Ads

Saturday, March 2, 2019

Jaka Lola Jilid 076

“Siu Bi, kau tahu bahwa aku mencintamu, dan takkan ada kebahagiaan yang lebih besar daripada selalu berada di sampingmu selama hidupku. Akan tetapi agaknya hal ini hanya lamunan kosong….. karena….. apapun yang terjadi, apalagi setelah paman Kong Bu tewas…… agaknya jalan satu-satunya bagiku hanya….. mengawini Lee Si.”

“Apa…..?” Siu Bi merenggutkan dirinya dan memandang dengan mata terbelalak.

Swan Bu menunduk sedih, tidak tahan menatap pandang mata yang penuh keperihan hati itu. Menarik napas panjang lagi lalu berkata,

“Siu Bi, kau sendiri mengerti betapa tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio menimbulkan kejadian yang amat hebat. Ayah Lee Si, yaitu paman Kong Bu, marah sekali dan tentu saja marah kepadaku dan kepada orang tuaku. Dan tadi….. aku mendapatkan paman Kong Bu telah tewas, terbunuh orang di dalam hutan. Peristiwa di Kong-goan ini akan merusak nama Lee Si untuk selamanya, kecuali kalau….. kalau aku….. mengawininya. Hanya itu jalan satu-satunya, dan demi menjaga kerukunan kedua keluarga, demi mencuci bersih nama Lee Si yang tidak berdosa, agaknya….. agaknya….. jalan itulah satu-satunya…..'”

“Swan Bu….. tapi kau….. kau cinta padaku kan?”

“Aku cinta padamu, Siu Bi.”

Siu Bi menubruk dan memeluknya lagi.
“Cukup bagiku. Kau boleh mengawininya, kalau itu kau anggap penting. Bagiku, asal kau cinta padaku, asal aku boleh menebus dosaku kepadamu dengan jiwa ragaku, asal…..”

Tiba-tiba Siu Bi bangun, juga Swan Bu bangkit berdiri. Keduanya sudah mencabut pedang dan memandang kearah seorang pemuda yang jalan mendatangi, pemuda yang bukan lain adalah Ouwyang Lam!

Ouwyang Lam memandang sambil tersenyum kepada Siu Bi, kemudian dia memandang Swan Bu, kearah lengannya yang buntung, dan tertawalah dia,

“Ha-ha-ha, Bi-moi-moi, agaknya kau sudah berhasil dalam usahamu membalas dendam. Ha-ha-ha, kalau anjing buntung ekornya hanya kelihatan tidak pantas, tapi kalau manusia buntung tangannya, benar-benar canggung sekali! Eh, Kwa Swan Bu, ayahmu buta dan kau anaknya buntung, cocok sekali. Tolong tanya, dengan tangan kirimu buntung, kalau kau ada keperluan di belakang, apakah kau menggunakan tangan kananmu pula? Ha- ha-ha-ha-ha!”

Sampai pucat sekali muka Swan Bu mendengar penghinaan ini, akan tetapi kemarahannya ini amat merugikan, karena kepalanya menjadi pening sekali dan tubuhnya yang sudah lemas itu malah gemetar karenanya.

“Tutup mulutmu yang kotor!” Siu Bi membentak sambil melompat ke depan menghadapi Ouwyang Lam.

Pemuda Ching-coa-to ini terkejut sekali, memandang dengan mata terbelalak.
“Eh, eh, eh, Moi-moi…..”

“Aku bukan moi-moimu! Cih, tak tahu malu! Ouwyang Lam manusia rendah, ketahuilah bahwa dibandingkan dengan Swan Bu, kau hanya patut menjadi sepatunya! Maka tak boleh kau menghinanya dan lekas pergi dari sini kalau tidak ingin mampus di tanganku!”

Saking heran dan bingungnya, Ouw-yang Lam hanya berdiri melongo. Mukanya yang berkulit putih menjadi merah sekali, mulutnya yang biasanya pandai bicara, sukar mengeluarkan kata-kata saking kaget dan herannya.

“Siu Bi….. apa artinya ini…..?”

“Artinya, tutup mulutmu yang busuk dan lekas enyah kau dari sini!”

Ouwyang Lam mulai marah. la memang tergila-gila kepada gadis cantik ini, tergila-gila akan kecantikannya sesuai dengan wataknya yang mata keranjang, akan tetapi kalau gadis ini mulai menghinanya, tentu saja timbul kebenciannya.

“Tapi….. kenapa kau membelanya? bukankah kau membuntungi lengan…..”

“Bukan urusanmu! Lekas pergi!”






Ouwyang Lam adalah seorang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, tentu saja timbul kemarahannya dan dia mengangkat dadanya yang bidang. Biarpun tubuhnya agak pendek, tapi dadanya bidang dan tegap.

“Siu Bi, aku menantang Swan Bu, jangan turut campur! Ataukah putera Pendekar Buta ini sekarang telah menjadi seorang pengecut nomor satu di dunia sehingga dia menyembunyikan diri di belakang pantat wanita?”

“Ouwyang Lam keparat, kotor mulutmu…..” Siu Bi menggerakkan pedangnya.

“Siu Bi, tunggu dulu!”

Suara Swan Bu ini menahan Siu Bi yang menarik pedangnya kembali dan menoleh kepada kekasihnya itu.

“Siu Bi, aku bukan pengecut dan biarpun tidak kau bantu, aku masih takkan mundur menghadapi tantangan siapapun juga!” la melangkah maju menghadapi Ouwyang Lam lalu tersenyum mengejek. “Ouwyang Lam, setelah melihat keadaanku terluka, kau berani membuka mulut besar, ya? Hmmm, kau benar-benar gagah sekarang. Majulah!”

Ouwyang Lam tertawa mengejek. Pemuda ini memang cerdik sekali. Sekilas pandang dia maklum bahwa lengan Swan Bu yang baru saja buntung membuat pemuda itu lemah dan menderita, maka tentu saja dia berani menantang dan sengaja dia membangkitkan kemarahan Swan Bu agar lawannya ini melarang Siu Bi membantunya. Sekarang dengan pedang terhunus, Ouwyang Lam menyerbu, menggeser kaki dengan langkah-langkah pendek seperti harimau kelaparan, pedangnya dimainkan dengan Ilmu Pedang Hui-seng-kiam yang lihai, mulutnya berseru,

“Lihat serangan!”

Swan Bu bersikap tenang sekali bahwa keadaannya sebetulnya tidak membenarkan untuk melayani pertandingan, apalagi menghadapi lawan berat, akan tetapi, sebagai seorang berjiwa pendekar, lebih baik menantang maut daripada mandah dicap pengecut!

Melihat gerakan pedang Ouwyang Lam menyambar ganas dan mengeluarkan suara bersuitan, dia mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya, menanti sampai pedang lawan mendekat, lalu tiba-tiba dia menghantamkan pedang ibunya menangkis dengan harapan akan dapat mematahkan pedang lawan dalam segebrakan.

Ouwyang Lam terkejut, tak sempat menarik kembali pedangnya, terpaksa dia mengerahkan tenaga pula dan membiarkan pedangnya bertemu dengan pedang Swan Bu yang bersinar keemasan.

“Cringgg…..!”

Bunga api memancar kearah muka kedua orang muda itu sehingga mereka menjadi silau. Ouwyang Lam merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi Swan Bu yang tenaganya lemah karena lukanya, juga terhuyung mundur. Kagetlah dia melihat betapa pedang pendek pemuda tampan itu tidak patah, malah kini Ouwyang Lam sudah menerjang lagi dengan ganas, sepasang matanya kemerahan, mulutnya yang menyeringai mengeluarkan suara mendesis, wajahnya diliputi bayangan kejam dan buas.

Swan Bu harus berloncatan kesana-sini sambil memutar pedangnya menangkis, akan tetapi makin lama pandang matanya makin kabur, kepalanya pening dan lengan kirinya yang terluka terasa panas dan nyeri,

“Sraaattttt…..!”

Pundak kanan Swan Bu tergores ujung pedang! Baiknya dia masih sempat menggulingkan diri sehingga pedang di tangan Ouwyang Lam tidak membabat buntung pundak kanannya itu. Dengan gerakan terlatih Swan Bu bergulingan, mengelak dari bacokan-bacokan pedang Ouwyarig Lam yang tidak mau memberi kesempatan lagi.

Tiga kali bacokan pedangnya mengenai tanah dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tubuh yang bergulingan cepat itu telah meloncat berdiri lalu Swan Bu sudah siap dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Akan tetapi melihat betapa keningnya berkerut-kerut, keringat membasahi mukanya yang pucat, jelas bahwa pemuda itu menderita sekali, malah matanya beberapa kali dimeramkan.

“Ha-ha-ha, Swan Bu. Lebih baik kau membuang pedangmu dan menyerah kalah, aku sudah puas. Takkan kubunuh engkau asal mengaku kalah, ha-ha-ha!”

Memang pandai sekali Ouwyang Lam. Melihat lawannya sudah payah, dia sudah mendahului dengan ejekan ini untuk memancing kemarahan.

“Tidak sudi!” jawab Swan Bu, tepat seperti yang diharapkan Ouwyang Lam. “Lebih baik mati daripada menyerah. Ouwyang Lam manusia sombong, jangan kira kau akan dapat mengalahkan aku. Majulah!”

“Swan Bu…..! Mundurlah dan biarkan aku memberi hajaran kepada anjing busuk ini!”

Siu Bi berseru, pedang di tangannya sudah gatal-gatal hendak menerjang Ouwyang Lam. Hatinya sudah gelisah tadi melihat pundak kekasihnya tergores pedang sehingga kini mengucurkan darah membasahi bajunya. Tentu saja ia tidak mau turun tangan sebelum Swan Bu mundur, karena betapapun juga, di lubuk hati Siu Bi tersimpan sifat gagah dan ia merasa malu kalau harus mengeroyok, apalagi ia maklum bahwa tingkat ilmu kepandaian Swan Bu amatlah tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Ouwyang Lam atau dia sendiri.

“Tidak, Siu Bi, aku masih kuat menghadapi kesombongannya!” kata Swan Bu.

Ucapan Swan Bu ini tidak bohong, juga bukan bual belaka. Sebagai putera tunggal Pendekar Buta yang sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Sekarang kepalanya sudah pening, pandang matanya kabur dan tubuhnya lemas seakan-akan tidak bertenaga lagi, akan tetapi kepandaiannya masih ada.

Maklum bahwa dia tidak akan dapat menghadapi lawan dengan tenaga, Swan Bu segera mengubah gerakannya, kini tahu-tahu dia telah terhuyung-huyung, jongkok berdiri, berloncatan dan kadang-kadang seperti orang menari, kadang-kadang seperti orang mabuk. Sama sekali dia tidak perlu mempergunakan tenaga dalam ilmu langkah ajaib ini, akan tetapi hasilnya, semua serangan Ouwyang Lam mengenai angin kosong!

Makin cepat, Ouwyang Lam yang penasaran dan marah ini menghujankan serangannya, makin aneh gerakan Swan Bu, kadang-kadang ada kalanya dia merebahkan diri sehingga Siu Bi hampir menjerit ketika Ouwyang Lam menubruk tubuh yang rebah itu dengan tikaman maut.

Akan tetapi di lain detik tubuh yang rebah itu sudah bergulingan dan berdiri lagi, enak-enakan menari aneh. Andaikata Swan Bu tidak demikian lelah dan lemahnya, satu dua kali balasan serangannya tentu akan merobohkan Ouwyang Lam. Akan tetapi Swan Bu sudah terlalu lemah sehingga dia hanya mampu menghindarkan diri daripada serangan lawan tanpa mampu membalasnya.

Karena tenaganya makin lemah, gerakannya mulai kurang gesit dan dia mulai terdesak. Empat penjuru angin telah dikuasai oleh sinar pedang Ouwyang Lam, tidak ada jalan lari lagi bagi Swan Bu kecuali menggunakan ilmu langkah ajaibnya untuk menghindar dari setiap tusukan atau bacokan, akan tetapi serangan hanya serambut saja selisihnya! Siu Bi mulai kecut hatinya, gelisah bukan main dan ia sudah mengambil keputusan untuk nekat menerjarg maju ketika tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang.

“Keparat, mundur kau!” bayangan itu berseru keras.

“Cringgg…..! Crakkk!”

Siu Bi menjerit ketika melihat betapa bayangan itu dalam menangkis pedang Ouwyang Lam, telah kalah tenaga, pedangnya terlepas dan pedang Ouwyang Lam membacok dadanya! Siu Bi mengenal orang itu yang bukan lain adalah The Sun!

Dengan jerit tertahan Siu Bi menerjang maju karena Swan Bu juga sudah terhuyung-huyung kelelahan, pedangnya berkelebat mengirim tusukan dibarengi tangan kirinya mengirim pukulan Hek-in-kang!

Bukan main hebatnya serangan Siu Bi yang dilakukan dengan penuh kemarahan ini. la mempergunakan jurus-jurus lihai dari Cui-beng Kiam-hoat dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kirinya mengeluarkan uap hitam.

Ouwyang Lam yang tertawa-tawa bergelak-gelak karena girangnya dan sombongnya itu mana mampu menghadapi serangan yang tak diduga-duganya ini? la terkejut sekali dan berusaha menangkis, namun terlambat. Pukulan Hek-in-kang telah membuat dadanya serasa meledak dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, pedang Cui-beng-kiam telah dua kali memasuki lambung dan dadanya, membuat dia terkulai dan roboh tak bernyawa lagi.

“Ayah…..!”

Siu Bi menubruk The Sun yang terengah-engah, dengan tangan kanannya meraba luka di dadanya yang mengeluarkan banyak darah.

The Sun yang duduk itu tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar, wajahnya yang pucat berserii penuh bahagia.

“Ah, anakku….. anakku….. Siu Bi, kau menyebut apa tadi…..?”






No comments:

Post a Comment