. Mana kegagahanmu? Hayo kau lawan aku! Kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun!” bentak Bhok Hwesio pula.

Namun Raja Pedang tidak menjawab, tetap meramkan mata dan duduk bersila tak bergerak seperti patung. la maklum bahwa nyawanya berada di dalam genggaman musuh, kalau musuh menghendaki, dia dan Kun Hong pasti akan tewas karena untuk melawan mereka tidak mampu lagi.

“Bhok-losuhu, kenapa tidak pukul pecah saja kepalanya? Manusia-manusia sombong ini harus dihajar, baru kapok. He, manusia buta, hayo kau lawan aku, Maharsi yang tak terkalahkan. Kau sudah membunuh tiga orang Sam-ci-moi yang menjadi adik-adik seperguruanku, juga sahabatku Bo Wi Sanjin telah tewas. Untuk menebus kematian mereka, kau harus mati empat kali”

Maharsi menghampiri Kun Hong yang juga duduk bersila sambil memusatkan perhatiannya untuk mengobati luka dalam yang amat berat. Seperti juga Raja Pedang, dia maklum bahwa melawan akan sia-sia belaka karena lukanya hebat. Lebih baik berusaha untuk memulihkan tenaga saktinya dari pada melawan dan kalah. Melawan berarti kalah dan mati. Kalau tidak melawan ada dua kemungkinan, pertama, mungkin lawan akan membunuhnya pula, akan tetapi kalau terjadi hal demikian, berarti lawan melakukan kecurangan besar yang akan merupakan hal yang mencemarkan nama sendiri.

Kemungkinan kedua, lawan akan cukup memiliki kegagahan sehingga segan menyerang orang yang terluka dan sedang bersamadhi mengobati lukanya sehingga dia akan terbebas daripada kematian dan kekalahan. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal kedua ini sukar akan dia dapatkan dari lawan yang jahat, maka keselamatan nyawanya berada di dalam genggaman lawan dan dia menyerahkan nasib kepada Tuhan.

“Maharsi,” kata Pendekar Buta perlahan, “aku tidak kenal padamu dan tidak tahu kau manusia macam apa. Akan tetapi aku tahu bahwa hanya seorang rendah budi, seorang pengecut yang curang, seorang yang sama sekali tidak ada harganya saja yang menantang lawan yang berada dalam keadaan terluka parah. Mungkin engkau termasuk orang rendah macam itu, atau mungkin juga tidak, aku tidak tahu.”

“Keparat! Kau sudah membunuh adik-adikku, sekarang mengharapkan ampun dariku? Tidak mungkin! Kaulah yang rendah dan hina, Adik-adikku yang lemah kau bunuh, sekarang menghadapi aku karena kau merasa tidak akan menang, kau beraksi luka parah!”

Setelah berkata demikian, Maharsi menendang. Tubuh Kun Hong terguling-guling sampai tiga meter lebih, akan tetapi tetap dalam keadaan bersila, dan setelah berhenti terguling-guling dia juga tetap duduk bersila

Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun keadaannya terluka parah, Pendekar Buta itu benar-benar amat lihai. Diam-diam Maharsi terkejut juga. Dengan langkah lebar dia menghampiri, kedua lengannya digerak-gerakkan karena dia mengerahkan sinkang untuk menghantam dengan Pai-san-jiu, llmu pukulannya yang dia andalkan.

“Kau ingin marnpus? Kau kira aku, Maharsi tidak mampu sekali pukul menghancurkan kepalamu? Batu dan pohon remuk oleh pukulanku ini, tahu?”

la tiba-tiba menghantamkan kepalan tangan kanannya kearah sebatang pohon di sebelahnya dan terdengar suara keras, batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon itu. Maharsi tertawa bergelak.

“Kau melihat itu? Eh….. matamu buta, kau tidak pandai melihat. Kau tentu mendengar itu, bukan? Nah, apakah kepalamu lebih keras daripada batang pohon?”






Kun Hong tersenyum dan berkata, nadanya mengejek,
“Kasihan sekali kau, Maharsi. Menilik suaramu, kau seorang tua bangka yang kembali seperti kanak-kanak. Dengan ilmu pukulanmu itu, kau seperti kanak-kanak mendapat permainan baru dan menyombong-nyombongkannya, padahal kelak kau akan menyadari bahwa ilmu itu tiada gunanya sama sekali, seperti kanak-kanak bosan pada permainan yang sudah butut. Menumbangkan pohon, apa sukarnya? Segala sifat merusak mudah dilakukan, anak kecilpun bisa. Apa anehnya?”

Maharsi marah sekali dan kakinya mencak-mencak.
“Setan, kau akan kubunuh sedikit demi sedikit, jangan kira kau akan dapat memanaskan hatiku sehingga aku akan membunuhmu begitu saja! Kau memanaskan hati agar aku membunuhmu seketika sehingga kau tidak menderita? Ho-ho-ho, aku tidak sebodoh itu. Kau akan kusiksa, kubunuh sekerat demi sekerat untuk membalaskan sakit hati adik-adikku!”

Pendeta barat itu kini melangkah maju, tangannya yang berlengan panjang diulur ke depan, siap mencengkeram tubuh Kun Hong dan menyiksanya. Pendekar Buta hanya tersenyum dan bersila, sikapnya tenang.

Kebetulan sekali Cui Sian sadar lebih dulu daripada pingsannya. Gadis ini berada dekat dengan Maharsi yang melangkah maju. Melihat sikap yang mengancam dari pendeta itu terhadap Kun Hong yang tidak mampu melawan, Cui Sian marah sekali. la juga sudah terluka, namun tidak sehebat Kun Hong lukanya. Sambungan tulang pundak kanan terlepas dan dadanya agak sesak akibat pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin kepadanya.

Melihat Kun Hong terancam maut, dan mengingat bahwa ia dan ayahnya telah menuduh secara keliru sehingga terjadi malapetaka ini, Cui Sian melompat dengan nekat dan menyerang Maharsi untuk menolong Kun Hong.

Biarpun keadaannya terluka, namun serangan Cui Sian yang nekat ini cukup hebat. la menggunakan jurus Sian-Ii-siu-goat (Dewi Sambut Bulan), tentu saja ia hanya dapat memukul dengan tangan kiri, maka ia sengaja menggunakan pukulan yang mengandung tenaga lemas untuk menyesuaikan keadaannya yang terluka.

Namun pukulan yang halus ini merupakan jangkauan tangan maut karena yang diserang adalah bagian yang mematikan di ulu hati. Biarpun penyerangnya hanya seorang gadis jelita yang sudah terluka parah, namun kalau Maharsi berani menerimanya tanpa mengelak maupun menangkis, jurus puteri Raja Pedang ini masih cukup kuat untuk menamatkan riwayat Maharsi!

Tentu saja sebagai seorang berilmu tinggi, Maharsi dapat membedakan mana serangan ampuh dan mana yang bukan. la tahu bahwa selama itu, gadis puteri ketua Thai-san-pai ini masih amat berbahaya dan serangannya tak boleh dipandang ringan. la mengeluarkan suara ketawa mengejek, kedua lengannya yang panjang itu menyambut, menangkap lengan Cui Sian dan dengan gentakan kuat dia melemparkan tubuh Cui Sian kearah ayahnya!

Karena nadi pergelangan tangannya sudah dipencet, Cui Sian kehabisan tenaga dan ia tentu akan terbanting pada tubuh ayahnya yang duduk bersila kalau saja orang tua sakti itu tidak mengulur tangan dan menyambutnya. Biarpun Tan Beng San sudah terluka hebat dan parah, namun menyambut tubuh puterinya ini masih merupakan hal yang mudah baginya.

Cui Sian memeluk ayahnya dan menangis,
“Ayah….. kita harus tolong Suheng…..”

Beng San menggeleng kepala.
“Keadaanku tidak mengijinkan untuk menolong orang lain maupun menolong sendiri, Sian-ji. Kun Hong hebat sekali tadi sehingga luka di tubuhku amat parah. Biarlah, mari kita menonton orang-orang gagah perkasa tewas di tangan orang-orang pengecut rendah dan hina!”

Ucapan ini keluar dengan suara nyaring dari mulutnya sehingga Bhok Hwesio menjadi merah sekali mukanya.

“Ketua Thai-san-pai, aku bukan pengecut yang suka membunuh lawan yang terluka. Akan tetapi untuk menebus dosamu dan untuk mencegah perjalananku tidak sia-sia, kau harus berlutut minta ampun kepada pinceng. Baru pinceng mau melepaskanmu untuk bertanding dilain hari,” katanya marah.

“Hwesio sesat, kau mau bunuh boleh bunuh, apa artinya mati? Yang harus dikasihani adalah kau yang pada lahirnya merupakan seorang hwesio, namun di sebelah dalam kau bergelimang dengan kesesatan!”

“Pinceng takkan membunuhmu, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, pinceng hanya akan mencabut kesaktianmu agar selanjutnya pinceng dapat hidup tenteram, tidak memikirkan soal balas dendam lagi,” jawab Bhok Hwesio, nada suaranya seperti orang kesal.

Diam-diam Beng San dan puterinya kaget bukan main. Mereka maklum apa artinya mencabut kesaktian. Berarti bahwa kakek gundul itu hendak melumpuhkan kaki tangan sehingga Raja Pedang takkan mungkin melakukan gerakan silat lagi. Dan perbuatan seperti itu lebih menyiksa daripada membunuh. Lebih ringan dibunuh daripada dijadikan seorang tapadaksa yang hidupnya tiada gunanya lagi.

“Ha-ha-ha. Losuhu benar sekali! Mengapa aku tidak berpikir sampai disitu?” Maharsi tertawa bergelak mendengar ini. “Alangkah akan menyenangkan begitu, melihat musuh besar menjadi seorang yang hidup tidak matipun tidak. Orang buta, aku juga tidak akan membunuhmu, aku akan membikin kau dan isterimu menjadi orang-orang tiada guna, ho-ho-ha-ha-hah!”

Sambil berkata demikian, Maharsi melangkah maju mendekati Hui Kauw yang masih setengah pingsan. Sekali meraih dia telah menyambar tubuh nyonya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi diatas kepalanya.

“Ho-ho-ho, Pendekar Buta, kau dengar baik-baik betapa aku akan membuat isterimu seorang tapadaksa selama hidupnya dan kau boleh menyesalkan perbuatanmu membunuh adik-adik seperguruanku!”

Muka Kun Hong pucat sekali. Telinganya dapat mengkuti setiap gerakan Maharsi dan tahulah dia bahwa keadaan isterinya takkan dapat ditolong lagi. Suaranya terdengar dalam dan menyeramkan ketika dia berkata,

“Maharsi, kau benar-benar gagah perkasa, menghina seorang wanita yang tak berdaya lagi. Kalau memang kau laki-laki gagah, jangan ganggu wanita dan kau boleh berbuat sesuka hatimu terhadap aku!”

“Ha-ha-ho-ho-ho! Ngeri hatimu, Pendekar Buta? Ada banyak cara membikin orang kehilangan kepandaiannya, di antaranya, memutuskan otot-otot dan menghancurkan tulang-tulang. Isterimu cantik, biar sudah setengah tua masih cantik dan kau tidak bermata, tiada bedanya bukan? Biar kupatahkan tulang-tulangnya, tulang kaki tangan dan punggung. Ha-ha-ha, tentu menjadi bengkok-bengkok kaki tangannya, dan punggungnya menjadi bongkok! Pendekar Buta, kau dapat mendengarkan patahnya tulang-tulang tubuh isterimu…..!”

Kun Hong diam saja, hanya berdo’a semoga isterinya tewas saja dalam penghinaan itu. Mati adalah jauh lebih ringan. la sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan sudah amat kritis dan agaknya tidak ada yang dapat menolong isteri Pendekar Buta daripada malapetaka yang hebat itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang berkata-kata. Akan tetapi tak ada yang mengerti artinya, karena suara itu berkata-kata dalam bahasa asing. Kecuali Maharsi yang agaknya mengerti artinya, karena tiba-tiba dia menurunkan tubuh Hui Kauw, tidak jadi menggerakkan tangan memukul.

Matanya terbelalak menoleh kearah suara. Betapa dia tidak akan kaget sekali mendengar kata-kata dalam bahasa Nepal, dan kata-kata itu justeru merupakan sumpah di depan gurunya dahulu yang berbunyi,

“Tidak akan mempergunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan.”

Alangkah herannya ketika dia melihat disitu muncul seorang pemuda berpakaian putih sederhana, yang memandangnya dengan sepasang mata penuh wibawa.

“Siapa kau? Apa yang kau katakan tadi?” Ia membentak, tubuh Hui Kauw masih di tangan kiri, dicengkeram baju di punggungnya.

“Maharsi, setelah gurumu tidak ada lagi, kau hidup tersesat. Guruku yang mulia, pendeta Bhewakala telah dua kali memberi ampun kepadamu, mengingat kau masih murid sutenya. Akan tetapi tidak ada kejahatan yang bisa diampuni sampai tiga kali. Kalau kau melanjutkan perbuatanmu yang biadab, menggunakan kepandaian untuk menghina wanita yang tak berdaya, aku akan mewakili guruku memberi hukuman kepadamu!”






No comments:

Post a Comment