Ads

Saturday, March 2, 2019

Jaka Lola Jilid 079

“Oohhh….. kau bocah kurang ajar!” bentak Hui Kauw setelah mendengar seruan suaminya.

Kemarahan Hui-Kauw bangkit. Kalau anak ini Cui Sian, berarti ia adik tiri Tan Kong Bu dan sungguhpun wajar kalau ia marah atas kematian Kong Bu, akan tetapi tidak seharusnya berlaku begitu nekat dan menuduh mereka tanpa penyelidikan lagi. Apalagi sekarang berani menyerang dan melukai suaminya yang nyata-nyata tidak melawan!

Di lain fihak, Cui Sian yang sudah dikenal, lalu berdiri dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri bertolak pinggang. la seorang gadis yang berpengetahuan dan berpemandangan luas, akan tetapi biarpun demikian, ia tetap seorang wanita yang berperasaan halus, mudah tersinggung sehingga ia bersikap seperti itu karena teringat akan mendiang encinya yang membunuh diri karena Kun Hong ditambah pula kematian kakaknya yang tewas tertikam pedang milik isteri Pendekar Buta.

“Betul, aku Tan Cui Sian! Pendekar Buta dahulu sebelum aku lahir, kau sudah menggoda enciku Cui Bi dengan ketampanan wajahmu, tapi kemudian kau tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan enciku tewas membunuh diri. Sekarang, pedang isterimu membuat kakakku Kong Bu tewas pula, akan tetapi kembali kalian tidak berani mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Apakah ini perbuatan orang gagah? Hayo lawan aku, untuk membereskan perhitungan lama dan baru!”

“Ihhh, sungguh lancang mulutmu!” Hui Kauw berteriak marah sekali.

“Ssttt, sabarlah isteriku, dia masih anak-anak,” kata Kun Hong untuk menyabarkan hati isterinya.

Akan tetapi bagi Cui Sian, ucapannya itu merupakan bensin menyiram api di dadanya. la disebut anak-anak! Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut menyatakan kemarahannya, Pendekar Buta telah mendahuluinya berkata,

“Cui Sian, alangkah sedih hatiku menghadapi kau seperti ini. Teringat aku betapa dahulu, ketika kau masih kecil, berusia lima enam tahun…..”

“Cukup! Tak perlu menggali-gali urusan lama!”

Kun Hong tersenyum,
“Kau yang mulai menggali tadi, anak baik. Kau ketahuilah, apa yang dikatakan isteriku tadi tidak bohong. Pedangnya memang dicuri orang dan kami berdua tidak tahu-menahu tentang kematian kakakmu Kong Bu. Tentu saja berita ini amat mengagetkan dan menyedihkan…..”

“Sudahlah, siapa bisa percaya omongan seorang yang sudah biasa melanggar sumpah sendiri?”

“Apa maksudmu?” Kun Hong membentak, suaranya keren.

“Enciku membunuh diri demi cinta kasih, memperlihatkan kesetiaannya kepadamu, lebih baik mati daripada dijodohkan orang lain. Akan tetapi, belum juga dingin jenazah enciku, kau….. kau sudah menikah dengan perempuan lain. Apakah aku sekarang harus percaya omonganmu?”

“Bocah kurang ajar! Jangan kau menghina dia!”

Hui Kauw berseru marah sekali dan tahu-tahu ia sudah merenggut tongkat suaminya, meloloskan pedang dari dalam tongkat itu, pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang Ang-hong-kiam!

“Hui Kauw, jangan….”.

Kun Hong mencegah, akan tetapi Hui Kauw dengan pedang Ang-ho-kiam di tangan sudah melompat maju menghadapi Cui Sian. Kemarahan hebat membuat sepasang pipinya merah sekali. Pedangnya berkelebat dan dengan cepat ia telah mengirim serangan hebat kepada gadis itu.

“Tranggg!”

Liong-cu-kiam bertemu dengan Ang-ho-kiam, digerakkan oleh dua buah lengan wanita yang memiliki tenaga sakti. Bunyi nyaring itu diikuti bunga api yang muncrat seperti kembang api.






“Bagus!” kata Cui Sian. “Memang Kim-seng-kiam yang menancap didada kakakku adalah pedangmu, maka sudah sepatutnya kau mempertanggung-jawabkan keganasanmu. Ini bukan berarti aku takut kalau kau mengandalkan suaminu Si Pendekar Buta….”

“Tutup mulut! Lihat pedang!”

Hui Kauw membentak lagi sambil memutar pedang dan segulung sinar merah berkelebatan di udara, membentuk lingkaran-lingkaran lebar bergelombang lalu bagaikan seekor naga berwarna merah gulungan sinar pedang itu menyambar kearah kepala Cui Sian. Cepat bukan main sambaran sinar pedang ini, cepat dan anginnya begitu tajam mendesing sehingga ketika Cui Sian menggerakkan kaki menekuk pinggang ke bawah, sinar pedang itu menyambar lewat diatas kepalanya, meninggalkan bunyi “Singgggg.,…!” yang menyeramkan.

Namun Cui Sian sendiri adalah seorang ahli pedang yang sudah tergembleng matang di puncak Thai-san. Tidak percuma kiranya ia menjadi puteri seorang pendekar sakti yang berjuluk Raja Pedang. Ibunya pun seorang ahli pedang, malah puteri tunggal Raja Pedang Tua Cia Hui Gan, pewaris Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang tiada taranya sebelum muncul Tan Beng San dengan Ilmu Pedang Im-yang-sin-kiam yang sebetulnya sesumber dengan Sian-li Kiam-sut. Dengan latar belakang keturunan seperti ini, tentu saja Cui Sian adalah seorang ahli pedang yang sakti, biarpun ia hanya seorang gadis yang berusia dua puluh empat tahun.

Begitu sinar merah yang berdesing itu lewat diatas kepalanya, Cui Sian tidak menanti sampai lawannya menyerangnya kembali. la maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti isteri Pendekar Buta, tidak boleh sekali-kali berlaku sungkan atau menghemat serangan, harus dapat membalas serangan demi serangan, malah sedapat mungkin memperbanyak serangan daripada pertahanan.

Pedangnya digerakkan cepat dan sesosok sinar putih menyilaukan mata, seperti kilatan halilintar, menyelonong dari bawah masuk kearah dada Hui Kauw. Pedangnya tidak hanya berhenti sampai disini karena ujungnya tergetar dan hal ini menyatakan bahwa setiap saat pedangnya ditangkis atau dielakkan lawan, ujung pedang akan dapat melanjutkan serangan dengan jurus lain.

Tangan kiri gadis itu ditarik ke belakang, lurus dan telapak tangannya dibalik menghadap keatas. Indah sekali gerakannya, dengan ujung kaki kanan menotol tanah, tumit diangkat, lutut agak ditekuk ke depan. Inilah gerakan indah seperti gerak tari yang bernama jurus Sian-li-hoan-eng (Sang Dewi Menukar Bayangan), sebuah jurus dari Sian-li Kiam-sut yang mengandung tenaga Im-yang-sin-hoat, maka hebatnya bukan kepalang!

Ketika tadi menyerangkan pedangnya kearah kepala lawan dan dapat dielakkan, otomatis dada Hui Kauw terbuka. Sebagai isteri Pendekar Buta, tentu saja ia maklum akan kedudukan yang lemah ini. Memang setiap penyerang berarti membuka suatu bagian yang tidak terlindung. Akan tetapi kalau sudah menguasai kelemahannya sendiri, tentu saja dapat menjaga diri.

Hui Kauw pernah mewarisi ilmu silat tinggi dari sebuah kitab kuno yang ia temukan, kemudian oleh suaminya, ia dibimbing dan mewarisi beberapa jurus Kim-tiauw-kun yang amat hebat, yang ia gabung dengan ilmu silatnya sendiri sehingga kini memiliki ilmu pedang gabungan yang amat kuat dan dahsyat. Seperti yang ia telah duga, kekosongan yang terbuka dalam posisinya dipergunakan lawan. Melihat sinar pedang putih mengancam dada, pedang ia balikkan ke bawah lengan dan dengan pengerahan tenaga sinkang ia menarik lengan yang ditamengi pedang ini ke bawah.

“Cring…..!”

Kembali sepasang pedang bertemu di udara. Sinar pedang putih yang amat lincah itu begitu kena ditangkis, membalik dan tahu-tahu sudah berubah menjadi sabetan kearah kaki! Inilah kelihaian Sian-li-hoan-eng tadi. Begitu ditangkis dan ditindas dari atas oleh lengan Hui Kauw yang dilindungi pedang dibalik, pedang Liong-cu-kiam terpukul ke bawah, namun pukulan ini malah merupakan landasan tenaga untuk membabat kaki dengan kecepatan kilat!

“Aiiiiihhh…..”

Nyonya Pendekar Buta menjerit lirih dan tahu-tahu kakinya menjejak bumi dan tubuhnya mumbul keatas seperti dilontarkan. Demikian hebat ginkangnya sehingga lebih cepat lompatannya daripada sambaran pedang. Sinar putih itu hanya beberapa senti meter saja lewat di bawah kakinya, nyaris sepasang kaki nyonya ini terbabat buntung!

“Bagus…..!”

Cui San memuji saking kagumnya menyaksikan gerakan yang indah dan cepat ini. Itulah gerakan dari Kim-tiauw-kun yang disebut jurus Sin-tiauw-coan-hong (Rajawali Sakti Terjang Angin). Jurus ini tidak hanya dapat dipergunakan untuk menyelamatkan serangan di tubuh bagian bawah dengan cara melompat lurus keatas dengan jalan menotolkan ujung kaki ke tanah, melambung ke atas sambil mengembangkan kedua lengan seperti sayap rajawali sakti, namun lebih dari itu, jurus ini dapat dipergunakan untuk menyerang lawan dengan cara yang dilakukan seekor rajawali.

Dan hal inipun dilakukan oleh Hui Kauw karena tiba-tiba tubuhnya dari atas telah berjungkir-balik dua kali sehingga tubuh itu mencelat makin tinggi, kemudian turunnya tepat melayang kearah lawan, pedangnya menusuk dada, tangan kiri mencengkeram muka, dan kedua kakinya masih melakukan tendangan udara. Benar-benar seperti rajawali yang menyerang dengan sepasang sayap dan sepasang cakarnya!

Kagetlah Cui Sian melihat perubahan Ini. la tadinya agak terpesona oleh keindahan gerakan lawan, tidak tahu bahwa di dalam keindahan itu tersembunyi bahaya maut yang kini mengancamnya! la sadar akan kehebatan penyerangan ini setelah lawan tiba dekat sekali, bahkan angin pedang yang bersinar rnerah itu sudah lebih dahulu meniup.

“Hayaaaaah!”

Cui Sian berseru, pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih melingkar di depan dada menangkis sinar pedang merah, kemudian menggunakan tenaga benturan ini dia membanting tubuhnya ke belakang.

Orang lain tentu akan celaka kalau melakukan gerakan ini. Sedikitnya, kepala akan terbanting kepada tanah atau batu di belakangnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Cui Sian. Gerakan inilah yang disebut jurus Sian-li-loh-be (Gerakan Membalik Seorang Dewi) yang selain menegangkan, juga amat indah karena digerakkan oleh tubuh yang ramping, manis dan lemah-gemulai.

Biarpun tadinya kepala yang berambut hitam panjang halus harum itu seperti terbanting ke belakang dan ke bawah, namun bukan menghantam tanah di belakang, melainkan terayun terus ke bawah seiring dengan terangkatnya kedua kaki ke depan dan ke atas, terus tubuh itu membuat salto sampai tiga kali ke belakang! Membuat salto ke depan adalah mudah dan agaknya dapat dilakukan oleh siapa saja yang mau melatihnya. Akan tetapi membuat salto ke belakang berturut-turut tiga kali tanpa ancang-ancang dan dalam keadaan terjepit seperti itu, kiranya hanya dapat dilakukan oleh akrobat-akrobat tingkat tinggi saja!

Diam-diam Hui Kauw kaget dan kagum. Serangannya tadi dengan jurus Sin-tiauw-coan-hong tadi amatlah hebat dan jarang sekali tak membawa hasil baik karena serangan itu selain tidak terduga-duga datangnya, juga amat sukar ditangkis atau dielakkan karena sekaligus kedua tangan dan kedua kakinya menyerang.

Akan tetapi ketika gadis itu tubuhnya berputar-putar seperti kitiran angin ke belakang menjauhinya, otomatis serangannya gagal mutlak, karena tubuhnya yang melayang dari atas tak mungkin dapat “terbang” mengikuti gerakan lawan. Terpaksa ia turun kembali ke atas tanah dan pada saat kedua kakinya menginjak tanah, lawannya yang muda belia itu sudah berdiri pula dengan tegak.

Kini mereka berdiri agak berjauhan karena gerakan salto Cui Sian tadi. Jarak diantara mereka ada lima meter. Masing-masing berdiri dengan pedang di tangan, melintang depan dada. Kedua kaki agak terpentang, tangan kiri di atas pinggul kiri, bibir agak terbuka dan napas sedikit memburu karena pengerahan tenaga sinkang tadi dicampur ketegangan, sepasang mata menyinarkan api berkilat-kilat, sepasang pipi merah jambu.

Bagaikan dua ekor singa betina mereka saling pandang, seakan-akan hendak menaksir kekuatan lawan sambil mengasah otak untuk mengeluarkan jurus-jurus pilihan agar dapat segera merobohkan lawan yang tangguh.

Sejak tadi, kerut-merut diantara kedua mata Kun Hong tampak nyata, napasnya agak terengah dan beberapa kali dia membanting kaki kiri keatas tanah. Bingung sekali dia. la maklum bahwa diantara mereka terjadi kesalah-fahaman yang amat besar dan amat berbahaya, akan tetapi bagaimana ia dapat mencegah mereka bertanding? Keduanya telah tersinggung perasaan dan kehormatan, masing-masing membela kebenaran sendiri dan satu-satunya jalan untuk menghentikan salah faham ini hanya mengemukakan fakta-fakta.

Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak mungkin dia dapat memperlihatkan bukti untuk membuka tabir rahasia ini. Kong Bu terbunuh orang, pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya. Tentu saja adiknya ini, Cui Sian, menjadi marah dan menuduh mereka berdua yang melakukan pembunuhan itu.

“Hui Kauw…… Cui Sian….. hentikanlah pertempuran yang tiada gunanya ini…… dengarkan aku…..”

Akan tetapi dia melanjutkan kata-katanya dengan elahan napas panjang karena pada saat itu kedua orang singa betina itu sudah saling terjang lagi dengan lebih hebat daripada tadi.






No comments:

Post a Comment