Ads

Sunday, March 3, 2019

Jaka Lola Jilid 083

Hui Kauw maklum sekarang siapa yang melakukan semua fitnah itu. Dengan teriakan nyaring ia menerjang maju, tidak mempedulikan betapa kesehatannya belum pulih. Teriakannya ini disusul oleh bentakan Cui Sian yang sekaligus juga dapat menduga apa yang sesungguhnya terjadi. Kiranya semua kejadian itu diatur oleh musuh-musuh yang bekerja secara curang untuk membalas dendam kepada ayahnya dan kepada Pendekar Buta. Karena itu, saking marahnya, ia melupakan pundaknya yang terlepas sambungan tulangnya dan menyerang dengan pedang di tangan kiri.

“Ho-ho-ho, galaknya!”

Pendeta Maharsi menggerakkan tangannya yang panjang dan….. Hui Kauw yang lemah karena terluka itu berseru kaget, tahu-tahu pedangnya dapat dirampas dan ia roboh terguling.

Kiranya kakek ini telah memperlihatkan kepandaiannya membantu sumoinya, menggunakan Pai-san-jiu, sekaligus merampas pedang dan merobohkan Hui Kauw. Andaikata Hui Kauw tidak sedang terluka dan gelisah memikirkan suaminya, kiranya pendeta barat itu tidak akan begitu mudah mengalahkannya, sungguhpun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi.

Adapun Cui Sian yang menyerang dengan pedang di tangan kiri, dihadapi oleh Ang-hwa Nio-nio yang sudah menghunus Hui-seng-kiam. Ilmu pedang Cui Sian sudah amat tinggi tingkatnya, maka biarpun lengan kanannya tak dapat dipergunakan, dengan tangan kiri dan pedang Liong-cu-kiam di tangan ia masih merupakan lawan yang berat. Namun keadaan tubuhnya yang terluka itu tentu saja amat mengganggu gerakannya dan sebentar saja sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio sudah mengurungnya. Dengan sekuat tenaga Cui Sian mempertahankan diri.

Tiba-tiba terdengar suara “kok-kok-kok!” dan Cui Sian terlempar ke belakang sambil mengeluh dan pedangnya terlepas dari tangan. la roboh dan pingsan, terkena pukulan Katak Sakti yang dilontarkan Bo Wi Sianjin yang membantu Ang-hwa Nio-nio.

Kini Ang-hwa Nio-nio dengan sikap beringas seperti harimau betina kelaparan, menghampiri Pendekar Buta dari belakang, dengan pedang di tangan. Di lain fihak, Bo Wi Sianjin yang hendak membalas dendam atas kematian suhengnya, Ka Chong Hoatsu, menghampiri Raja Pedang.

Keduanya melihat kesempatan yang baik sekali, selagi dua orang musuh besar itu saling libat dengan tenaga sin-kang yang sukar dilepas begitu saja, untuk melakukan balas dendam mereka.

“Tan Beng San, mungkin kau tidak mengenalku. Aku adalah Bo Wi Sianjin dari Mongol, sengaja datang mencarimu untuk membalaskan kematian suheng Ka Chong Hoatsu.”

“Tunggu dulu, Sianjin,” kata Ang-hwa Nio-nio sambil tertawa mengejek. “Kita harus bergerak berbareng, biarkan aku bicara dulu kepada musuhku, si buta sombong ini. Heh, Kwa Kun Hong, kau tentu masih ingat akan Ang-hwa Sam-ci-moi, bukan? Nah, aku Kui Ciauw. Saatnya engkau menyusul arwah kedua orang saudaraku telah tiba”

Setelah berkata demikian, Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat kepada Bo Wi Sianjin untuk turun tangan.

“Curang!”

Hui Kauw memaksa diri meloncat dan menerjang Ang-hwa Nio-nio dengan pukulannya. Akan tetapi tenaganya telah lemah dan bekas pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi tadi masih setengah melumpuhkan kaki tangannya, maka serangannya ini tidak ada artinya bagi Ang-hwa Nio-Nio. Dengan mengibaskan tangan kirinya, Ang-hwa Nio-nio berhasil menangkis dan sekaligus menampar, tepat mengenai leher Hui Kauw sehingga nyonya ini terjungkal dan pingsan, tak jauh dari Cui Sian yang masih tak sadarkan diri.

Kembali Ang-hwa Nio-nio memberi isyarat. Betapapun juga, agaknya ia mempunyai rasa malu untuk menyerang Kun Hong dari belakang dengan pedangnya, tahu bahwa Pendekar Buta sedang dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Apalagi Bo Wi Sianjin yang menyerang Raja Pedang juga bertangan kosong, maka ia menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga memukul kearah jalan darah pusat di punggung Kun Hong. Juga Bo Wi Sianjin mengerahkan tenaga memukul tai-hui-hiat Raja Pedang.

Pada saat kedua orang ini melakukan serangan curang dari belakang, terdengar Bhok Hwesio tertawa mengejek, bukan seperti orang tertawa biasa melainkan seperti suara seekor kerbau mendengus.

“Desssss…..!!”

Pukulan yang disertai saluran tenaga Iweekang tinggi itu mengenai sasaran. Terdengar jerit mengerikan dari mulut Ang-hwa Nio-nio dan pekik nyaring dari mulut Bo Wi Sianjin. Kedua orang ini tadi tepat memukul punggung kedua orang sakti yang sedang bertanding itu, akan tetapi akibatnya malah tubuh mereka terlempar keatas dan ke belakang, kemudian terbanting roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinga mereka keluar darah merah!






Kun Hong dan Tan Beng San juga terguling-guling ke belakang, dan ketika mereka berhasil bangkit berdiri, muka mereka pucat sekali dan napas mereka terengah-engah, menggigit bibir menahan rasa nyeri.

Mereka tadi telah tertolong dengan adanya penyerangan dari belakang. Semenjak orang-orang itu muncul dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka, Raja Pedang menjadi kaget dan menyesal bukan main, juga marah luar biasa. Demikianpun Kun Hong. Akan tetapi mereka tidak mungkin dapat saling membebaskan diri dari libatan-libatan tenaga sinkang mereka yang sudah saling betot dan saling gempur itu.

Kalau secara nnendadak mereka merenggut lepas tenaga mereka tentu mereka akan mengalami luka hebat yang berakibat maut. Keduanya mengikuti gerak-gerik Bo Wi Sianjin dan Ang-hwa Nio-nio. Betapapun hancur hati mereka mendapat kenyataan betapa Hui Kauw dan Cui Sian jatuh bangun, mereka tidak mampu membantu. Akhirnya mereka mempunyai harapan yang sama, yaitu diserang lawan dari belakang. Baiknya kedua orang lawan itu menyerang dengan tangan kosong.

Inilah kesempatan mereka. Begitu merasa datangnya pukulan di punggung, baik Kun Hong maupun Raja Pedang masing-masing menerima tenaga dorongan lawan dan menggunakan tenaga ini untuk menyalurkan ke belakang lewat punggung sekaligus tenaga itu mereka dapat saling gunakan untuk menghantam pukulan la-wan dari belakang.

Dengan adanya gangguan tenaga luar ini, mereka dapat saling membebaskan diri karena tenaga serangan masing-masing telah disalurkan oleh lawan dan mendapatkan sasaran berupa penyerang-penyerang itu. Kesaktian macam ini tak dapat dilakukan oleh sembarang orang, dan biarpun Pendekar Buta dan Raja Pedang sendiri, sungguhpun berhasil merobohkan Ang-hwa Nio-nio dan Bo Wi Sianjin yang sakti sampai tewas dengan pukulan mereka sendiri, namun keduanya tidak terluput daripada luka di sebelah dalam yang hebat!

Baik Ang-hwa Nio-nio maupun Bo Wi Sianjin, sama sekali tidak menyangka akan hal ini, bahkan Maharsi sendiripun tidak mengerti. Hanya Bhok Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang lihai itu tahu akan hal ini dan sudah menduganya, maka tadi dia mendengus mengejek kepada dua orang penyerang gelap itu.

Pada saat itu, dua puluh orang lebih para pengikut Ang-hwa Nio-nio marah bukan main melihat pemimpin mereka tewas. Dengan senjata pedang dan golok, mereka menerjang maju.

Melihat Pendekar Buta dan Raja Pedang sudah terluka hebat, mereka menjadi besar hati dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi, biarpun gerakan-gerakannya sudah amat lambat dan tenaga mereka sudah terbuang setengahnya lebih, namun menghadapi segala orang kasar ini tentu saja kedua pendekar sakti itu masih jauh lebih kuat.

Setiap kali mereka berdua menggerakkan kaki atau tangan, tentu ada pengeroyok yang roboh dengan dada pecah atau kepala remuk. Dalam kemarahan mereka, Pendekar Buta dan Raja Pedang mengamuk hebat, tidak memberi ampun lagi kepada lawan-lawan mereka. Hal ini adalah tidak sewajarnya karena biasanya kedua orang pendekar sakti itu amat murah hati dan tidak mau sembarangan membunuh lawan. Soalnya adalah karena mereka menyangka bahwa isteri dan anak mereka telah tewas terbunuh musuh, maka kedukaan dan kemarahan yang bercampur aduk dengan penyesalan besar serta sakit hati membuat mereka menjadi ganas.

“Losuhu, kau tadi sudah tahu bahwa dua teman kita akan celaka. Kenapa kau hanya mendengus, tidak mencegah mereka?”

Sementara itu Maharsi bertanya penasaran kepada Bhok Hwesio, tidak mempedulikan anak buah Ang-hwa Nio-nio yang bagaikan sekelompok laron menyerbu api itu.

“Hemmm, mereka tolol, juga curang. Sudah sepantasnya mampus,” jawab Bhok Hwesio.

la seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, biarpun dia tersesat dalam kejahatan, namun dia tetap seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian tinggi dan amat percaya akan kepandaian sendiri. Oleh karena itu Bhok Hwesio memandang rendah orang-orang yang berwatak curang.

Semenjak Ang-hwa Nio-nio menggunakan siasat mengadu domba keluarga Raja Pedang dan keluarga Pendekar Buta, dia sudah memandang rendah Ang-hwa Nio-nio, akan tetapi seperti biasa, karena bukan urusannya, Bhok Hwesio tidak peduli.

Maharsi mendongkol bukan main. Akan tetapi karena dia tahu bahwa menghadapi hwesio tinggi besar yang selalu meram ini dia tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk melampiaskan kegemasan hatinya, dia hanya merengut saja dan memandang kearah dua orang musuhnya.

Diam-diam dia kaget dan juga kagum. Jelas bahwa dua orang itu sudah terluka hebat, malah besar kemungkinan takkan dapat hidup lagi. Akan tetapi bagaikan orang mencabuti rumput mudahnya, dua puluh tiga orang pengeroyoknya itu roboh malang-melintang bertumpang-tindih dan mati semua. Sebentar saja tidak ada seorangpun pengeroyok lagi yang masih hidup!

Raja Pedang melompat kearah puterinya dan Pendekar Buta menghampiri isterinya, tangannya meraba-raba, mencari-cari. Akhirnya dia menemukan tubuh isterinya dan cepat-cepat melakukan pemeriksaan seperti yang dilakukan Raja Pedang terhadap puterinya.

“Syukur kau selamat, Hui Kauw…..” terdengar suara Kun Hong terharu, kemudian ia menoleh kearah Raja Pedang. “Bagaimana keadaan Cui Sian, Locian-pwe?”

“Diapun selamat, hanya terluka dan pingsan. Kun Hong, kita menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh….. entah bagaimana aku akan dapat melawan mereka….. aku terluka hebat…..”

Raja Pedang tersedak dan cepat dia duduk bersila untuk mengatur napas dan berusaha mengembalikan tenaganya. Namun dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa tenaganya lenyap setengahnya lebih dan dadanya terasa sakit.

Terang bahwa tak mungkin dia dapat bertempur menghadapi lawan berat. Sedangkan dia tahu betul betapa saktinya Bhok Hwesio. Dalam keadaan sehat saja belum tentu dia mampu menandingi hwesio itu, apalagi dalam keadaan terluka hebat seperti ini.

“Saya….. sayapun terluka…… Locianpwe…..”

Kun Hong juga merasa dadanya sakit sekali, akan tetapi dia segera menghampiri Raja Pedang, lalu menempelkan tangannya pada punggung orang tua itu untuk memeriksa. Kagetlah hatinya mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang benar-benar terluka hebat. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengerahkan sisa tenaga sinkangnya untuk disalurkan melalui punggung dan membantu Si Raja Pedang.

Hawa hangat menjalar dari tangan Kun Hong dan rasa panas memenuhi dada Raja Pedang. Rasa sakit sekitar jantungnya mendingan dan dia lalu menolak tangan Kun Hong dengan halus.

“Cukup, Kun Hong. Terima kasih….. kau sendiri lemah, jangan mengerahkan tenaga lagi. Kun Hong, kau….. kau maafkan aku….. benar-benar aku telah terburu nafsu seperti katamu…..”

“Sudahlah, Locianpwe. Yang perlu sekarang bagaimana kita harus menghadapi mereka.”

Raja Pedang lalu melompat bangun, memaksa diri bersifat gagah ketika dia melempar-lempar mayat para pengeroyok yang menghalang di depan kakinya. Dengan langkah tegap dia menghampiri Bhok Hwesio dan Maharsi, lalu berdiri tegak dan bertanya dengan suara berwibawa.

“Bhok Hwesio, setelah segala kecurangan digunakan oleh fihakmu, sekarang kau mau apalagi?” Di dalam ucapan yang sederhana ini terkandung nada menantang dan mengejek.

Mendengar suara menantang dan sikap yang gagah ini sejenak Bhok Hwesio tercengang dan dia membuka matanya untuk menatap penuh perhatian, mengira bahwa Raja Pedang itu telah dapat memulihkan tenaganya maka dapat bersikap segagah itu.

Akan tetapi pandang matanya segera mendapat kenyataan bahwa orang di depannya ini masih terluka hebat dan tenaganya tinggal sedikit lagi. la menghela napas dan diam-diam merasa kagum sekali.

“Tan Beng San, segala urusan kotor yang dilakukan Ang-hwa Nio-nio tiada sangkut-pautnya dengan pinceng (aku) Pinceng mencarimu. untuk membereskar perhitungan lama.”






No comments:

Post a Comment