Ads

Friday, March 1, 2019

Jaka Lola Jilid 073

Pendekar Buta mengeluh dan tubuhnya bergerak miring. Melihat ini, cepat Siu Bi menotoknya pada punggung dan….. tubuh Pendekar Buta yang sakti itu kini tak dapat bergerak lagi kaki tangannya, lumpuh seperti keadaan isterinya! Akan tetapi karena dia tidak tertotok jalan darah di lehernya, dia dapat mengeluarkan suara yang terheran-heran,

“Eh….. eh….. apa-apaan ini? Siapa melakukan ini? Hui Kauw, apa yang terjadi…..?”

Akan tetapi Hui Kauw tidak dapat menjawab karena nyonya ini selain lumpuh kaki tangannya, juga tak dapat mengeluarkan suara!

Saking tegangnya, Siu Bi terengah-engah dan jatuh terduduk. Dalam melakukan totokan-totokan tadi, ia telah mengerahkan tenaga dalamnya, ditambah suasana yang menegangkan urat syaraf, maka setelah kini berhasil, ia terengah-engah lemas tubuhnya dan….. ia menangis terisak-isak.

“Eh, anak baik, Kim Hoa….. apa yang terjadi? Kenapa kau menangis, dan Bibimu kenapa?” Kun Hong bertanya.

Siu Bi merasa betapa napasnya sesak dan hawa udara tiba-tiba menjadi panas baginya. la melompat berdiri, kedua tangannya menyambar leher baju dua orang yang sudah lumpuh itu dan diseretnya mereka keluar pondok!

“Eh-eh-eh, kaukah ini, Kim Hoa? Apa yang kau lakukan ini?”

Siu Bi menyeret mereka keluar dan melepaskan mereka di depan pondok. la sendiri berdiri menengadah, menarik napas dalam-dalam. Hawa malam yang dingin, angin yang bersilir dan sinar bulan membuat napasnya menjadi lega. la tidak gelisah lagi.

“Pendekar Buta, ketahuilah, aku yang menotokmu dan menotok isterimu.”

la tersenyum dan tangannya bergerak membebaskan totokan pada jalan darah Hui Kauw. Nyonya ini terbatuk, mengeluh perlahan lalu berseru,

“Bocah, kau siapa? Kenapa kau menyerang kami secara membuta?”

Siu Bi tersenyum lagi.
“Dengarlah baik-baik. Namaku Siu Bi dan aku melakukan hal ini karena aku ingin membalaskan dendam kakekku, Hek Lojin. Pendekar Buta, ingatkah kau ketika kau membuntungi lengan kakekku? Nah, sekarang aku akan memenuhi sumpahku, membalas kalian dengan rnembuntungi lengan kiri kalian seperti yang kau lakukan terhadap kakek!” Siu Bi mencabut pedangnya.

“Singgg!” lalu ia mendongakkan mukanya ke angkasa berseru perlahan,

“Kakek yang baik, kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang menyayangku….. sekarang kau tiada lagi….. tapi kesayanganmu tidak sia-sia, kakek….. lihatlah dari sana betapa saat ini cucumu telah melunasi semua hutang, harap kau beristirahat dengan tenang…..”

Setelah berkata demikian dalam keadaan seperti terkena pengaruh gaib atau kemasukan roh jahat yang berkeliaran di malam terang bulan itu, Siu Bi menggerakkan pedangnya, dibacokkan kearah lengan kiri Kun Hong.

“Crakkk!”

Sebuah lengan terbabat putus, darah muncrat-muncrat dan Siu Bi menjerit sambil melompat ke belakang. Di depannya, entah dari mana datangnya, telah berdiri seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya!

“Kakek…..!”

Siu Bi memekik penuh kengerian, mengira bahwa roh kakeknya yang muncul ini. Akan tetapi ia melihat betapa lengan kiri yang buntung itu masih meneteskan darah segar sedangkan diatas tanah menggeletak buntungan tangan. Pendekar Buta dan isterinya masih rebah terlentang. Siu Bi cepat mengalihkan pandang matanya yang terbelalak kearah orang di depannya, wajahnyaa pucat sekali.

“Siu Bi….. anakku.,…”






Orang itu berkata, biarpun lengannya sudah buntung dan wajahnya pucat, keringatnya memenuhi muka menahan sakit yang hebat, namun mulutnya tersenyum, wajahnya yang setengah tua dan tatapan dibayangi kedukaan hebat.

“Kau….. kau….”

Siu Bi berbisik ketika mengenal bahwa orang itu, orang yang datang menangkis pedangnya tadi dengan lengan kiri sehingga bukan lengan Pendekar Buta yang buntung, melainkan lengannya, adalah The Sun ayah tirinya!

“Aku ayahmu, Siu Bi….. lama sekali dan susah payah aku mencarimu…..”

“Bukan, kau bukan ayahku! Pergi…..!”

The Sun menggeleng kepalanya.
“Tidak boleh, Siu Bi, anakku. Kau tidak boleh menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk, dosa yang diperbuat mendiang kakekmu dan aku…..”

“Kau….. kau membunuh kakek, kau bukan ayahku….. sa….. salahmu sendiri….. ,. kau menangkis pedangku…..”

“Memang sepatutnya lenganku yang buntung, bukan lengan Kun Hong! Biarpun lengan suhu buntung oleh pedang Kun Hong, akan tetapi akulah yang berdosa, dan karenanya sudah sepatutnya aku pula yang menanggung hukumannya. Siu Bi, kau tidak tahu betapa jahatnya kakekmu Hek Lojin, betapa jahatnya pula aku dahulu. Kakekmu dan aku yang dahulu menyerbu dan bermaksud membunuh Pendekar Buta, kami bersekutu dengan orang-orang jahat di dunia kang-ouw. Kami haus akan kemuliaan, akan kedudukan dan harta, karena itu kami memusuhi Pendekar Buta dan Raja Pedang. Akan tetapi kami semua kalah, kakek gurumu juga kalah, baiknya Pendekar Buta masih menaruh kasihan, hanya membuntungi lengan, tidak membunuhnya…..! Aku bertemu dengan ibumu, ibumu yang mengandungmu karena dipermainkan majikan-majikannya, aku membelanya, kami menjadi suami isteri, dan kau….. kau anakku juga, Siu Bi. Aku sudah berusaha menebus dosa, mengasingkan diri di Go-bi-san, siapa kira….. penebusan dosa yang sia-sia, dirusak kakekmu….. dia mendidikmu untuk membalas dendam….. akhirnya dosaku bertambah, dia tewas di tanganku….. dan sekarang, Tuhan menghukum hambaNya kau sendiri membuntungi lenganku. Ah, aku puas….. seharusnya beginilah…..”

Tiba-tiba Siu Bi menjerit dan menutupi mukanya, menangis terisak-isak. la teringat akan Swan Bu yang sudah ia buntungi lengannya. Pada saat itu suami isteri yang tadinya rebah lumpuh, bersama melompat bangun,

“The Sun, hukum karma tak dapat dielakkan oleh siapapun juga,” kata Kun Hong.

The Sun tercengang dan membalikkan tubuhnya. Siu Bi menurunkan tangannya dan memandang bengong.

“Kau….. kau….. sudah kutotok kalian…..” katanya gagap.

Hui Kauw melangkah maju dan “plak! plak!” dua kali kedua pipi Siu Bi ditamparnya, membuat gadis itu terpelanting dan bergulingan beberapa kali. Ketika ia berhasil melompat bangun, kedua pipinya menjadi bengkak.

“Bocah yang dididik menjadi binatang liar, dan keji!” kata nyonya ini, senyumnya mengejek. “Kau kira akan dapat membikin lumpuh Pendekar Buta? Kalau dia mau, tadi sudah dengan mudahnya merobohkanmu. Sengaja dia hendak menanti apa yang akan kau lakukan. Pada saat kau membacok tadi, dia sudah siap menangkis dan merobohkanmu. Kiranya The Sun muncul dan mewakilinya dengan berkorban lengan. Benar, Tuhan menghukum hambaNya!”

Siu Bi kaget, malu, menyesal dan segala macam perasaannya bercampur aduk di dalam dadanya. Kembali ia menjerit lalu ia melarikan diri di malam gelap karena bulan sudah menyembunyikan diri di dalam awan.

“Siu Bi….. tunggu…..'” The Sun lari mengejar, terhuyung-huyung dan darah berceceran dari lengannya.

Kun Hong memegang tangan isterinya. Memang betul apa yang dikatakan Hui Kauw tadi. Ketika Siu Bi menotoknya, ia kaget akan tetapi dengan sinkangnya yang luar biasa, dia dapat memunahkan totokan itu dan sengaja dia berpura-pura lumpuh dan diseret keluar menurut saja.

Malah ketika Siu Bi mencabut pedang, dia tetap diam saja, hanya siap untuk melakukan serangan balasan merobohkan gadis itu. Ketika The Sun muncul, dengan mudahnya dia membebaskan totokan isterinya.

“Hebat…..” bisiknya.

“Jadi itukah bocah yang dikabarkan mengancam kita? Heran sekali, siapakah sebetulnya yang telah menangkapnya dan menyiksanya…..? Anak itu sebetulnya tidak jahat….. dan syukurlah bahwa The Sun telah dapat menguasai nafsu-nafsunya dan berubah menjadi manusia baik-baik.”

“Hemm, suamiku. Kau selalu mengalah, sabar, dan menilai orang lain dari segi-segi baiknya saja. Gadis demikian kejam dan liar, tidak kenal budi, ditolong malah membalas dengan ancaman membuntungi lengan, kau bilang sebetulnya tidak jahat? Dan The Sun itu, terang dialah gara-gara semua perkara ini, kau bilang sudah menjadi manusia baik-baik?”

Hui Kauw sendiri terkenal seorang yang sabar hatinya, akan tetapi dibandingkan dengan suaminya, ia kadang-kadang merasa bahwa suaminya itu terlalu lemah, dan terlalu sabar.

“Aku tidak mau menilai orang dari kebodohannya, isteriku. Menilai orang harus dari segi-segi baiknya, kalau ia melakukan, itu hanya karena ia lupa dan terseret oleh sesuatu yang membuat ia menyeleweng daripada kebenaran. Gadis itu pada dasarnya baik, hanya ia dimabukkan oleh rasa dendam untuk membalas sakit hati kakeknya. Bukankah itu wajar bagi seorang gadis yang terdidik ilmu silat di pegunungan yang sunyi? Adapun The Sun, mendengar suaranya, ternyata dia telah mendapatkan kemajuan pesat dalam hatinya. Agaknya kalau kali ini kita menghadapi tentangan-tentangan, tentu bukan dari The Sun datangnya dan….. he, ada orang di pondok!”

Cepat bagaikan kilat tubuh Pendekar Buta ini sudah mencelat kearah pondok, disusul isterinya. Akan tetapi Hui Kauw hanya melihat berkelebatnya bayangan yang cepat sekali menghilang di balik pondok itu. Ketika mereka memeriksa, ternyata buntalan pakaian mereka masih ada juga tongkat Kun Hong masih ada. Akan tetapi pedang Kim-seng-kiam, pedang Hui Kauw, lenyap dari tempatnya semula, yaitu tadinya disandarkan pada bilik.

“Pedangku hilang! Mari kejar…..!” seru Hui Kauw, akan tetapi Kun Hong memegang lengannya.

“Jangan, percuma saja. Tentu dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Biarlah, kelak tentu kita akan bertemu dengan pencurinya. Bukan tidak ada maksudnya mencuri pedangmu…..?”

“Ah, tentu gadis iblis tadi….. atau mungkin The Sun! Memang mereka jahat…..!”

Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya dan alisnya berkerut.
“Bukan mereka….. The Sun terluka parah, lengannya buntung, tak mungkin dia melakukan hal ini, juga puterinya tidak. Mereka takkan senekat itu. Eh, bagaimana kau lihat orang tadi, ataukah kau tidak sempat melihatnya?”

“Hanya bayangan berkelebat cepat, kurasa lebih cepat daripada gerakan Siu Bi, entah laki-laki entah wanita, akan tetapi kalau laki-laki, tentu dia seorang bertubuh kurus kecil. Mungkin wanita.”

“Hemmm, isteriku. Kalau tidak meleset dugaanku, orang yang mencuri pedangmu dan orang yang melakukan fitnah atas diri anak kita sehingga membuat Kong Bu marah, adalah sama. Entah siapa dia, akan tetapi yang jelas dia atau mereka adalah pengecut-pengecut yang tiada berharga, tidak berani menghadapi kita secara langsung melainkan dengan cara mengadu domba dan melakukan fitnah. Kita harus cepat ke Kong-goan dan menyelidiki ke kuil tua. Sekarang juga kita berangkat”.

**** 073 ****





No comments:

Post a Comment