Ads

Friday, March 1, 2019

Jaka Lola Jilid 074

Apakah sesungguhnya yang terjadi dengan diri Tan Kong Bu, pendekar dari Min-san? Pedang Kim-seng-kiam milik Hui Kauw telah lenyap dicuri orang dari pondok itu, bagaimana tahu-tahu bisa menancap di dada Kong Bu yang mayatnya ditemukan oleh Tan Cui Sian dan Kwa Swan Bu seperti telah dituturkan di bagian depan?

Untuk mengetahui hal ini, mari kita mengikuti pengalaman mendiang Kong Bu, jago tua yang berhati sekeras baja dan berwatak jujur dan terbuka itu.

Dapat dibayangkan betapa malu, sedih, menyesal yang kesemuanya menimbulkan kemarahan besar di dalam hati Tan Kong Bu ketika dia menyaksikan puteri tunggalnya yang terkasih, mendapat penghinaan dari Kwa Swan Bu.

Biarpun Swan Bu putera Pendekar Buta yang dia kagumi dan dia sayang pula, namun perbuatan pemuda itu melebihi segala batas dan jalan satu-satunya hanya memberi hukuman mati kepadanya! Lebih sakit hatinya ketika dia mendaki puncak Liong-thouw-san bertemu dengan Pendekar Buta suami isteri terjadi percekcokan dan dia tak mampu menandingi suami isteri sakti itu. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan dia segera kembali menuju ke Kong-goan untuk mencari jejak Swan Bu lagi dan dia takkan mau berhenti sebelum bertemu dengan pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya!

Pada suatu pagi yang naas baginya, dia memasuki sebuah hutan kecil. Di tengah hutan itu, diatas lapangan rumput yang luas, dia melihat tiga orang berdiri memandangnya, seakan-akan mereka sengaja menanti dan mencegat perjalanannya. Sebagai seorang tokoh kang-ouw, tentu saja Kong Bu dapat menduga niat mereka itu, maka diapun bersiap-siap sambil memandang tajam penuh selidik.

Akan tetapi ternyata bahwa dia tidak mengenal orang-orang itu, sungguhpun dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang di dunia kang-ouw yang berkepandaian tinggi. Seorang diantara mereka adalah nenek tua yang berkulit kehitaman, pakaiannya berkembang merah, di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Orang kedua adalah seorang kakek pendek gendut, mukanya seperti seorang dari utara, tidak membawa senjata, sedangkan orang ketiga adalah seorang kakek yang mulutnya tersenyum-senyum mengejek, juga pakaiannya serba merah sehingga kelihatan lucu sekali dan aneh, seperti seorang gila, tangannya memegang sebatang tongkat panjang. Melihat kakek ketiga ini, Kong Bu mengerutkan keningnya, serasa pernah dia melihat muka ini, tapi lupa lagi kapan dan dimana.

la hendak berjalan terus, tanpa menoleh, hanya melirik dari sudut matanya. Kalau mereka tidak mengganggunya, diapun tidak akan mencari perkara selagi perkara sendiri yang cukup gawat belum selesai. Namun dia maklum bahwa ketiga orang itu bukanlah tokoh baik-baik, maka dia bersikap waspada.

“Bukankah dia itu jago Min-san? Kenapa berkeliaran sampai disini?” tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek pendek gendut.

“Aha, apa kau tidak tahu, Sianjin? Anak perempuannya dihina orang, akan tetapi dia tidak berani berkutik karena yang menghina adalah putera Pendekar Buta!” jawab si nenek.

“Aih-aih-aih….. yang begitu mana patut disebut pendekar? Pengecut besar dia…..” kata kakek berpakaian merah.

Akan tetapi kakek ini terpaksa menghentikan kata-katanya dan cepat dia melempar diri kekiri sambil menggerakkan tongkatnya menangkis ketika sesosok sinar cemerlang menyambarnya. Sinar itu adalah sinar pedang di tangan Kong Bu yang sudah menerjangnya dengan kecepatan kilat menyambar.

“Swiiinggg…..!”

Sinar pedang menyambar, merupakan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin tajam!

“Hayaaaaa…..!”

Kakek berpakaian merah berseru kaget dan cepat membanting tubuh kekiri, berjungkir balik dan tongkatnya sudah diputar melindungi tubuhnya. Di lain detik Kong Bu sudah berdiri dengan kaki terpentang lebar, pedang melintang di depan dada, mata memandang tiga orang itu dengan sinar bernyala-nyala.

“Siapakah kalian dan apa maksud kalian menghina orang lewat tanpa sebab?”

Nenek itu tertawa mengejek.
“Hi-hi-hik, kau bilang tanpa sebab? Apakah kau hendak menyangkal betapa puterimu di kuil tua di Kong-goan tidur di samping putera Pendekar Buta yang telanjang…..? Hi-hi-hik, dan kau tidak berani…..”






Nenek itu menghentikan tawanya karena Kong Bu sudah melangkah maju setindak, mukanya beringas, pedang di tangannya tergetar.

“Bagaimana kau bisa tahu? Ah….. tahulah aku sekarang. Agaknya kalian inilah manusia-manusianya yang sengaja mengatur itu….. ah, betapa bodohku! Dan kau…..”

la menuding muka kakek berpakaian merah dengan pedangnya.
“Kau Ang Mo-ko. Ya, ingat aku sekarang, kau bekas pengawal kaisar muda. He, Ang Mo-ko, apa kehendakmu menghadang dan menghinaku? Dan dua orang ini siapa?”

Nenek itu melangkah maju, pedangnya sudah tercabut dan berada di tangannya, pedang yang mengeluarkan sinar keemasan.

“Kau putera Raja Pedang kan? Hi-hi-hik, Raja Pedang dan Pendekar Buta musuh-musuh kami, keluarga merekapun musuh kami. Memang kami yang mengatur di kuil tua di Kong-goan. Hi-hi-hik, Tan Kong Bu, kau mau mengenal kami? Aku Ang-hwa Nio-nio Kui Ciauw…..”

“Ah, kau sisa dari Ang-hwa Sam-ci-moi? Bagus, kiranya musuh besar!” bentak Kong Bu.

“Dan sahabatku ini adalah Bo Wi Sianjin, sute dari mendiang Ka Chong Hoatsu…..”

“Hemmm, semua adalah musuh-musuh besar ayah. Pantas, pantas….. heee, Ang-hwa Nio-nio, apa yang telah kalian lakukan terhadap anakku? Kalau memang kalian mendendam, mengapa tidak langsung menghadapi ayah atau aku, tua lawan tua. Kenapa mesti mengganggu bocah? Tak tahu malu engkau!”

Ang-hwa Nio-nio tertawa terkekeh.
“Kami tawan anakmu dan anak Pendekar Buta, kami menotok mereka dan menjajarkan di dalam kuil, memancing kau masuk. Ihhh, kiranya kau begitu goblok, tidak dapat membunuh putera Pendekar Buta, ataukah….. kau tidak berani?”

“Keparat”

Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Pedangnya sudah berkelebat menyambar dengan sebuah tusukan kilat kearah dada Ang-hwa Nio-nio. Serangan ini hebat sekali, didorong oleh tenaga Yang-kang yang luar biasa, tak mungkin dapat dielakkan lagi saking cepatnya.

Kalau bukan Ang-hwa Nio-nio yang diserang, tentu telah tembus dadanya oleh pedang. Akan tetapi wanita tua ini bukan orang lemah dan iapun maklum bahwa mengelak berarti menghadapi bahaya maut. Maka sambil menjatuhkan diri ke kanan, pedangnya bergerak menangkis, berubah menjadi sinar keemasan.

“Tranggggg…..!”

Tangan Kong Bu tergetar dan dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya. Diam-diam dia mengakui kelihaian nenek ini, akan tetapi yang membuat dia lebih bingung dan kaget adalah ketika dia melihat pedang bersinar keemasan di tangan si nenek. Ia mengenal pedang ini, serupa benar dengan pedang isteri Pendekar Buta yang baru beberapa pekan ini dihadapinya. Ketika bertanding dengan Hui Kauw, nyonya itupun menggunakan pedang ini. Apakah pedang mereka memang kembar?

“Iblis, pedang siapa kau pakai?”

Kong Bu membentak dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi pedangnya bertemu dengan tongkat panjang dan kiranya Ang Mo-ko sudah maju pula mengeroyok.

“Hi-hi-hik, mau tahu? Pedang nyonya Pendekar Buta ini, dan sebentar lagi pedang ini yang akan mengambil nyawamu!”

Kong Bu seorang yang jujur, akan tetapi dia bukanlah orang bodoh pertemuannya dengan tiga orang ini sudah cukup baginya untuk membuka matanya, untuk memecahkan rahasia itu. Tahulah dia sekarang bahwa peristiwa antara Swan Bu dan Lee Si adalah peristiwa buatan mereka ini, musuh-musuh besar ayahnya dan musuh-musuh Pendekar Buta pula.

Mereka sengaja memancing kemarahannya agar dia bermusuhan dengan Pendekar Buta. Agaknya melihat bahwa ia belum dapat membunuh Swan Bu, mereka tidak sabar dan kini mereka hendak turun tangan sendiri, membunuhnya dan kembali mereka hendak menjalankan siasat mengadu domba, yaitu hendak membunuhnya menggunakan pedang isteri Pendekar Buta yang entah bagaimana bisa terjatuh ke tangan Ang-hwa Nio-nio.

“Jangan kira gampang!!”

la membentak dan segera ketua Min-san-pai ini mainkan pedangnya dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-hoat yang ampuh. Pedangnya lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang panjang dan lebar melibat-libat dan melayang-layang seperti seekor naga di angkasa yang mengamuk dan bermain-main diantara awan putih.

“Kok-kok-kok?”

Bo Wi Sianjin si kakek gendut pendek sudah berjongkok dan melancarkan pukulan Katak Saktinya.

Pada saat itu baru saja Kong Bu menangkis pedang Ang-hwa Nio-nio dan melompat kekanan menghindarkan diri dari tongkat Ang Mo-ko yang menyapu pinggangnya. Kagetlah dia ketika tiba-tiba mendengar suara aneh itu dari belakang dan tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat.

Melihat sikap dan kedudukan kakek itu aneh sekali, Kong Bu tidak berani menghadapinya dengan kekerasan, melainkan mengelak sambil berjongkok. Angin pukulan menyambar lewat diatas kepalanya dan alangkah kagetnya ketika kain pembungkus kepalanya hancur berkeping-keping. Baru diserempet hawa pukulan itu saja sudah demikian hebat akibatnya, dapat dibayangkan betapa akibatnya kalau pukulan aneh itu tepat mengenai perutnya!

Maklumlah pendekar ini bahwa diantara tiga orang lawannya, kakek pendek yang bertangan kosong inilah yang paling berbahaya.

Karena itu, Kong Bu segera mengubah siasat. la sengaja bergerak dan melayang cepat, sengaja dia menjauhkan diri dari Bo Wi Sianjin, atau dia sengaja mengambil posisi sedemikian rupa agar kakek pendek itu selalu terhalang oleh Ang Mo-ko atau Ang-hwa Nio-nio sehingga tidak berani melancarkan pukulan jarak jauh yang mujijat tadi karena jika demikian, tentu ada bahayanya memukul kawan sendiri.

Setelah dalann pertempuran seperempat jam lamanya belum juga mereka dapat merobohkan Kong Bu, Ang-hwa Nio-nio menjadi marah dan penasaran sekali. Nenek ini mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat bagaikan seekor burung walet, pedangnya diputar menerjang Kong Bu dari atas, dan tangan kirinya mengirim pukulan Ang-tok-ciang yang tak kalah berbahayanya.

“Cring-cring-cring…..!”

Tiga kali pedang Kong Bu menangkis serangan beruntun itu. Serangan Ang-hwa Nio-nio memang aneh dan hebat. Begitu pedangnya tertangkis, pedang itu terpental bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan terus menjadi gerak serangan susulan yang makin lama makin hebat.

Terpaksa Kong Bu mainkan Yang-sin Kiam-hoat bagian pertahanan setelah melihat betapa tiga kali tangkisannya tidak membuyarkan rangkaian serangan lawan. Kini pedangnya diputar seperti payung dan jangankan baru serangan pedang Ang-hwa Nio-nio, biarpun hujan deras menyiramnya, tak setetespun air akan dapat mengenai bajunya.

Pukulan Ang-hwa Nio-nio dengan tangan kiri, tak berani Kong Bu menerimanya langsung. la dapat melihat betapa tangan nenek itu menjadi merah, tanda bahwa pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. la hanya menggeser kaki miringkan tubuh sambil menangkis dari samping. Sebagai ahli Yang-sin Kiam-hoat, tentu saja Kong Bu memiliki tenaga Yang-kang istimewa kuatnya, maka benturan ini membuat nenek tadi terhuyung-huyung dan serangannya otomatis gagal.

Ang Mo-ko menanti kesempatari baik. Selagi kedua pedang tadi berkelebatan beradu cepat, dia tidak berani sembrono dengan tongkatnya, karena selain hal ini dapat mengacaukan permainan pedang Ang-hwa Nio-nio, juga salah-salah tongkatnya akan kena benturan pedang kawannya. Kini melihat betapa libatan sinar-sinar pedang itu sudah terlepas dan Kong Bu juga terhuyung ke kanan oleh benturan tenaga tadi, cepat laksana kilat tongkatnya menyelonong maju, digetarkan sehingga ujungnya berubah menjadi belasan batang yang kesemuanya menyerang dengan totokan-totokan maut kearah bagian tubuh yang berbahaya.

Hebat memang ilmu tongkat Ang Mo-ko. Bagian tubuh yang berbahaya dimulai dari ubun-ubun kepala terus ke bawah dalam jarak sejengkal tangan, yaitu dari ubun-ubun kemata, telinga, tenggorokan, pundak, ulu hati, pusar dan seterusnya. Anehnya, ujung tongkat yang hanya satu ini, setelah dia getarkan sedemikian kuatnya, seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan menyerang semua bagian berbahaya itu sambil mengeluarkan suara mendengung-dengung!






No comments:

Post a Comment