Ads

Sunday, March 3, 2019

Jaka Lola Jilid 082

Seluruh tubuh Raja Pedang tergetar, terutama kedua tangannya, ketika dia mengerahkan tenaga Im Yang, kemudian dia melangkah maju tiga kali dan menggerakkan kedua tangannya mendorong kearah Hui Kauw yang masih duduk diatas tanah.

“Jangan…… Locianpwe…..!”

Kun Hong melompat dan menghalang diantara isterinya dan Raja Pedang, tentu saja sambil mengerahkan sinkang untuk menahan hantaman hawa pukulan Im Yang yang sedemikian hebatnya itu.

“Werrrrr…..!!”

Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, tubuh Kun Hong terlempar oleh hawa pukulan, menabrak isterinya dan keduanya terguling-guling sampai tiga meter lebih.

Kun Hong melompat bangun, wajahnya berubah merah, akan tetapi ia tidak terluka. Adapun Hui Kauw, biar tadi sudah terlindung olehnya dan pukulan itu hampir seluruhnya menimpa dirinya, namun saking hebatnya hawa pukulan, nyonya ini menjadi sesak dadanya dan wajahnya pucat. Cepat-cepat ia duduk bersila mengerahkan sinkang untuk mengusir pengaruh hawa pukulan dahsyat itu.

Kening Raja Pedang berkerut-kerut. Tentu saja dia merasa tidak senang sekali harus melakukan ini, namun demi keadilan untuk menghukum yang bersalah, dia melangkah maju lagi beberapa tindak sambil berkata,

“Menyesal sekali, Kun Hong, tapi aku terpaksa harus turun tangan!”

Kembali Raja Pedang menggerakkan kedua tangannya melakukan dorongan dari jarak jauh sambil mengerahkan tenaga Im Yang.

“Locianpwe, jangan terburu nafsu…..?”

Kun Hong mencegah, namun Raja Pedang melanjutkan pukulannya kearah Hui Kauw. Sekali lagi Kun Hong meloncat, kini langsung menghadapi Raja Pedang sehingga dorongan itu sepenuhnya menghantam dadanya. Sekali lagi Pendekar Buta terlempar dan untuk menjaga agar isterinya jangan diserang, terpaksa dia menabrak dan menyeret Hui Kauw sehingga bergulingan diatas tanah.

Kun Hong bangkit berdiri perlahan-lahan, tapi Hui Kauw tidak dapat bangun, nyonya ini dalam keadaan setengah pingsan! Kun Hong sendiri, selain rambutnya kusut, pakaiannya kotor penuh debu, juga dari ujung kiri mulutnya mengalir darah. la tidak terluka dalam, namun pengerahan tenaganya tidak berhasil menahan pukulan maha dahsyat itu sehingga dia terbanting dan mulutnya berdarah. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah ketika dia melangkah maju menghadapi Raja Pedang.

“Locianpwe, benar kata orang bahwa tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang tanpa cacad. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kebodohannya sendiri-sendiri. Mungkin saya mempunyai banyak kelemahan dan kebodohah, namun ternyata Locianpwe sendiripun memiliki cacad ini. Karena sayang putera, karena duka cita, karena sesal dan kecewa, pertimbangan Locianpwe menjadi miring.”

“Aku bukan anak kecil, tak perlu kau memberi kuliah, Kun Hong. Kau minggirlah!” bentak Raja Pedang, sedikit banyak penasaran juga karena dua kali pukulannya untuk menghukum Hui Kauw dapat digagalkan oleh Pendekar Buta.

“Aku tidak akan minggir, Loeianpwe, dan kalau kau hendak membunuh isteriku, terpaksa aku akan mencegah!” jawab Pendekar Buta.

Dengan hati geram Raja Pedang tersenyum pahit.
“Bagus, sudah kuduga akan begini jadinya. Nah, aku akan memukul isterimu lagi, terserah kau hendak berbuat apa!”

Setelah berkata demikian, Raja Pedang menggerakkan kedua lengannya dan kali ini terdengar suara berkerotokan pada kedua lengan itu, Kun Hong kaget bukan main karena maklum bahwa kali ini pendekar sakti itu menggunakan seluruh tenaganya, tenaga Im dan Yang, tenaga yang bertentangan itu hendak digunakan sekaligus mengeluarkan bunyi berkerotokan.

Sungguhpun tenaga itu bertentangan, namun kalau dipergunakan bersama, akan menjadi tenaga mujijat yang sukar dilawan. Isterinya pasti akan binasa oleh pukulan ini, biar hanya terkena sedikit saja.






“Tahan, Locianpwe!” bentak Kun Hong dengan suara keras, tubuhnya merendah ketika dia menekuk kedua lututnya, kedua lengannya dia luruskan ke depan dan dengan pengerahan sinkang diapun mendorong ke depan, langsung menyambut hawa pukulan dahsyat dari Raja Pedang.

Luar biasa sekali! Keduanya hanya tampak meluruskan kedua lengan mendorong ke depan, jarak diantara mereka masih ada tiga meter. Namun keduanya seperti tertahan, seakan-akan tertumbuk kepada sesuatu yang tak tampak namun yang amat kuatnya.

Keduanya menarik kembali kedua lengan, membuat gerakan menyimpang lalu mendorong lagi, hampir berbareng, atau lebih tepat, Raja Pedang yang mendorong dulu karena dia yang menyerang, disusul dorongan lengan Kun Hong yang menyambutnya.

Berkali-kali mereka saling dorong dengan pukulan jarak jauh, makin lama jarak diantara mereka makin dekat.

“Kun Hong, hebat kau….. aku atau kau penentuannya…..” kata Raja Pedang terengah, namun wajahnya berseri gembira, kegembiraan seorang jagoan besar yang menemukan tanding yang seimbang.

“Terserah, Locianpwe…..” kata Kun Hong agak terengah pula, sambil menggeser kedua kaki secara berbareng ke depan dan kini ketika keduanya mengulurkan lengan, kedua pasang tapak tangan itu saling tempel.

Kun Hong terkejut sekali karena kalau tadi tenaga dorongan Raja pedang merupakan tenaga yang keluar sehingga tiap kali dia tangkis maka dua tenaga bertentangan saling menendang, adalah kini kedua tapak tangan Raja Pedang itu mengandung tenaga menyedot dan menempel!

Terpaksa dia mengerahkan seluruh tenaganya mempertahankan sehingga kedua orang itu kini berdiri setengah jongkok dengan kedua lengan lurus ke depan, tapak tangan mereka saling tempel dan melekat. Dua tenaga raksasa salihg betot dan kadang-kadang saling dorong melalui telapak tangan itu, dan keduanya terkejut karena ternyata tenaga mereka seimbang.

Kun Hong menjadi duka dan bingung sekali ketika mendapat kenyataan bahwa Raja Pedang agaknya sudah dihinggapi penyakit yang selalu menular pada ahli-ahli silat, yaitu kalau menemui lawan seimbang timbul kegembiraannya dan sebelum ada ketentuan siapa lebih unggul, takkan puas.

Kun Hong maklum bahwa Raja Pedang telah menggabungkan tenaga Im Yang, maka diapun terpaksa melakukan hal yang sama karena tidak ada kekuatan lain dapat menghadapi tenaga gabungan ini selain juga menggabungkan tenaga Im Yang di tubuhnya. Namun dia maklum pula bahwa dengan cara mengadu tenaga seperti ini, mereka takkan dapat mundur lagi. Siapa mundur berarti celaka, karena andaikata dapat menghindarkan tenaga serangan lawan, namun akan terpukul oleh tenaga sendiri dan menderita luka yang dapat membawa maut.

Pengerahan tenaga gabungan Im Yang seperti ini hanya dapat disurutkan secara perlahan-lahan, tidak mungkin “ditarik” sekaligus tanpa mendatangkan luka hebat didalam tubuh sendiri.

Kedua orang jago sakti itu seperti dua buah arca, sama sekali tidak tampak bergerak. Uap putih mengepul dari kedua pasang lengan dan makin lama uap itu makin banyak, terutama kini keluar dari kepala. Ini adalah landa bahwa pengerahan sinkang mereka sudah memuncak dan keadaan menjadi kritis sekali. Keduanya maklum bahwa seorang diantara mereka pasti akan tewas.

Hui Kauw sudah sadar kembali. Seperti halnya Cui Sian, ia duduk dengan muka pucat. Sebagai orang-orang yang tahu akan ilmu silat tinggi, keduanya maklum apa yang terjadi didepan mata mereka. Baik Cui Sian maupun Hui Kauw maklum bahwa dua orang itu sedang berada di ambang maut dan mereka maklum pula sepenuhnya bahwa mereka tidak dapat membantu, tidak dapat memisah karena tenaga sinkang jauh lebih rendah.

Turun tangan mencampuri “pertandingan” yang aneh ini berarti mengirim nyawa secara sia-sia belaka.

Melihat betapa suaminya setengah berjongkok, kedua matanya yang bolong itu terbelalak, kerut-merut di seluruh mukanya yang penuh keringat dan amat pucat, tiba-tiba Hui Kauw tak dapat menahan hatinya. Suaminya, sedang berjuang dengan maut, dan hal itu dilakukan suaminya untuk menolong dan melindungi dirinya. Tak tertahankan lagi nyonya ini menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri diatas tanah. la menangis seperti anak kecil hatinya penuh iba, penuh kegelisahan, dan penuh kasih sayang kepada suaminya.

Melihat keadaan Hui Kauw ini, Cui Sian tak dapat menahan pula air matanya yang bercucuran keluar. lapun tahu apa artinya pertandingan ini dan timbullah rasa sesal dalam hatinya. Bagaimana kalau ayahnya kalah dan tewas? Tentu selama hidupnya ia akan memusuhi Pendekar Buta suami isteri dan anak. Sebaliknya bagaimana kalau Pendekar Buta yang tewas dan kemudian ternyata bahwa suami isteri itu tidak berdosa? Cui Sian menjadi bingung dan tangisnya menjadi-jadi.

Keadaan yang amat menyeramkan dan menyedihkan. Disana menggeletak mayat Kong Bu yang mulai membusuk sehingga mengotori kebersihan hawa udara hutan itu. Dan disana dua orang jago sakti sedang mati-matian mengadu tenaga dan ilmu. Tak jauh dari mereka, dua opang wanita menangis tersedu-sedu!

Sunyi di hutan itu, kecuali sedu-sedan dua orang wanita dan dari jauh terdengar rintihan burung yang memanggil-manggil pasangannya yang tak kunjung datang dan suara bercicit anak monyet di gendongan induknya minta susu.

Beberapa menit kemudian, suara burung dan monyet tiba-tiba terhenti setelah terdengar kelepak sayap burung-burung terbang dan teriakan monyet-monyet melarikan diri bersembunyi. Inilah tanda bahwa ada sesuatu yang mengejutkah mereka.

Hanya kedua orang wanita itu masih menangis penuh kegelisahan sehingga mereka tidak memperhatikan keadaan sekeliling. Maka betapa kaget hati Cui Sian dan Hui Kauw ketika tiba-tiba muncul banyak sekali orang-orang yang mengurung tempat itu. Sedikitnya ada dua puluh lima orang, dipimpin oleh seorang nenek berpakaian serba merah yang memegang sebatang pedang telanjang. Nenek ini bukan lain adalah Ang-hwa Nio-nio yang datang sambil tertawa-tawa gembira dan mulutnya tiada hentinya berkata,

“Bagus…… bagus…… dua ekor binatang ini sudah masuk perangkap, tinggal menyembelih saja, hi-hi-hik!”

Di sebelahnya tampak seorang pendeta bertubuh tinggi bersorban, telinganya memakai anting-anting dan kulitnya agak hitam, hidungnya mancung sekali. Itulah dia pendeta Maharsi, pertapa dari barat yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) Ang-hwa Nio-nio. Pendeta barat ini didatangkan oleh Ang-hwa Nio-nio untuk diminta bantuannya membalas dendam atas kematian kedua orang saudaranya.

Juga tampak Bo Wi Sianjin, tokoh dari Mongol yang bertubuh pendek dan gendut, tokoh sakti yang memiliki Ilmu Pukulan Katak Sakti, dan yang turun dari pegunungan di Mongol untuk mencari Raja Pedang untuk membalaskan kematian suhengnya, Ka Chong Hoatsu.

Dan di samping tokoh-tokoh itu semua, dengan sikap yang tenang sekali dan amat dihormati oleh tokoh-tokoh lain, adalah seorang hwesio tinggi besar, tua sekali usianya, kedua matanya selalu meram, mukanya pucat tak berdarah seperti muka mayat dan bajunya terbuka sedikit bagian dada memperlihatkan dada yang bidang dan berbulu di tengahnya, hwesio yang amat sakti karena dia ini bukan lain adalah Bhok Hwesio, itu tokoh dari Siauw-lim-pai yang murtad!

Munculnya orang-orang ini mendatangkan rasa gelisah bukan main di hati Cui Sian dan Hui Kauw. Raja Pedang dan Pendekar Buta sedang bersitegang, tidak dapat dipisah begitu saja, dan orang-orahg yang datang ini jelas merupakan tokoh-tokoh ahli silat tinggi yang agaknya tahu pula akan keadaan dua orang itu.

Bagaikan mendengar komando dua orang wanita yang telah terluka ini meloncat, menyambar pedang yang menancap diatas tanah. Hui Kauw mencabut Ang-hong-kiam sedangkan Cui Sian mencabut Liong-cu-kiam pendek, lalu keduanya bersiap membela suami dan ayah masing-masing.

Mata tajam terlatih Ang-hwa Nio-nio dan tiga orang temannya tentu saja dapat melihat bahwa nyonya Pendekar Buta itu telah terluka bahkan puteri Raja Pedang memegang pedang dengan tangan kiri karena tangan kanannya setengah lumpuh. Nenek berpakaian serba merah ini tertawa mengejek sambil berkata mengejek,

“Wah, masih galak betina-betina ini! Kalian lihat betapa kami akan membunuh dan menyiksa dua orang musuh besar kami, kemudian datang giliran kalian berdua. Kong Bu sudah mampus, anak Pendekar Buta cucu Raja Pedang sudah rusak nama dan kehormatannya. Hi-hi-hik, alangkah nikmatnya pembalasanku!”

Tiba-tiba Hui Kauw berseru keras,
“Kau yang mencuri Kim-seng-kiam!”

“Hi-hi-hik, dan kau bersama suamimu yang buta itu tidak tahu…..”






No comments:

Post a Comment