Ads

Sunday, March 3, 2019

Jaka Lola Jilid 081

Karena melakukan perjalanan cepat mempergunakan ilmu mereka, akhirnya mereka tiba di dalam hutan kecil dimana Cui Sian menemukan jenazah Kong Bu. Mereka berempat berdiri di depan kuburan baru yang ditandai tiga buah batu besar.

“Disini tempatnya. Tentu ini kuburannya, dibuat oleh Swan Bu,” kata Cui Sian dan air matanya sudah mengucur.

“Mana Swan Bu…..? Mana anakku…..?” terdengar Hui Kauw berkata perlahan.

“Diamlah, baik sekali dia melakukan penguburan ini. Tentu saja dia telah pergi,” kata Kun Hong sambil meraba-raba kuburan.

“Kun Hong, kita sekarang berhadapan dengan kenyataan. Kong Bu terbunuh dan menurut kesaksian Cui Sian, pedang isterimu menancap di dadanya. Akan tetapi hal itu, biarpun sudah merupakan bukti bahwa Kong Bu terbunuh oleh pedang isterimu, masih belum meyakinkan. Sekarang kita harus bongkar kuburan ini, biar aku melihat mayat Kong Bu, mungkin aku akan dapat menemukan pemecahan rahasianya.”

“Ayah….. kasihan Kong Bu koko….. baru beberapa hari dikubur, masa harus dibongkar…..?”

“Diamlah, Sian-ji. Orang yang sudah mati tidak perlu dikasihani lagi, karena sesungguhnya yang masih hidup inilah yang patut dikasihani oleh si mati. Kau bantulah aku!”

Setelah berkata demikian, pendekar tua ini menggunakan tangannya membongkar tanah kuburan, dibantu oleh Cui Sian yang bekerja sambil mencucurkan air mata.

Akhirnya terbongkarlah kuburan itu dan tampak mayat yang sudah mulai berbau busuk akan tetapi masih utuh. Utuh? Sama sekali tidak karena kedua matanya bolong dan lehernya putus, kepalanya terpisah daripada tubuh. Terdengar Cui Sian menjerit dan roboh pingsan dalam pelukan ayahnya. Raja Pedang mengeluarkan suara, geraman hebat berkali-kali seperti seekor harimau marah.

“Apa yang terjadi? Ada apa…..?” Kun Hong bertanya-tanya sambil memegang lengan isterinya erat-erat.

Hui Kauw sendiri berdiri memandang kearah mayat dengan muka berubah pucat sekali. Jelas bahwa mayat itu selain tertusuk pedang dadanya menyebabkan kematian, juga kedua matanya dibikin buta orang dan lehernya dipenggal pedang! Saking kagetnya, nyonya ini hanya tertegun, tak dapat menjawab pertanyaan suaminya.

Cui Sian siuman kembali dan menangis tersedu-sedu.
“Ah, kasihan Kong Bu ko-ko….. mengapa begini? Ayah…… ketika aku menemukannya, kedua matanya tidak rusak dan lehernya tidak putus…… ah, apakah Swan Bu….. dia….. dia…..”

Tiba-tiba gadis itu melompat dan mencabut pedangnya, wajahnya beringas ketika ia memandang kepada Pendekar Buta dan isterinya.

“Jelas sekarang! Kiranya Pendekar Buta yang selama ini dipuji-puji Ayah, memiliki seorang isteri berhati iblis dan mempunyai anak berwatak siluman! Ayah, ini tentu perbuatan Swan Bu si bocah iblis! Ah, aku tertipu olehnya. Ia bilang kena fitnah, ditawan musuh bersama Lee Si dan dalam keadaan tertotok berdua Lee Si berada sekamar, terlihat oleh Kong Bu koko yang menjadi marah karena Kong Bu koko menyangka bahwa bocah itu berbuat kurang ajar terhadap Lee Si. Kiranya memang demikianlah. Anak Pendekar Buta tak boleh dipercaya! Pantas saja dia dibuntungi lengannya oleh gadis liar itu tidak menjadi sakit hati, kiranya memang segolongan!”

Dengan kemarahan yang meluap-luap Cui Sian menceritakan semua itu dengan cepat sehingga sukar bagi tiga orang itu mengikutinya. Akan tetapi wajah Hui Kauw menjadi lebih pucat ketika ia berkata sambil terisak,

“Anakku….. anakku….. Swan Bu….. lengannya kenapa…..?”

Memang pada saat itu, Cui Sian sudah seratus prosen menuduh akan kejahatan keluarga Pendekar Buta. Tadinya ia percaya akan kebenaran Swan Bu tentang fitnah itu, akan tetapi sekarang, melihat mayat kakaknya dirusak, dia berpendapat lain.

Agaknya memang Swan Bu seorang pemuda berwatak jahat, mempermainkan Lee Si dan merusak mayat Kong Bu. Tadinya ia percaya karena sikap Lee Si yang seakan-akan membenarkan tentang fitnah, seakan-akan membenarkan bahwa Swan Bu dan ia kena fitnah sehingga Lee Si hampir membunuh Siu Bi.

Akan tetapi sekarang Cui Sian mengerti bahwa Lee Si melindungi nama baik Swan Bu, dan….. tentu saja nama baik Lee Si sendiri. Hal ini hanya dapat terjadi karena puteri kakaknya itu jatuh cinta kepada Swan Bu yang tampan dan gagah! Sekarang ia mengerti semua dan kemarahannya rnemuncak.






“Wanita iblis, kau memang keturunan Ching-coa-to yang jahat! Setelah kau membunuh Kong Bu koko dan anakmu merusak mayatnya, kau mau bilang apa lagi? Kau harus menebus dosa!”

Gadis itu membentak lalu berteriak nyaring dan tubuhnya melayang ke depan dalam serangannya yang hebat kepada Hui Kauw. Nyonya ini masih tercengang dan menangis sedih mendengar puteranya buntung lengannya, masih bingung sehingga ia tidak dapat mengelak atau menangkis menghadapi serangan Cui Sian yang dahsyat ini.

“Trang….. plak…..!”

Kembali Kun Hong yang turun tangan menangkis dan Cui Sian terlempar dan roboh, kini gadis itu tidak dapat segera bangkit karena pundaknya tadi ditampar Kun Hong sehingga tulang pundaknya terlepas dan lengan kanannya menjadi lumpuh, tak dapat digunakan sementara waktu untuk mainkan pedang lagi! Pedang Liong-cu-kiam menggeletak di sampingnya.

Sementara itu, Raja Pedang Tan Beng San yang menyaksikan puteranya telah menjadi mayat yang mulai berbau busuk dan dirusak sedemikian rupa, berdiri seperti patung setelah mengeluarkan teriakan nyaring tadi. la berdiri seperti patung dan baru bergerak setelah Cui Sian terlempar dan roboh. la melangkah perlahan menghampiri pedang Liong-cu-kiam pendek yang menggeletak disitu, kemudian tanpa mempedulikan Cui Sian yang dilihatnya hanya menderita terlepas tulang yang tidak membahayakan nyawanya, kakek sakti ini membalikkan tubuhnya menghadapi Kun Hong, sikapnya penuh ancaman, tapi wajahnya tenang, hanya pandang matanya dingin seperti salju.

“Kwa Kun Hong, bagus sekali sikapmu. Kau sekarang membela yang salah, biarpun yang salah itu anak isterimu sendiri. Sekarang pilihlah, kau sendiri yang menghukum isterimu ataukah aku yang harus turun tangan? Kun Hong….. betapa hancur hatiku karena kekecewaan. Entah dosa apa yang kau perbuat dalam kehidupanmu dahulu sehingga dalam kehidupan sekarang kau menebus dengan nasib yang amat buruk. Tak patut kau yang memiliki watak mulia, mendapatkan isteri yang curang dan palsu, dan mendapatkan putera yang jahat dan keji. Kun Hong, demi hubungan baik antara kita, kau hukumlah orang yang bersalah, biarpun orang itu isterimu sendiri, agar aku tidak usah menyentuh isterimu.”

Ucapan Raja Pedang Tan Beng San terdengar tenang, tapi penuh dengan penyesalan dan keharuan tercampur duka. Betapapun juga, terasa amat dingin yang menjadi selimut daripada kemarahan besar.

Kun Hong berdiri tegak seperti patung. Kerut-merut diantara kedua matanya yang buta amat dalam, membuat wajahnya yang tampan itu kelihatan tua sekali. Rambut-rambut di pelipisnya seketika berubah menjadi putih. Kiranya saat ini merupakan saat yang paling perih baginya, saat yang paling menusuk di hati, dimana bercampur aduk pelbagai perasaan.

la yakin, seyakin-yakinnya, bahwa isterinya tidak membunuh Kong Bu. Dan dia yakin pula bahwa puteranya tidak nanti akan melakukan perbuatan demikian hina, merusak mayat Kong Bu. la maklum bahwa semua ini fitnah belaka, dilakukan oleh orang-orang jahat.

Akan tetapi diapun maklum bahwa Raja Pedang dan Cui Sian yang dipengaruhi duka cita besar menyaksikan mayat Kong Bu yang mulai membusuk, menjadi miring pertimbangannya dan gelap pandangnya, sukar diajak berunding, kecuali kalau ada fakta-fakta yang mutlak sehingga dapat membuka mata hati mereka.

Di samping keyakinan akan kebersihan anak isterinya, ada rasa duka yang membuat hatinya merasa ditusuk-tusuk jarum berbisa ketika dia mendengar bahwa lengan puteranya buntung. Semua perasaan ini ditambah rasa penasaran mengapa Cui Sian begitu mendesak dengan tuduhan-tuduhan membuta, dan mengapa pula Raja Pedang yang selama ini dia anggap sebagai seorang yang paling bijaksana di dunia ini, tak dapat melawan kedukaan hati dan memihak Cui Sian tanpa pikir panjang lagi.

Keyakinannya akan kebersihan isterinya, ditambah cinta kasihnya yang mendalam, membuat Kun Hong mengambil keputusan untuk melindungi isterinya dari gangguan siapapun juga.

Sampai lama dia tidak menjawab ucapan Raja Pedang tadi. Keduanya berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga meter, sama-sama tegak dan sama-sama tidak bergerak. Cui Sian masih duduk bersila menahan sakit dan memulihkan tenaganya yang seakan-akan habis. Tangkisan Pendekar Buta tadi hebat bukan main. Juga Hui Kauw menjatuhkan diri diatas tanah, duduk sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan. la sedih, marah, dan penasaran, akan tetapi semua itu terkalahkan oleh kepedihan hatinya mendengar lengan anaknya menjadi buntung.

Suasana sunyi sepi, sunyi yang menyeramkan. Udara diracuni bau mayat membusuk. Dua jagoan yang dianggap paling sakti di dunia persilatan, kini saling berhadapan, dengan perasaan saling bertentangan.

Keduanya memiliki ilmu tingkat tinggi, yaitu Im-yang-sin-hoat, Tongkat besi Ang-hong-kiam telah gemetar di tangan kanan Kun Hong, sedangkan kedua tangan Raja Pedang telah memegang sepasang Liong-cu-kiam yang berkilauan. Tadi dia mengambil Liong-cu-kiam pendek dari puterinya dan kini tangan kanannya sudah mencabut Liong-cu-kiam panjang. Dengan sepasang Liong-cu-siang-kiam di tangan, Raja Pedang kini merupakan seekor harimau yang diberi sayap!

“Kwa Kun Hong, sekali lagi, kalau kau tidak mau menghukum isterimu, aku akan turun tangan sendiri!” kembali suara Raja Pedang itu menggema diantara pohon-pohon di sekeliling tempat itu.

“Locianpwe, isteri saya tidak berdosa. Harap Locianpwe jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan sebelum jelas benar. Tak mungkin saya membolehkan siapa juga mengganggu isteri saya yang tidak bersalah.”

“Hemmm, tidak nyana, bukan hanya matamu yang menjadi buta. Hatimupun buta terhadap kenyataan dan keadilanmu goyah oleh cinta kasih. Hui Kauw, terimalah hukumanmu!”

Dua sinar putih berkilau bagaikan dua bintang terbang menyambar dibarengi suara bercuit panjang dan angin berdesir menyambar. Tubuh Si Raja Pedang sudah lenyap memanjang seperti dua sutera putih.

“Hyiiiaaaaattt!”

Pekik nyaring melengking ini keluar dari mulut Kun Hong dan tampaklah sinar merah gemilang menyilaukan mata menggantikan tubuhnya yang lenyap pula digulung sinar pedangnya sendiri. Maklum bahwa Raja Pedang melakukan gerakan maut untuk membunuh isterinya, Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta juga mengeluarkan jurus simpanannya karena hanya dengan jurus inilah dia akan mampu menandingi Raja Pedang.

Hebat sekali penglihatan disaat itu. Cui Sian dan Hui Kauw lupa akan keadaan diri sendiri, masing-masing membelalak memandang ke depan. Memang luar biasa dan indah pula. Dua sinar yang amat terang dan panjang berwarna putih seperti perak, melayang di udara dan dari jurusan yang bertentangan meluncur sinar merah yang amat terang pula. Kemudian sinar-sinar itu beradu di udara, mengeluarkan suara keras seperti ledakan, membuat bumi serasa berguncang dan daun-daun pohon rontok berhamburan.

Cui Sian dan Hui Kauw tak dapat menahan hawa pukulan sakti itu, masing-masing menggigil tubuhnya dan otomatis mereka bertiarap sambil menutup mata. Ketika mereka membuka mata lagi memandang, ternyata Pendekar Buta dan Raja Pedang sudah berdiri lagi diatas tanah, tegak berhadapan dalam jarak tiga meter.

Diatas tanah, antara mereka, tiga batang pedang menancap di atas tanah, sepasang Liong-cu-kiam dan sebatang Ang-hong-kiam yang sudah keluar dari tongkat yang hancur berkeping-keping!

Kiranya pertemuan sepasang Liong-cu-kiam dan tongkat berisi Ang-hong-kiam tadi sedemikian hebatnya sehingga membuat tongkat yang membungkus Ang-hong-kiam hancur, akan tetapi juga membuat tiga batang pedang itu terlepas dari pegangan kedua orang jago sakti dan menancap diatas tanah, amblas hampir sampai kegagangnya.

“Locianpwe, saya tidak berani melawan Lociaripwe, akan tetapi jangan Lo-cianpwe mengganggu isteri saya yang tidak berdosa.”

Terdengar suara Kun Hong memecah kesunyian, suaranya gemetar bercampur isak tertahan.

Raja Pedang menarik napas panjang.
“Hebat kau, Kun Hong. Dengan kepandaianmu seperti ini, seharusnya aku si tua bangka takluk. Akan tetapi, jelas isterimu membunuh Kun Hong dan anakmu menghina mayatnya sedemikian rupa, orang-orang dunia akan mentertawai aku sebagai berat sebelah kalau tidak memberi hukuman. Kalau kau hendak melindungi isterimu, terserah, itu hakmu, sungguhpun hal itu mengecewakan hatiku karena berarti kau melindungi orang bersalah, Hui Kauw, awas terimalah pukulanku!”






No comments:

Post a Comment