Ads

Saturday, March 2, 2019

Jaka Lola Jilid 080

Kini rnereka saling menguji lawan dengan gerakan cepat, atau jelasnya, masing-masing hendak mengandalkan kecepatan untuk mencapai kemenangan. Gerakan mereka seperti sepasang burung walet, sukar sekali diikuti pandangan mata biasa. Pedang mereka lenyap bentuknya, berubah dua gulung sinar merah dan putih yang berkelebatan ke sana ke mari, saling belit, saling tekan, saling dorong dan saling kurung sehingga menimbulkan pemandangan yang ajaib, indah, namun penuh ketegangan karena di antara semua keindahan itu mengintai maut!

Segera ternyata oleh kedua orang wanita jagoan itu bahwa dalam ilmu gin-kang, nyonya Pendekar Buta dengan gerakan Kim-tiauw-kun lebih unggul sedikit. Akan tetapi keunggulan ini ditutup oleh puteri Raja Pedang dengan kelebihannya dalam tenaga Iweekang yang merupakan penggabungan atau kombinasi dari Im-kang dan Yang-kang dari Im-yang-sin-hoat.

Ketika Hui Kauw melakukan serangan dengan jurus Kim-tiauw-liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air), pedangnya membacok dari atas ke bawah dengan kelebatan dua kali seperti orang menulis huruf Z.

Cui Sian yang menjadi silau matanya saking hebatnya serangan ini, cepat menggerakkan pedang Liong-cu-kiam menangkis dilanjutkan dengan serangan menusuk dada. Dalam menangkis ini, Cui Sian menggunakan jurus Yang-sin Kiam-hoat yang disebut Jit-ho-koan-seng (Api Mata-hari Menutup Bintang), pedangnya diputar menjadi gulungan sinar bundar yang digerakkan hawa panas sehingga tangan Hui Kauw yang memegang pedang serasa akan pecah-pecah telapak tangannya. Kemudian, sinar pedang yang bundar seperti bentuk matahari ini tiba-tiba mengeluarkan kilatan meluncur ke depan ketika jurus dari Yang-sin-kiam itu diubah mejadi jurus Im-sin-kiam yang disebut Bi-jin-sia-hwa (Wanita Cantik Memanah Bunga).

“Hui Kauw…… awas…” terdengar Kun Hong berseru kaget.

Pendengarannya yang luar biasa tajam itu dapat mengikuti pertandingan ini seakan-akan dia dapat melihat saja. Tanpa seruan inipun Hui KauW sudah kaget bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa pedang lawan yang diputar untuk menangkis itu tahu-tahu dapat diubah menjadi serangan yang mengeluarkan hawa dingin. Pedangnya sendiri dalam detik itu berada di atas karena tangannya terpental oleh tangkisan tadi, maka untuk menangkis tidak ada kesempatan lagi.

Agaknya pedang lawan itu akan menancap di dadanya, dan mungkin ini yang dikehendaki Cui Sian untuk membalas kematian kakaknya dengan serangan yang sama, menikam dada!

Akan tetapi Hui Kauw bukanlah seorang wanita sembarangan yang akan putus asa menghadapi terkaman maut. Dengan nekat ia hendak mengadu nyawa. Tubuhnya ia tekuk ke bawah menjadi setengah berjongkok dan pedangnya membabat miring kearah kaki lawan. la maklum bahwa ia tidak akan dapat terhindar dari tusukan maut itu, akan tetapi agaknya pedangnya sendiripun akan mendapat korban dua buah kaki!

“Aiihhh…..!”

Cui Sian berseru, kagum dan kaget, tapi ia cepat melompat ke atas sehingga pedang Hui Kauw menyambar lewat di bawah ke dua kakinya, hanya beberapa senti meter saja selisihnya. Akan tetapi karena tubuh Hui Kauw merendah dan ia sendiri terpaksa melompat, pedangnya berubah arahnya dan tidak jadi menancap dada melainkan menyerempet pundak kiri Hui Kauw. Nyonya Pendekar Buta itu mengeluh perlahan, daging pundaknya robek dan darah mengalir banyak. la terhuyung ke belakang, pandang matanya nanar.

“Hui Kauw…..!”

Sekali kakinya bergerak, Kun Hong sudah melayang kedekat isterinya dan merangkulnya. Cepat jari-jari tangannya mencari dan mendapatkan luka di pundak. Hatinya lega, luka itu besar akan tetapi hanya luka daging saja, tidak berbahaya. la menotok dua jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah dan mengurangi rasa nyeri.

“Cui Sian, kau terlalu mendesak kami ….” katanya kemudian sambil menyuruh isterinya duduk beristirahat di pinggir. Pedang Ang-hong-kiam sudah dia masukkan ke dalam tongkatnya lagi.

Cui Sian melangkah maju, Suaranya lantang, ketus dan penuh tantangan,
“Pendekar Buta, untuk membalaskan kematian kakakku yang sama sekali tidak berdosa, pembunuhnya harus kubunuh pula!”

Setelah berkata demikian, Cui Sian tiba-tiba melompat cepat sekali dengan maksud supaya orang buta itu tidak sempat menghalanginya. la melompat ke dekat Hui Kauw yang duduk bersila sambil meramkan mata mengumpulkan kembali tenaga dan memulihkan luka. Dengan gerakan cepat ia mengangkat pedangnya, menusuk kearah dada Hui Kauw.

“Tranggggg…..!”






Cui Sian hampir jatuh jungkir-balik saking kerasnya tangkisan ini yang membuat lengannya kesemutan dan membuat ia cepat melompat ke belakang. Matanya terbelalak marah ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya tadi adalah tongkat di tangan Kun Hong yang entah kapan telah berada didekat isterinya.

“Bagus, kau telah membelanya? Awas pedang!”

la sudah menerjang maju dan kini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang sakti.

Hampir saja Cui Sian berdiri melongo saking herannya kalau saja ia tidak didorong oleh kemarahan dan sakit hati. Pendekar Buta itu hanya berdiri tegak dengan tongkat di tangan, kulit diantara kedua mata kerut-merut, mulut setengah tersenyum setengah menangis membayangkan keperihan hati, akan tetapi sama sekali tidak melayani ancaman serangan Cui Sian yang sudah menggerakkan pedang sehingga gulungan sinar putih bergerak-gerak mengurung tubuhnya dari atas kebawah!

Cui Sian adalah puteri seorang pendekar besar, tentu saja tidak sudi menyerang orang yang tidak melawannya.

“Pendekar Buta, tak perlu menghina orang dengan kepandaiannya! Hayo kau lawan pedangku kalau kau membela isterimu yang membunuh kakakku!” teriak Cui Sian sambil menyilangkan ujung pedangnya di depan dada Kun Hong.

Akan tetapi Pendekar Buta tersenyum pahit dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Aku bukan orang gila, Siauw-moi (Adik Kecil)! Mana bisa aku melawanmu berkelahi? Isteriku tidak membunuh Kong Bu, aku berani sumpah…..”

“Sumpahmu tidak ada harganya!” bentak Cui Sian yang teringat akan mendiang cicinya. “Mungkin kau tidak membunuh Kong Bu koko, akan tetapi isterimu adalah puteri Ching-coa-to, sejak kecil tergolong keluarga penjahat! Aku bunuh dia!”

Sambil berkata demikian Cui Sian melompat cepat sekali sambil menyerang Hui Kauw yang masih duduk bersila mengumpulkan tenaga.

“Tranggg!” kembali Cui Sian terhuyung mundur ketika pedangnya tertangkis tongkat di tangan Kun Hong.

Namun gadis ini menjadi makin marah dan dengan nekat mengirim serangan bertubi-tubi, dengan jurus-jurus terlihai dari Im-yang-sin-kiam.

Betapapun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, semua sinar pedangnya terpental mundur oleh tangkisan tongkat yang merupakan sinar merah. Sinar merah itu jauh lebih kuat daripada sinar putih dari pedangnya dan agaknya Pendekar Buta hafal betul akan semua gerak-geriknya sehingga kemanapun juga pedangnya berkelebat dalam penyerangannya terhadap Hui Kauw, selalu pedang itu membentur tongkat, seakan-akan tubuh Hui Kauw terkurung benteng baja yang tak tertembuskan!

Karena semua serangannya selalu tertangkis, Cui Sian menjadi makin marah dan penasaran. Kalau saja Pendekar Buta melawannya dan ia dikalahkan, hal itu takkan mendatangkan rasa penasaran.

Akan tetapi orang buta itu hanya menangkis dan melindungi isterinya, sama sekali tidak membalas sehingga ia merasa dipermainkan, dipandang rendah, dan dianggap anak-anak saja! Apalagi karena telapak tangannya yang memegang pedang terasa perih dan panas, hampir Cui Sian menangis saking jengkelnya.

la pada dasarnya seorang yang berpemandangan luas dan tidak mudah dipengaruhi kemarahan, akan tetapi karena ia memiliki hati yang keras pula, kini ia hampir tak dapat mengendalikan kesabaran. Saking gemasnya, ia lalu mulai mengalihkan serangannya kepada Kun Hong sendiri!

Dilain fihak, diam-diam Kun Hong mulai merasa tak senang. Gadis ini tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu dia mengalah terus. Tentu saja tak mungkin dia membiarkan isterinya dibunuh! Siapapun juga orangnya yang akan mengganggu isterinya, akan dia lawan mati-matian. la akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela isterinya yang tercinta.

“Sian-moi, kau tak tahu diri!” bentaknya sambil menangkis agak keras sehingga Cui Sian terhuyung dan terpental sampai beberapa meter jauhnya.

“Memang aku tidak tahu diri!” Dalam kemarahannya Cui Sian berteriak-teriak. “Kakakku dibunuh isterimu, seharusnya aku diam saja dan minta ampun kepada isterimu, begitukah? Mengapa aku marah-marah dan hendak menuntut balas? Memang aku tidak tahu diri, nah, gunakanlah tongkatmu untuk melawanku dan membunuhku pula!”

Ucapan ini ditutup dengan serangan kilat, serangan dengan jurus yang disebut Pat-sian-lo-hai (Delapan Dewa Kacau Lautan) yang merupakan jurus Yang-sin-kiam-hoat, hebatnya bukan main. Sambaran angin pedang Liong-cu-kiam menjadi panas seperti mengandung api dan serangannya menyambar datang dari delapan penjuru angin.

Inilah jurus yang paling hebat dari ilmu pedang Cui Sian yang sengaja di pergunakan oleh gadis itu secara nekat untuk menghadapi Pendekar Buta yang jauh lebih lihai dari padanya itu.

Kaget sekali hati Kun Hong ketika pendengarannya menangkap desir angin serangan jurus yang ampuh ini. la menyesal sekali dan juga makin tak senang. Jurus ini dikenalnya baik dan dia beranggapan bahwa kalau orang sudah menggunakan jurus macam Pat-sian-lo-hai ini, berarti orang itu hendak mengadu nyawa dan sudah nekat.

la mengeluarkan suara melengking keras dan tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah seperti darah. Terdengar bunyi “cring-cring” delapan kali dan….. Cui Sian terlempar sampai lima meter lebih jauhnya, terbanting keatas tanah diikuti pedangnya yang melayang keatas dan menancap di dekatnya! Seketika gadis itu nanar dan bumi di sekelilingnya serasa berputaran!

“Bocah tak tahu diri!” kembali Kun Hong mengomel.

“Sian-ji (anak Sian), kau benar-benar tidak tahu diri, berani melawan Pendekar Buta. Tentu saja kau kalah…..” tiba-tiba terdengar suara halus dan dalam.

“Ayah…!” Cui Sian berseru girang dan mengandung isak. “Ayah… kau balaskan kematian…. kematian….. Kong Bu koko…..” dan gadis ini menangis terisak-isak.

Kakek tua yang secara tiba-tiba berdiri disitu memang bukan lain adalah ayah Cui Sian, Bu-tek-kiam-ong Tan Beng San Si Raja Pedang, ketua dari Thai-san-pai! Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap, rambutnya sudah banyak yang putih, jenggotnya panjang, sepasang matanya tajam berpengaruh, sikapnya tenang berwibawa.

“Tenanglah, Sian-ji, aku sudah mendengar semua tadi. Aku tidak percaya Kun Hong membunuh Kong Bu, akan tetapi entah kalau isterinya. Betapapun juga, kau tidak boleh terburu nafsu, anakku, sebelum ada bukti.”

Sementara itu, bukan main kagetnya hati Kun Hong ketika mendengar suara Raja Pedang tadi, apalagi ucapan pertama yang keluar dari mulut Raja Pedang tadi sedikit banyak mengandung sindiran terhadap dirinya! Serta merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Pedang sambil berkata,

“Locianpwe, sekali-kali saya tidak berani menghina adik Cui Sian, akan tetapi dia mendesak terus. Kami berdua tidak merasa membunuh Kong Bu, tentu saja tidak mengaku. Kalau betul isteri saya membunuh Kong Bu, biarlah Lo-cianpwe turun tangan membunuh kami, kami takkan melawan. Harap Locianpwe sudi mempertimbangkan dan memeriksa, karena tuduhan itu hanya fitnah belaka”.

“Hemmm, Kun Hong, berdirilah. Kau cukup mengenal watakku yang selamanya tidak akan mudah mendengar keterangan sefihak saja. Betapapun juga, kiranya Cui Sian takkan sudi melakukan fitnah dan akupun tahu bahwa kau bukanlah orang yang suka menyangkal perbuatan sendiri. Sian-ji, tidak boleh kita menuduh buta tuli tentang pembunuhan atas diri Kong Bu sebelum melihat bukti dan melakukan pemeriksaan. Mari antarkan aku ke tempat kau menemukan jenazah kakakmu. Kun Hong kau dan isterimu ikut agar kita bersama dapat membuktikan sendiri.”

“Ayah, yang menemukan jenazah Kong Bu koko adalah aku dan Swan Bu. Karena marah, aku segera pergi mencari Pendekar Buta dan isterinya, sedangkan Swan Bu berada disana, tentu jenazah itu sudah dikuburnya.”

“Biarlah kita melihat kesana.”

Mendengar bahwa Swan Bu berada di tempat pembunuhan itu, Kun Hong dan isterinya segera bangun dan tanpa banyak cakap lagi segera mengikuti Cui Sian dan ayahnya. Hati mereka berempat diliputi pelbagai dugaan dan perasaan tegang maka di sepanjang jalan mereka tidak banyak bicara. Ada sesuatu yang merenggangkan mereka dan membuat mereka merasa tidak enak dan tidak suka satu kepada lain.






No comments:

Post a Comment