Ads

Friday, March 1, 2019

Jaka Lola Jilid 075

Melihat penyerangan yang luar biasa ganasnya ini Kong Bu mengeluarkan suara melengking tinggi dari kerongkongannya. Inilah pengerahan sinkang yang istimewa, disertai suara melengking, sebuah ilmu kesaktian yang dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung!

Bunyi lengking tinggi ini selain menambah daya pemusatan sinkang, juga mengandung tenaga yang menggetarkan jantung lawan. Sambil melengking-lengking Kong Bu menggerakkan pedangnya yang menerobos diantara bayangan ujung tongkat. Terdengar suara keras ketika tongkat di tangan Ang Mo-ko patah-patah menjadi lima potong dan disusul pekik mengerikan karena tanpa dapat dielakkan lagi oleh Ang Mo-ko, pedang di tangan Kong Bu sudah menancap tenggorokannya sampai tembus dan sekali Kong Bu merenggut ke kanan, leher itu hampir putus!

Tubuh Ang Mo-ko roboh miring, kepala yang lehernya hampir putus tertindih paha, darah menyembur-nyembur dan kaki tangan berkelojotan, kaku kejang seakan-akan tubuh yang rusak lehernya oleh pedang itu masih tak tega berpisahan dengan nyawa!

“Keparat, terimalah pukulanku!” terdengar bentakan dari belakang Kong Bu disusul suara “kok-kok-kok!” seperti tadi.

Kong Bu maklum bahwa kakek pendek itu sekarang mendapat kesempatan melancarkan pukulannya yang aneh dan mujijat. Cepat dia memutar tubuhnya, berusaha mengelak sambil mengerahkan sinkang di kedua lengannya, mendorong kedepan untuk menahan gelombang serangan tenaga yang tidak tampak.

Nampak pukulan Katak Sakti dari Bo Wi Sianjin ini bukan main hebat dan kuatnya. Kong Bu merasa betapa tubuhnya seperti ditembus angin taufan yang tak tertahankan, dorongannya membalik dan tubuhnya melayang seperti layang-layang putus talinya! Pada saat itu, pedang Ang-hwa Nio-nio meluncur dan membabat pinggangnya.

Baiknya Kong Bu adalah seorang jagoan yang sudah matang kepandaiannya, maka biarpun tubuhnya melayang di udara, dia cepat dapat menguasai dirinya lagi sehingga melihat sinar pedang berkelebat mengancam pinggang, dia masih dapat menggerakkan pedangnya sekuat tenaga menangkis.

“Tranggggg…..!!”

Tubuh Kong Bu melompat sambil berjungkir-balik, membuat salto sampai tiga kali sebelum kedua kakinya menginjak bumi. Akan teiapi kagetlah dia ketika melihat bahwa pedangnya telah patah di dekat gagangnya. Dengan hati geram dia membanting gagang pedang, lalu melolos sarung pedang yang dipegang di tangan kanannya, juga melepaskan ikat pinggang yang terbuat daripada sutera kuning. Biarpun tidak sehebat pedangnya yang patah, namun dengan sarung pedang dan ikat pinggang di tangan, Kong Bu masih merupakan lawan yang amat tangguh!

Kembali Ang-hwa Nio-nio menyerang, kali ini nenek itu memperlihatkan gin-kangnya. Sekali kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya melayang seperti terbang kearah Kong Bu, pedangnya diputar-putar di depannya, berubah menjadi segulung sinar bundar, diiringi suara seruannya yang nyaring, Kong Bu maklum akan keampuhan pedang di tangan nenek itu, pedang yang mengeluarkan sinar keemasan. la maklum pula bahwa kalau dia menangkis dengan sarung pedang, tentu senjatanya ini akan terbabat putus, maka dia lalu membentak keras, ikat pinggangnya di tangan kiri bergerak seperti seekor ular menyambar, ujungnya menyambut pedang lawan dengan maksud melibat pedang atau lengan yang memegang pedang.

Namun Ang-hwa Nio-nio juga bukan seorang ahli silat sembarangan. Tak mau ia mengadu pedangnya dengan benda lemas itu. la menarik pedangnya, turun keatas tanah lalu mengubah serangannya, menusuk dan membabat bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya.

Kong Bu melengking keras ketika dari belakang terdengar suara “kok-kok-kok”, pukulan mujijat dari Bo Wi Sianjin. Terpaksa dia menghindar kekiri, akan tetapi disini dia disambut oleh tusukan pedang yang dapat ditangkisnya dari samping dengan sarung pedang.

Ikat pinggangnya dikelebatkan ke belakang menyerang kaki Bo Wi Sianjim. Serangan ini kelihatannya sepele, akan tetapi kiranya akan celakalah kakek pendek itu kalau kakinya sampai kena terlibat ikat pinggang! Bo Wi Sianjin tertawa mengejek, sambil melompat tinggi, kemudian turun dan melancarkan pukulan Katak Sakti lagi yang juga dapat dielakkan oleh Kong Bu, walau dengan susah payah.

“Heh-heh-heh, ada apa ini ribut-ribut?” terdengar suara yang kaku dan ganjil, suara orang asing.

Kong Bu melirik dan melihat seorang kakek asing berkulit hitam, tinggi besar bersorban, telinganya memakai anting-anting, jalan mendatangi bersama seorang hwesio yang juga tinggi besar akan tetapi sudah tua sekali, hwe-sio yang pakaiannya sederhana dan bajunya dibuka lebar di bagian dada. Mereka itu bukan lain adalah Maharsi dan Bhok Hwesio.

“Ji-wi Lo-suhu mengapa baru datang? Ang Mo-ko tewas oleh keparat ini'” teriak Ang-hwa Nio-nio, setengah menyesal akan tetapi juga girang.






“Dia mampuspun salahnya sendiri, karena kepandaiannya masih rendah,” jawab Maharsi seenaknya. “Inikah jago Min-san putera Raja Pedang? Heh-heh-heh, ingin kucoba!”

Kong Bu kaget sekali. la masih sibuk menghadapi desakan pedang Ang-hwa Nio-nio dan pukulan mujijat Bo Wi Sian-jin. Sekarang tiba-tiba pendeta India yang tinggi itu berjalan miring-miring mendekatinya, lengan tangannya bergerak dan lengan itu seperti mulur, tahu-tahu sudah dekat dengan kepalanya, didahului angin pukulan yang tak kalah mujijatnya oleh angin pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin.

Kong Bu cepat menjatuhkan diri diatas tanah dan bergulingan. Hanya dengan cara ini dia tadi dapat terbebas daripada bahaya maut. Saking marahnya, Kong Bu mengeluarkan lengking tinggi bersambung-sambung, melompat bangun dan mengamuk.

Namun fihak lawan terlalu banyak dan terialu tangguh. Pada suatu saat dia berhasil menghindar dari pukulan Katak Sakti Bo Wi Sianjin, akan tetapi tidak dapat mengelak dari pukulan Pai-san-jiu dari Maharsi. Punggungnya kena dorongan dahsyat ini, dia terbanting roboh, napasnya sesak dan setengah pingsan.

Pada saat itulah Ang-hwa Nio-nio melompat dekat dan menusukkan Kim-seng-kiam ke dadanya. Pedang ini amblas sampai setengahnya lebih, tepat menghujam dada kiri dan menembus jantung sehingga jagoan sakti pendekar Min-san ini tewas disaat itu juga tanpa dapat bersambat lagi!

Dan demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, Tan Cui Sian dan Kwa Swan Bu dari jauh mendengar lengking tinggi dari Kong Bu, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, hanya melihat mayat Tan Kong Bu dengan pedang Kim-seng-kiam menancap di dada hatinya.

Melihat pedang ini yang diakui sebagai pedang ibunya oleh Swan Bu, Cui Sian marah bukan main. la dapat menduga bahwa kakaknya yang berdarah panas dan berwatak keras itu tentu tewas di tangan isteri Pendekar Buta. lapun maklum bahwa tentu kakaknya itu marah-marah kepada Pendekar Buta suami isteri, menuduh Swan Bu melakukan perbuatan hina terhadap Lee Si, dan mungkin suami isteri itupun merasa marah karena puteranya dimaki-maki sehingga timbul percekcokan. Akan tetapi, kalau sampai membunuh kakaknya, ini keterlaluan namanya dan ia tidak akan menerima begitu saja!

Jangankan Cui Sian, sedangkan Swan Bu sendiri diam-diam juga menduga demikian. Mana bisa lain orang yang membunuh Kong Bu kalau pedang Kim-seng-kiam menancap di dadanya, pedang itu tak mungkin terlepas dari tangan ibunya!

Swan Bu gelisah sekali, bingung dan berduka. Akan tetapi ada satu kenyataan yang menghibur hatinya, yakni bahwa pedang itu masih tertancap di dada Kong Bu dan ditinggalkan begitu saja. Mungkinkah kalau memang ibunya yang membunuh Kong Bu, ibunya meninggalkan pedang itu tertancap di dada lawannya? Apakah karena mendengar kedatangannya bersama Cui Sian tadi, ibunya lalu tergesa-gesa pergi sehingga tak sempat mencabut pedangnya? Ah, sukar dipercaya kemungkinan ini.

Apa sukarnya mencabut pedang apalagi bagi ibunya! Agaknya lebih patut kalau ada orang yang sengaja meninggalkan pedang itu di dada Kong Bu. Dan siapapun orangnya, tak mungkin orang itu ibunya! Jadi, tentu ada orang lain yang kembali melakukan fitnah untuk kali ini memburukkan nama ibunya. Akan tetapi bagaimana orang itu dapat menggunakan pedang Kim-seng-kiam?

Swan Bu berjalan terhuyung-huyung, kesehatannya masih belum pulih seluruhnya, kini hatinya terhimpit perasaan yang tidak karuan, jiwanya tertekan oleh peristiwa-peristiwa yang hebat. la berjalan perlahan memandangi pedang ibunya di tangan.

“Ah, Kim-seng-kiam….. kalau saja kau bisa bicara….. tentu kau akan dapat bercerita banyak…..” keluhnya.

“Swan Bu…..!”

Pemuda itu tersentak kaget. Suara itu! Cepat dia membalikkan tubuh dan sejenak wajahnya yang tampan dan pucat itu berseri. Dilihatnya gadis yang selama ini mengaduk-aduk hatinya, yang mendatangkan derita, bahagia, kecewa dan harapan di hatinya, Siu Bi, berdiri hanya beberapa meter jauhnya di depannya!

Gadis itu mukanya pucat, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, sinar matanya sayu dan pipi yang masih berbekas air mata itu kini kembali digenangi air mata yang mengalir turun.

“Siu Bi…..”

Swan Bu berbisik, tak sengaja melirik kearah lengan kirinya yang buntung dan ujungnya dibalut.

Lirikan kearah lengan buntung inilah yang agaknya memecahkan bendungan yang menahan gelora di hati Siu Bi yang ditahan-tahan. Gadis ini menjerit, lalu lari maju, menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu, memeluk kedua kaki pemuda itu dan menangis tersedu-sedu.

“Swan Bu….. Swan Bu….. kau ampunkan aku…..Swan Bu….. ampunilah aku…”

Tak kuat hati Swan Bu menahan air matanya yang turun bertitik-titik ketika dia menunduk memandang kepala Siu Bi yang kusut rambutnya. Kedua kakinya terasa lemas dan diapun berlutut pula.

“Siu Bi, selalu aku memaafkanmu…..”

Mereka berpandangan melalui air mata, kemudian bagaikan besi tertarik semberani, keduanya berangkulan, bertangisan dan berpelukan. Dengan air mata mereka saling membasahi muka masing-masing dalam ciuman-ciuman yang digerakkan oleh hati penuh kasih sayang, penuh iba dan haru.

Setelah gelora hati mereka mereda, Siu Bi menyembunyikan mukanya ke dada Swan Bu dan mereka terhenyak duduk diatas tanah, tak bergerak, seluruh tubuh lemas, tenaga habis oleh letupan gelora hati tadi, terasa nikmat penuh damai di hati. Dengan tangan kanannya Swan Bu membelai dan mengelus-elus rambut hitam yang awut-awutan itu.

“Siu Bi aku selamanya mengampunkan engkau, karena aku cinta kepadamu, Siu Bi, karena aku tahu apa yang mendorongmu melakukan semua itu…..” bisik Swan Bu.

Siu Bi mengangkat mukanya dari atas dada Swan Bu dan memandang. Kedua muka itu berpandangan, dekat sekali, masih basah oleh air mata.

“Swan Bu aku… aku tidak turut dalam tipu muslihat busuk itu ….. aku bukan sekutu Ang-hwa Nio-nio…..”

Swan Bu mendekap muka yang kelihatan begitu pucat dan penuh kekhawatiran itu.
“Siu Bi jiwaku….. tidak, aku tidak percaya itu, kau bukanlah jahat seperti mereka…..”

Siu Bi menarik napas panjang, hatinya lega dan ia kembali membaringkan kepalanya di atas dada Swan Bu, sepasang matanya dimeramkan.

“Aku memang jahat, Swan Bu, tapi….. tapi….. untuk menyenangkan hatimu, hati seorang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku, aku….. aku mau belajar baik! Kau bimbinglah aku, Swan Bu, ajarilah aku bagaimana bisa menjadi orang baik…”

Swan Bu tersenyum.
“Kau adalah orang baik, Siu Bi…..”

“Tidak, aku tak tahu harus berbuat apa kalau terpisah dari padamu, Swan Bu. Jangan kita berpisah lagi, aku….. aku takut hidup sendiri. Aku ikut denganmu…..”

Tiba-tiba ia memegang lengan yang buntung itu, memandangnya dan kembali ia menangis tersedu-sedu, menciumi ujung lengan yang dibalur.

“Ahhh… aku tak dapat mengganti lenganmu, Swan Bu….. biarlah kuganti dengan seluruh tubuhku, dengan nyawaku….. aku….. aku selamanya akan mendampingimu, melayanimu…”

Dengan mesra Swan Bu memeluk dan menciuminya, kemudian pemuda ini teringat akan sesuatu dan menarik napas panjang.

“Tak mungkin…..” katanya lirih dengan nada sedih.

Siu Bi tampak kaget,
“Apa katamu? Apa yang tak mungkin?”






No comments:

Post a Comment