Ads

Saturday, March 2, 2019

Jaka Lola Jilid 078

Kuil tua di kota Kong-goan makin sunyi keadaannya. Semenjak kuil tua itu dijadikan semacam markas oleh Ang-hwa Nio-nio dan sekutunya, penduduk menganggap tempat itu sebagai tempat terlarang, tempat yang seram dan berbahaya sehingga kuil ini seakan-akan terasing. Apalagi di waktu malam, tidak ada orang berani lewat dekat kuit ini. Malah banyak penduduk Kong-goan yang menganggap kuil itu sebagai tempat yang angker, sebagai rumah setan!

Hal ini tidaklah aneh kalau mereka pernah melihat berkelebatnya bayangan yang dapat “menghilang” dan kadang-kadang dapat “terbang” keatas genteng, sering pula melihat cahaya berkelebatan di atas kuil.

Akan tetapi pada malam hari itu, dua sosok bayangan orang dengan langkah perlahan dan tenang menghampiri kuil tua ini, tanpa ragu-ragu memasuki pekarangan kuil yang gelap. Mereka ini bukan lain adalah suami isteri sakti dari Liong-thouw-san, Pendekar Buta dan isterinya!

“Sunyi sekali, agaknya kosong,” kata Hui Kauw setelah meneliti keadaan sekeliling tempat itu dengan pandang matanya.

“Memang kosong,” kata Kun Hong yang juga meneliti keadaan dengan pendengarannya, “Akan tetapi mungkin nanti atau besok mereka akan kembali. Tempat ini belum lama ditinggalkan orang, hawa manusia masih bergantung tebal di ruangan ini.”

Setelah melakukah pemeriksaan dan yakin bahwa kuil tua itu tidak ada penghuninya, Kun Hong dan Hui Kauw lalu duduk bersila di ruangan belakang yang lantainya bersih. Mereka melewatkan malam di tempat itu, sambil menanti dan bersikap waspada. Di tempat inilah Kong Bu melihat putera mereka yang didakwa melakukan perbuatan jahat terhadap Lee Si, puteri pendekar Min-san itu. Dengan demikian berarti bahwa putera mereka itu kena fitnah di tempat ini, dan dengan hati penuh kekhawatiran mereka menduga-duga apakah yang telah terjadi disini dan siapa gerangan yang melakukan perbuatan curang mengadu domba itu.

Akan tetapi malam itu tidak terjadi apa-apa. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali terdengar langkah-langkah kaki diluar kuil tua. Kun Hong dan isterinya tentu saja mendengar suara ini dan mereka sudah siap sedia mengnadapi segala kemungkinan. Mereka bangkit berdiri dan tanpa kata-kata keduanya seperti sudah bermufakat, berjalan perlahan keluar menuju ke ruangan depan untuk menyambut datangnya musuh.

Setelah mereka tiba diluar, Hui Kauw melihat seorang gadis cantik dan gagah berdiri dengan tegak dan pandang mata marah.

“Siapakah dia?” bisik Kun Hong kepada isterinya.

Hui Kauw memandang penuh selidik, mengingat-ingat dimana dan bilamana ia pernah melihat wajah cantik yang serasa amat dikenalnya ini. Gadis itu balas memandang kepadanya penuh selidik pula. Dua orang wanita ini saling pandang, agaknya masing-masing menanti ditegur terlebih dulu. Melihat betapa sikap gadis itu seakan-akan menahan kemarahan besar, Hui Kauw mengalah dan menegur lebih dulu,

“Nona, siapa kau dan siapa yang kau cari di tempat ini?”

Hui Kauw bertanya hati-hati karena ia belum tahu apakah gadis ini termasuk sekutu fihak lawan ataukah bukan.

“Kalian ini bukanlah Pendekar Buta dan isterinya?”

Gadis itu balas bertanya. Hui Kauw dapat menduga bahwa gadis ini pada dasarnya memiliki suara yang halus dan sopan, akan tetapi karena sedang marah maka terdengar ketus.

“Kalau betul demikian, kenapa?” balas bertanya, sabar dan tersenyum.

“Sudah kuduga,” Gadis itu berkata perlahan seperti diri sendiri, “Sepasang suami isteri yang sakti, berilmu tinggi dan menganggap di dunia ini mereka yang paling pandai…..”

“Eh, kau siapakah dan apa sebabnya bicara begitu?”

Kun Hong bertanya, keningnya berkerut karena pendengarannya tadi menangkap keperihan hati yang sakit dan penuh dendam.

Namun gadis itu tidak menjawab, melainkan bertanya lagi kepada Hui Kauw sambil memandang tajam,

“Bibi yang gagah perkasa, bolehkah aku bertanya dimana kau menyimpan pedangmu Kim-seng-kiam?”






Berubah wajah Hui Kauw dan Kun Hong mendengar ini. Bangkit kemarahan dihati Hui Kauw. Pedangnya lenyap dicuri orang, pencurinya hanya tampak bayangannya saja yang bertubuh ramping dan tak seorangpun tahu akan kejadian itu. Gadis ini bertubuh ramping dan tahu akan pedangnya yang hilang. Tentu gadis ini yang mencurinya, atau setidaknya tahu akan pencurian pedang itu. Mudah saja menduganya, seperti dua kali dua empat!

“Eh, bocah nakal! Kiranya kau yang mencuri pedangku? Hayo katakan, dimana sekarang kau sembunyikan pedangku itu dan apa sebabnya kau mencurinya?”

la melangkah maju dua tindak menghadapi gadis itu. Kun Hong tetap berdiri, telinganya mengitari segala gerakan dan suara.

“Hemmm, tidak kukira, isteri Pendekar Buta yang sakti itu pandai pula berpura-pura. Siapa berani dan dapat mencuri pedang dari tangan isteri Pendekar Buta? Lebih baik berterus terang, pedang itu tertinggal diatas dada ketua Min-san-pai. Kalian mengandalkan kepandaian sendiri membunuh Tan Kong Bu dengan pedang Kim-seng-kiam, apakah sekarang masih berpura-pura lagi?”

Kun Hong menahan seruannya, kerut-merut diantara kedua matanya yang buta menjadi makln dalam.

“Kong Bu terbunuh dengan Kim-seng-kiam? Ah….. kau siapakah, Nona? Dan apakah yang kau kehendaki setelah kau menceritakan itu kepada kami?”

“Lebih dulu kalian mengakulah bahwa kalian yang membunuh Tan Kong Bu. Orang yang berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya barulah orang gagah, dan hanya kepada orang gagah aku mau memperkenalkan diri. Kalau kalian menyangkal padahal pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya, berarti kalian biarpun terkenal sakti ternyata hanyalah pengecut dan aku tidak sudi banyak bicara lagi, karena pedangku yang akan mewakili aku bicara!”

Hui Kauw tidak dapat menahan sabarnya lagi. la melangkah maju lagi beberapa tindak sehingga kini ia berhadapan dengan gadis itu. Sepasang matanya yang bening memandang tajam seakan-akan berkilat, alisnya saling berdekatan, urat lehernya menegang.

“Bocah lancang! Besar mulutmu! Kami tidak pernah mengagulkan diri sebagai orang-orang sakti dan gagah, akan tetapi kami juga tidak sudi dimaki pengecut! Pedang Kim-seng-kiam memang pedangku, mau tahu namaku ataukah sudah mengenalku? Aku Kwee Hui Kauw. Pedangku itu beberapa hari yang lalu lenyap dicuri orang. Hal ini tidak ada yang tahu, kecuali aku, suamiku, dan si pencuri. Sekarang kau muncul dan bicara tentang ini, siapa lagi orangnya kalau bukan kau yang mencuri pedangku? Dan sekarang setelah kau menggunakan pedang itu untuk membunuh Kong Bu, kau datang kesini menuduh kami? Keparat, kiranya kau ini biang keladi semua urusan!” Setelah berkata demikian Hui Kauw menerjang ke depan, menyerang gadis itu.

Gadis itu bukan lain adalah Tan Cui Sian. Melihat datangnya serangan, ia cepat mengelak dan meloncat kekiri.

“Singgg!!”

Pedang Liong-cu-kiam telah dicabutnya. Pedang ini mengeluarkan sinar berkilat yang menyilaukan mata sehingga Hui Kauw yang dapat mengenal pedang pusaka yang ampuh, ragu-ragu untuk menyerang lagi dengan tangan kosong, apalagi tadi ia melihat betapa gerakan gadis itu amat ringan dan gesit.

“Huh, ganas!” bentak Cui Sian. “Tak kusangka Pendekar Buta dan isterinya hanya begini! Mengandalkan diri dan kepandaian sendiri untuk menjagoi dan membunuh orang. Aku tahu, tentu Tan Kong Bu ketika bertemu dengan kalian telah menuduh bahwa putera kalian menghina puterinya sehingga terjadi percekcokan dan pertempuran. Akan tetapi kalau kalian membunuhnya, hal ini keterlaluan sekali dan aku tidak akan mendiamkannya begitu saja. Hayo, Pendekar Buta, majulah! Kwee Hui Kauw, karena pedangmu sudah kau tinggalkan menancap di dada Tan Kong Bu, kau boleh mencari lain senjata menghadapiku!”

Bukan main heran dan kagetnya hati Pendekar Buta dan isterinya mendengar ucapan ini. Bagaimana gadis ini tahu akan urusan Kwa Swan Bu dan Lee Si? Dan tahu pula bahwa Kong Bu telah bentrok dengan mereka berdua? Siapakah gadis ini?

Perlu diketahui bahwa Hui Kauw belum pernah bertemu dengan Cui Sian, dan Kun Hong pun tak pernah bertemu semenjak Cui Sian berusia lima tahun. Ketika Swan Bu dalam usia belasan tahun pergi ke Thai-san, dia ditemani kakeknya, Kwa Tin Siong.

“Kau….. kau anak Kong Bu?” Hui Kauw bertanya.

Cui Sian tersenyum mengejek. Gadis ini tidak mau memperkenalkan namanya, karena kalau ia melakukan hal ini, agaknya akan sukar baginya untuk bersikap seperti ini. Untuk dapat membalas kematian kakaknya, ia harus bersikap kasar dan bermusuhan. Melihat betapa tadi Hui Kauw telah menyerangnya, ia makin merasa yakin bahwa Kong Bu tentu tewas di tangan nyonya ini, dan agaknya dibantu oleh Pendekar Buta karena ia menaksir bahwa kepandaian kakaknya itu tidak kalah oleh kepandaian Kwee Hui Kauw.

“Tidak peduli aku siapa, kematian Tan Kong Bu tak boleh kudiamkan saja. Pendekar Buta, kau terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti. Awas, pedangku menyerangmu!”

Dengan gerakan kilat Cui Sian menerjang Pendekar Buta dengan pedang Liong-cu-kiam!

Gadis ini semenjak kecil tak pernah lagi bertemu dengan Pendekar Buta akan tetapi ia sudah mendengar banyak sekali tentang Kun Hong. Mendengar betapa ayahnya memuji-muji kepandaiannya dan mendengar pula dari ibunya betapa Kwa Kun Hong menjadi buta karena urusan cinta kasih dengan mendiang encinya yang bernama Tan Cui Bi dan yang tak pernah ia lihat (baca Rajawali Emas).

Mendengar cerita tentang kematian encinya yang membunuh diri, diam-diam Cui Sian sudah mempunyai rasa tak senang kepada Pendekar Buta, karena ia menganggap bahwa kematian encinya itu adalah gara-gara Kwa Kun Hong. Apalagi setelah mendengar bahwa Kwa Kun Hong tidak setia kepada encinya yang sudah mengorbankan nyawa demi cinta kasihnya, yaitu bahwa Kun Hong telah menikah, maka diam-diam iapun merasa cemburu demi encinya, kepada Kwee Hui Kauw.

Puji-pujian ayahnya tentang kelihaian Pendekar Buta telah membangkitkan juga penasaran di hatinya dan ia dahulu sering kali melamunkan untuk mengadu kepandaian dengan Pendekar Buta yang telah menyebabkan encinya membunuh diri dan yang dipuji-puji setinggi langit oleh ayahnya.

“Singgg…..!”

Pedang Liong-cu-kiam mengeluarkan suara mendesing ketika digerakkan oleh tangan kanan Cui Sian yang terlatih dan yang gerakannya mengandung tenaga sinkang murni, ketika berubah menjadi seberkas sinar kilat meluncur cepat kearah leher Pendekar Buta!

Biarpun kedua matanya buta, namun sebagai pengganti kekurangan ini, telinga Pendekar Buta amatlah tajam pendengarannya, sehingga dengan pendengarannya dia dapat mengikuti gerakan Cui Sian dengan pedangnya. Alangkah heran dan kaget hati Kun Hong ketika telinganya menangkap gerakan yang jelas sekali dari Im-yang-sin-kiam murni!

Siapa yang dapat mainkan Im-yang-sin-kiam begini indah dan murni kecuali dia sendiri, dan tentu saja, Raja Pedang Tan Beng San? la mendiamkan saja tusukan pedang kearah lehernya ini, tidak ditangkis tidak dielakkannya. la tahu bahwa gadis ini menusuknya dengari jurus Sian-li-cui-siauw (Dewi Meniup Suling), sebuah jurus yang tergolong Im-sin-kiam mempunyai sebutan yang sifatnya “Im” sedangkan sian-li atau dewi termasuk wanita maka banyak dipakai untuk jurus-jurus Irn-sin-kiam. Sebaliknya, dalam Yang-sin-kiam banyak dipergunakan sebutan yang sifatnya “Yang”.

Kun Hong yang telah mewarisi ilmu pedang sakti ini dari Raja Pedang, tentu saja tahu akan perubahan-perubahannya dan dia tahu pula bahwa tusukan kearah leher ini, biarpun ujung pedangnya sudah menyentuh kulit leher lawan, dapat saja dibelokkan kalau memang si penyerang tidak ingin membunuh lawannya. Oleh karena ini maka dia sengaja tidak mengeiak atau menangkis, tentu saja siap untuk menghancurkan lawan kalau serangan ini diteruskan.

Dugaannya tepat. Ketika Cui Sian melihat betapa orang buta itu sama sekali tidak menangkis maupun mengelak sehingga pedangnya meluncur terus mengarah leher, ia menjerit tertahan dan cepat ia menggerakkan pergelangan tangannya mengubah arah pedang.

Namun karena ia sedang marah, gerakan serangannya tadi hebat sekali, apalagi ia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Inilah yang membuat ia kurang cepat mengubah arah pedang sehingga ujung pedangnya masih menyambar pundak kiri Kun Hong sehingga robeklah baju di pundak berikut kulit dan sedikit daging sehingga darah bercucuran dari luka di pundak.

“Kau….. Cui Sian…..” Kun Hong seakan-akan tidak merasai perihnya luka di pundak.






No comments:

Post a Comment