Ads

Saturday, March 2, 2019

Jaka Lola Jilid 077

Dada Siu Bi penuh keharuan. Orang tua ini, yang baru-baru ini amat dibencinya, telah kehilangan lengan untuknya, sekarang menghadapi maut juga untuknya. Orang ini menolong Swan Bu, berarti menolongnya juga. Seketika lenyap semua bencinya, terganti kasih sayang yang dahulu, kasih sayang seorang anak perempuan yang dimanja ayahnya.

“Ayah…..!” Siu Bi merangkul dan menangis.

The Sun berdongak keatas, pipinya basah air mata.
“Terima kasih, atas pengampunan-Mu, bahwa disaat terakhir ini harapan hamba-Mu masih terkabul. Siu Bi anakku….!”

The Sun mendekap kepala gadis itu dan mencium dahinya, rambutnya, penuh kebahagiaan.

“Siu Bi, dengar baik-baik. Orang ini banyak kawannya, mereka tentu akan datang. Kau pergilah bersama Swan Bu. Aku tahu, dia putera Pendekar Buta, bukan? Ah, Siu Bi, harapanku terakhir, semoga kau dapat hidup bahagia bersama dia. Ya, ya….. sejak kau kecil, kutimang-tirnang engkau agar kelak menjadi isteri seorang pendekar keturunan Raja Pedang atau Pendekar Buta. Ha-ha-ha, pengharapanku terkabul kiranya. Pergilah, bawa dia pergi, dia terluka parah…. biar aku disini menghadang teman-temannya yang hendak mengejar.”

Setelah berkata demikian, dengan sikap gagah The Sun bangkit berdiri, memungut pedangnya yang tadi terlempar dan berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar.

Siu Bi menengok, melihat Swan Bu dengan napas memburu berdiri bersandar pohon,
“Tapi Ayah, kau….. kau terluka hebat…..”

The Sun menggerakkan lengannya yang buntung, menyayat hati Siu Bi atas penglihatan ini.

“Aku sudah tua, aku penuh dosa, jangan renggut kenikmatan pengorbanan dan penebusan dosa ini, anakku. Kau berhak hidup bahagia, berhak hidup bersih daripada dosa-dosaku. Penjahat-penjahat itu dahulu bekas teman-temanku, biarlah sekarang kutebus dengan darahku, melawan mereka untuk membersihkan engkau daripada kekotoran ini. Kau pergilah, jaga baik-baik ibumu, dan…. dan….. jangan lepaskan Swan Bu… itu harapanku…..” Ucapan terakhir ini dilakukan dengan suara terisak.

“Ayah…… selamat tinggal…..” kata Siu Bi karena tidak melihat jalan lain.

la maklum juga bahwa kedatangan Ouwyang Lam tentu disusul yang lain. Kalau Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, apalagi Bhok Hwesio sampai muncul disitu, tentu dia, Swan Bu dan ayahnya akan tewas semua secara konyol. la dapat menduga pula bahwa luka ayahnya amat berat, maka ayahnya menjadi nekat, berkorban untuknya.

Dengan air mata bercucuran ia menghampiri Swan Bu, digandengnya lengan kanan pemuda itu dan ditariknya.

“Mari kita berangkat, Swan Bu.”

“Sebentar, anakku…..”

The Sun dengan langkah lebar menghampiri mereka, rnemandang dengan penuh keharuan, tiba-tiba merangkul Swan Bu dan mencium dahi pemuda itu, merangkul Siu Bi dan mencium dahi gadis ini, lalu melepaskan mereka.

“Pergilah, lekas….. pergilah, selamat berbahagia!”

la masih berdiri dengan air mata bercucuran memandang kearah lenyapnya dua orang muda itu ketika muncul Ang-hwa Nio-nio yang berlari-lari ke tempat itu. Terdengarlah nenek itu menjerit lalu menubruk jenazah Ouwyang Lam dan menangis tersedu-sedu.

Akan tetapi hanya sebentar saja karena ia segera meloncat bangun dan berdiri menghadapi The Sun yang sudah membalikkan tubuh karena sadar daripada lamunan sedih oleh tangis dan jerit tadi.

Ang-hwa Nio-nio hampir gila oleh marah dan sedihnya melihat murid atau kekasihnya telah tewas. Dengan mata mendelik ia memandang kepada Siu Bi dan berteriak penuh kemarahan,

“Katakan, siapa yang membunuhnya? Dan kau ini siapa?”






The Sun yang sudah dapat menguasai keharuan hatinya, kini tersenyum duka.
“Kui-toanio (nyonya Kui), agaknya kau lupa lagi kepadaku. Dua puluh tahun yang lalu, aku dan guruku Hek Lojin bukankah menjadi kawan seperjuangan dengan Ang-hwa Sam-ci-moi?”

Nenek itu memandang heran kearah lengan yang buntung, akan tetapi ia teringat sekarang.

“Aaahhhhh, kau The Sun….. eh, gadis itu, Siu Bi….. dia puterimu?”

Sebelum The Sun menjawab, nenek itu yang teringat lagi akan mayat pemuda kekasihnya, cepat bertanya, suaranya berubah tidak semanis tadi,

“The Sun, siapakah yang membunuh Ouwyang Lam? Siapa”

Setelah sekarang Siu Bi dan Swan Bu pergi, baru The Sun merasa betapa dadanya sakit bukan main, juga lengannya yang buntung. Rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsum dan ke jantung, membuat matanya berkunang-kunang, kepalanya pening dan tubuhnya menggigil. Akan tetapi dia menggigit bibirnya, mengerahkan seluruh daya tahan yang ada di tubuhnya untuk melawan rasa nyeri ini agar dia dapat menghadapi Ang-hwa Nio-nio.

“Dia ini hendak mengganggu anakku dan….. mantuku, karena itu aku turun tangan membunuhnya!”

Ang-hwa Nio-nio kelihatan kaget dan heran, akan tetapi kemarahannya memuncak mengalahkan perasaan-perasaan lain. la mundur tiga langkah, mengeluarkan jerit aneh setengah menangis setengah tertawa, kemudian menubruk ke depan melakukan penyerangan dansyat, pedangnya menubruk perut, tangan kirinya melancarkan pukulan Ang-tok-ciang!

The Sun adalah seorang jago kawakan yang tentu saja sudah maklum betapa lihainya nenek ini. Apalagi dia dalam keadaan terluka hebat, lengan buntung dan dada tergores pedang. Andaikata dia dalam keadaan sehat dan segar bugar sekalipun, dia maklum bahwa nenek ini bukanlah lawannya yang seimbang. Mendiang gurunya, Hek Lojin, kiranya baru merupakan lawan setanding. Maka dia bukan tidak tahu bahwa pertempuran ini akan diakhiri dengan kekalahannya.

Namun dia tidak takut, tidak gentar. Apalagi karena sudah tercapai apa yang dia idam-idamkan, yaitu menarik Siu Bi kembali kepadanya, sebagai anaknya. la terlalu cinta. kepada anak itu yang semenjak kecil dia anggap anak sendiri. Ketika Siu Bi pergi, dia sudah mengalami penderitaan batin yang lebih hebat daripada penderitaan apapun juga, lebih hebat daripada kematian. Bahkan sebelum dia bertemu dengan Siu Bi, hanya tubuhnya yang masih hidup untuk menghadapi segala kepalsuan hidup, sedangkan batinnya sudah hampir mati.

Baru setelah Siu Bi menyebutnya ayah, mengaku ayah kepadanya, jiwanya segar kembali dan The Sun merasai kebahagian dan kenikmatan yang tiada bandingnya di dunia. la puas, dia lega, dan dia bahagia sehingga menghadapi bahaya maut di tangan Ang-hwa Nio-nio disambutnya dengan senyum!

Betapapun juga, darah jagoan tidak membiarkan dia mati konyol begitu saja. la seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, biarpun tingkatnya tidak setinggi tingkat Ang-hwa Nio-nio, namun dia harus memperlihatkan bahwa selama puluhan tahun belajar ilmu silat tidaklah sia-sia. la harus melawan mati-matian. Tangan kanannya yang memegang pedang bergerak melindungi tubuh dan dia menggeser kakinya ke belakang terus kekiri, membabatkan pedangnya ke tengah-tengah gulungan sinar pedang di tangan Ang-hwa Nio-nio.

“Trang-trang-tranggg…..'”

Mereka berdua terpental mundur, masing-masing tiga langkah. Hal ini aneh. Sebetulnya dalam hal kepandaian maupun tenaga dalam, The Sun kalah jauh oleh Ang-hwa Nio-nio. Apalagi dia dalam keadaan terluka dan tubuhnya sudah lemah sekali. Akan tetapi, mengapa tiga kali pedangnya dapat menangkis pedang lawan dan dia dapat mengimbangi tenaga Ang-hwa Nio-nio? Bukan lain karena rasa bahagia dan ketabahan yang luar biasa, yang membuat The Sun tidak peduli lagi akan mati atau hidup, perasaan ini mendatangkan tenaga mujijat kepadanya.

Memang, didalam tubuh manusia ini tersimpan tenaga mujijat yang rahasianya tak diketahui oleh si manusia sendiri. Kadang-kadang saja, diluar kesadarannya, tenaga ini menonjolkan diri, rnembuat orang dapat melakukan hal yang takkan mungkin dilakukannya dalam keadaan normal. Rasa takut yang berlebih-lebihan, rasa marah yang melewati batas, rasa duka maupun gembira yang mendalam, kadang-kadang dapat menarik tenaga mujijat dalam diri ini sehingga timbul dan memungkinkan orang melakukan hal yang luar biasa, diatas kemampuannya yang normal.

Demikian pula agaknya dengan The Sun pada saat itu. Secara aneh sekali, perasaan bahagia yang amat mendalam membuat dia tidak gentar menghadapi apapun juga, mati atau hidup baginya sama saja, pokoknya dia sudah diterima sebagai ayah oleh Siu Bi dan inilah idam-idaman hatinya. Perasaan inilah yang membangkitkan tenaga mujijat sehingga dia mampu menangkis sambaran pedang Ang-hwa Nio-nio sambil mengelak dari pukulan Ang-tok-ciang.

Akan tetapi, karena memang kalah tingkat dan pula tangan kirinya tak dapat dia pergunakan lagi sehingga keseimbangan tubuhnya dalam bersilat juga terganggu, maka ketika Ang-hwa Nio-nio terus mendesaknya dengan kemarahan meluap-luap, The Sun hanya mampu mempertahankan dirinya saja.

“Singgg!!”

Pedang Ang-hwa Nio-nio menyambar, hampir saja mengenai kepala The Sun kalau saja dia tidak cepat-cepat membanting dirinya ke belakang dan terhuyung. Pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio sudah menyusulkan pukulan Ang-tok-ciang. Dalam keadaan terhuyung-huyung ini, tentu saja The Sun tidak mampu lagi. mengelak.

“Uhhh…..!”

Dadanya serasa ditumbuk palu godam, tergetar seluruh isi dadanya dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter lebih. The Sun roboh dan muntahkan darah segar dari mulutnya. Pada saat itu Ang-hwa Nio-nio sambil terkekeh-kekeh mengerikan sudah melompat datang dengan pedang terangkat.

Namun The Sun sama sekali tidak gentar, juga tidak mau menyerah. Dalam keadaan setengah rebah ini, dia masih mampu mengangkat pedangnya menangkis bacokan pedang lawan.

“Trangg…..!”

Pedang di tangan The Sun patah menjadi dua, ujungnya menancap di dadanya sendiri dan gagangnya mencelat entah kemana. The Sun menggulingkan tubuhnya ke depan dan tangan kanannya dikepal melancarkan pukulan sambil menendang. Hebat serangan ini, dan tidak terduga-duga lagi. Siapa bisa menduga orang yang sudah terluka seperti itu masih dapat melakukan serangan begini dahsyat?

“Ihhh…..!”

Ang-hwa Nio-nio berteriak kaget dan marah karena biarpun ia dapat menghindar, namun ujung kaki The Sun menyambar pipinya, dekat hidung. la mencium bau sepatu yang amat tidak enak dan ini dianggap merupakan penghinaan yang melewati takaran.

“Keparat, mampus kau!” bentaknya, pedangnya membacok lagi sekuat tenaga.

“Crakkk!” Lengan kanan The Sun yang menangkis bacokan ini seketika terbabat buntung!

Darah muncrat seperti air pancuran. Akan tetapi The Sun masih melompat bangun, kedua kakinya bergerak seperti kitiran angin melakukan tendangan berantai.

“Wah, gila…..!”

Ang-hwaNio-nio merasa serem juga. The Sun sudah penuh darah, juga pakaiannya ternoda darah yang mancur dari lengannya, akan tetapi tendangannya masih amat berbahaya.

Dengan marah dan penasaran Ang-hwa Nio-nio mengayun pedangnya memapaki kaki yang menendang.

“Crokkk!” kaki kanan The Sun putus sebatas lutut dan tubuhnya terguling.

Namun hebatnya, tidak satu kalipun jagoan ini mengeluarkan suara keluhan. la rebah dengan mata melotot memandang Ang-hwa Nio-a nio, mulutnya tersenyum penuh ejekan.

“Setan kau!”

Ang-hwa Nio-nio menubruk maju dan pedangnya dikerjakan seperti seorang penebang pohon mainkan kapaknya. Terdengar suara crak-crok-crak-crok dan dalam waktu beberapa detik saja tubuh The Sun tercacah hancur! Mengerikan sekali!

Ang-hwa Nio-nio mengangkat mayat Ouwyang Lam dan dibawanya lari pergi. Terdengar lengking tangisnya sepanjang jalan. Mayat The Sun yang sudah tidak karuan lagi bentuknya itu menggeletak diatas tanah di dalam hutan. Sunyi sekali disitu. Tidak ada suara apa-apa kecuali suara burung hutan yang bersembunyi mengintai diatas pohon.

Yang bergerak hanya binatang-binatang hutan yang bersembunyi di dalam gerumbulan, menanti saat untuk menikmati hidangan daging dan darah yang disia-siakan itu. Kematian seorang manusia yang amat mengerikan, juga menyedihkan. Patut dikasihani manusia seperti The Sun itu, sungguhpun kematiannya itu tidaklah mengherankan apabila kita mengingat dan menilai perbuatan-perbuatannya diwaktu dia masih muda. Telah ditumpuknya dosa, dan sekarang agaknya dia harus menebusnya. Sayang, amat terlambat dia insyaf.

DiWaktu muda dahulu, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, dan harta benda membuat dia tekebur. Membuanya sewenang-wenang, seakan-akan tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat melawannya, yang dapat mengadili perbuatan-perbuatannya. la lupa pada waktu itu bahwa diatas segala kekuasaan yang tampak di dunia ini, masih ADA kekuasan tertinggi, kekuasaan Tuhan yang tak terlawan, yang maha adil dan yang takkan membiarkan kejahatan lewat tanpa hukuman.

Setiap perbuatan merupakan sebab dan setiap sebab mempunyai akibat. Nasib di tangan Tuhan? Betul, karena Tuhanlah yang mengatur lancarnya akibat-akibat ini seadil-adilnya maka Maha Adillah DIA.

Nasib di tangan manusia sendiri? Juga betul, karena sesungguhnya, si manusia itu sendirilah yang menjadi sebab daripada akibat yang disebut kemudian sebagai nasib! Perbuatan baik tentu berakibat baik, sebaliknya perbuatan busuk pasti berakibat buruk, maka baik buruknya akibat atau nasib sesungguhnya adalah di tangan si manusia itu sendiri. Jangan terlalu keras ketawa gembira mereka yang berbuat kejahatan tapi belum menerima hukuman dari Tuhan, karena yakinlah, bahwa akibat perbuatanmu pasti tiba! Tuhan Maha Adil!

**** 077 ****





No comments:

Post a Comment