Ads

Friday, March 1, 2019

Jaka Lola Jilid 072

Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, menuruni Liong-thouw-san dengan hati gelisah. Mereka melakukan perjalanan cepat, akan tetapi karena perjalanan itu amat jauh dan mereka di sepanjang jalan mencari keterangan tentang putera mereka, maka lama juga baru mereka sampai diluar kota Kong-goan. Kota itu kira-kira berada dalam jarak lima puluh li lagi saja, dan karena hari amat panas, keduanya beristirahat di dalam hutan pohon liu yang indah dan sejuk hawanya.

Kun Hong bersandar pada sebatang pohon dan hatinya yang risau oleh urusan puteranya itu dia tekan dengan duduk bersiulian menghilangkan segala macam pikiran keruh. Hui Kauw tak pernah dapat melupakan puteranya semenjak mereka turun gunung dan pada saat itu iapun duduk termenung dalam bayangan pohon.

Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan memandang ke depan. Dari depan ada orang datang, seorang wanita muda yang jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Hui Kauw tertarik sekali dan ia menahan seruannya ketika melihat gadis itu terguling! Cepat Hui Kauw melompat-lompat kearah gadis itu dan kembali ia menahan seruannya.

Gadis ini masih muda, lagi cantik jelita. Akan tetapi muka dan lehernya penuh jalur-jalur bekas cambukan, pakaiannya banyak yang robek, juga bekas terkena cambuk. Agaknya gadis ini baru saja mengalami siksaan.

“Kasihan…..”

Hui Kauw berkata, tanpa ragu-ragu ia lalu memondong tubuh itu dan membawanya kembali ke tempat semula. la dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang lemah, terbukti dari sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya.

“Siapakah dia?” Kun Hong bertanya.

“Entah, seorang wanita muda, tubuhnya penuh luka bekas cambukan, dia pingsan,” jawab Hui Kauw.

Tanpa diminta Kun Hong menjulurkan tangan meraba dahi, pundak, dan pergelangan tangan.

“Luka-lukanya tidak ada artinya, hanya luka kulit, tapi ia terserang hawa nafsu kemarahan dan kedukaan sehingga mempengaruhi limpa dan hati, membuat hawa Im dan Yang di dalam tubuh tidak berimbang, hawa Im membanjir. Karena itu, kau bantulah dengan Yang-kang pada punggung.”

Hui Kauw sebagai isteri Pendekar Buta tentu saja sedikit banyak sudah tahu akan ilmu pengobatan dan sudah biasa ia membantu suaminya. Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu nenempelkan telapak tangan kanan di punggung gadis itu dan mengerahkan Yang-kang disalurkan ke dalam tubuh si sakit melalui punggungnya.

Tepat cara pengobatan ini. Tak sampai seperempat jam, gadis itu sudah siuman kembali dan jalan pernapasannya tidak memburu seperti tadi, malah akhirnya ia membuka kedua rnatanya, menggerakkan kepala memandang ke kanan kiri.

“Tenang dan kau berbaring saja, nak. Biar kuobati luka-lukamu,” kata Hui Kauw sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk.

Gadis itu meringis kesakitan, akan tetapi membiarkan Hui Kauw mengobatinya.
“Mula-mula memang perih rasanya, akan tetapi sebentarpun akan sembuh,” kata Hui Kauw dan memang ucapannya ini betul karena hanya sebentar gadis itu merintih, kemudian kelihatan tenang.

“Terima kasih, cukuplah. Kau baik sekali, Bibi…..”

Gadis itu bangkit duduk dan ketika ia menoleh ke kiri memandang Kun Hong, wajahnya berubah dan ia nampak kaget.

“Siapa dia…..??”

Hui Kauw tersenyum.
“Jangan khawatir, dia itu hanya suamiku. Kau kenapakah, tubuhmu bekas dicambuki dan kau kelihatan berduka, marah, dan mudah kaget. Siapakah kau?”

Gadis itu menengok ke kanan kiri seakan-akan ada yang dicari dan ditakuti, kemudian ia berkata,

“Aku belum tahu siapakah kalian ini, bagaimana aku berani bicara tentang diriku?”






Kembali Hui Kauw tersenyum, sama sekali tidak marah melihat kecurigaan orang. Agaknya gadis ini telah banyak menderita dan menjadi korban kejahatan sehingga mudah menaruh curiga terhadap orang lain.

“Jangan khawatir, anak manis. Kami bukanlah orang jahat, dia itu suamiku bernama Kwa Kun Hong dan aku isterinya….. he, kenapa kau…..?” Hui Kauw terheran-heran melihat gadis itu melompat dan mukanya pucat.

“Aku….. aku takut kalau….. kalau mereka mengejar….”

“Jangan takut, kalau ada orang jahat mengganggumu, kami akan membantumu,” Kun Hong berkata, suaranya halus, akan tetapi diam-diam hatinya menduga-duga. “Kau siapakah dan siapa pula mereka yang mengancam keselamatanmu?”

Gadis itu duduk kembali, memandang bergantian kepada Kun Hong dari isterinya.
“Aku Ciu Kim Hoa, dan mereka itu musuh-musuhku.”

“Siapa mereka dan apakah yang terjadi? Mengapa kau bermusuhan dengan mereka?” tanya Hui Kauw.

Gadis itu kelihatan tenang sekarang. la duduk dan menarik napas beberapa kali, kemudian ia bercerita, suaranya perlahan dan agaknya keraguannya lenyap.

“Aku seorang yang yatim piatu, hidup sebatangkara. Keluargaku habis dengan meninggalkan musuh besar, musuh keturunan yang harus kubalas. Aku mencarinya dan bertemu, tapi….. tapi….. aku tidak dapat benci kepadanya, betapapun juga….. aku harus melaksanakan balas dendam. Baru berhasil sebagian, aku lalu dikeroyok….. dan ditawan, dicambuki dan disiksa. Akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan lari sampai disini.” la menengok lagi kesana kemari, tampak ketakutan. “Aku tahu mereka tentu akan mengejarku, dan aku tidak berani pergi seorang diri…..”

Hui Kauw mengerutkan kening. Di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan, banyak terjadi pertandingan dan darah mengalir, semua hanya karena dendam-mendendam yang tiada habisnya.

“Kau perlu menenangkan hati dan memulihkan tenaga, Kim Hoa. Biarlah semalam ini kau bersama kami agar kami dapat mencegah musuh-musuhmu mencelakaimu. Kalau sampai besok tidak ada yang mengejarmu, baru kau melanjutkan perjalanan.”

“Terima kasih, Bibi. Kau baik sekali.”

Gadis itu masih kelihatan gelisah, akan tetapi ia tidak banyak bicara. Hanya menjawab kalau ditanya, itupun singkat saja. la tidak menolak ketika Kun Hong dan Hui Kauw mennberi roti kering dan minum kepadanya, dan juga tidak membantah ketika matahari sudah agak menurun, suami isteri itu mengajaknya melanjutkan perjalanan.

Atas pertanyaan, gadis itu menjawab bahwa hendak pergi ke kota raja dimana katanya berdiam seorang pamannya. Karena jalan menuju ke kota raja melewati Kong-goan, maka Hui Kauw mengajak gadis itu melakukan perjalanan bersama.

Akan tetapi tentu saja ia tidak menghendaki gadis ini mengetahui urusan apa yang sedang diselidikinya di Kong-goan. Oleh karena itu, pada sore harinya ia dan suaminya mengajak gadis itu berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, di luar kota Kong-goan. Kalau besok pagi tidak terjadi sesuatu, ia akan menyuruh gadis ini melanjutkan perjalanan sendiri.

Malam itu dingin hawanya, jauh berbeda dengan siang tadi. Gubuk atau pondok itu adalah pondok yang didirikan oleh tuan tanah untuk menampung hasil panen tiap tahun, hanya merupakan sebuah pondok bambu yang berlantai batang padi kering. Bagi mereka yang lelah, tempat ini amatlah nyaman untuk beristirahat melewatkan malam yang dingin. Batang-batang padi kering itu hangat dan empuk, dinding bambu biarpun reyot dapat menahan sebagian angin yang bertiup dingin.

Kegelisahan hati, kelelahan, ditambah dinginnya hawa membuat Pendekar Buta dan isterinya tidur nyenyak menjelang tengah malam. Orang yang berhati gelisah atau susah menjadi lelah sekali dan memang sukar tidur, akan tetapi apabila tidur sudah menguasainya, dia akan nyenyak sekali dan agaknya dalam ketiduran inilah segala kegelisahan, segala kelelahan, lenyap tanpa bekas.

Suami isteri ini tidur pulas di sudut pondok bambu. Kun Hong telentang, napasnya panjang-panjang berat sedangkan isterinya tidur miring menghadapinya, napasnya halus tidak terdengar.

“Bibi…..!” Hening tiada jawaban.

“Paman…..!” Juga kesunyian mengikuti panggilan ini.

Siu Bi bangkit perlahan. la tadi rebah di sudut lain, tak pernah meramkan matanya. Setelah duduk, kembali ia memanggil suami isteri itu, menyebut mereka paman dan bibi, malah kali ini agak dikeraskan suaranya. Akan tetapi sia-sia, mereka agaknya amat nyenyak tidurnya, tidak mendengar panggilannya. la menahan napas lalu bangkit berdiri, mengerahkan seluruh tenaga kearah matanya untuk memandang.

Bulan diluar pondok bersinar cemerlang, cahayanya yang redup dingin menerobos diantara celah-celah atap dan dinding yang tidak rapat, memberi sedikit penerangan ke dalam pondok. Siu Bi dapat melihat suami isteri itu tidur. Pendekar Buta telentang, isterinya miring menghadapinya. Jantungnya berdebar keras dan tangan kanannya bergerak meraba gagang pedang. Kesempatan baik, pikirnya. Kesempatan baik untuk melaksanakan sumpahnya, melaksanakan dendam kakeknya!

Sepasang matanya beringas dan napasnya agak terengah, mudah sekali. Satu kali bacok selagi mereka tidur nyenyak dan….. lengan mereka akan buntung! Sungguh suatu hal yang sama sekali tak pernah ia mimpikan bahwa akhirnya ia akan dapat bertemu dengan musuh-musuh ini dalam keadaan sedemikian menguntungkannya. Agaknya arwah kakeknya sendiri yang menuntunnya sehingga ia dapat bertemu dengan mereka, dapat tidur sepondok dan mendapat kesempatan begini baik.

“Singgg!!”

Pedang Cui-beng-kiam telah dicabutnya. Siu Bi kaget sendiri mendengar suara ini cepat ia memandang ke sudut itu dan telinganya mendengarkan. Akan tetapi, suami isteri itu tidak bergerak, juga pernapasan mereka masih biasa, tidak berubah.

la berpikir sebentar. Salah, pikirnya dan pedang itu ia masukkan kembali ke sarung pedang. Dia tidak bermaksud membunuh mereka, melainkan membuntungi lengan mereka yang kiri. Akan tetapi ia teringat bahwa biarpun lengan mereka sudah buntung, agaknya kalau mereka sadar, ia tak mungkin dapat menghadapi mereka yang memiliki kesaktian luar biasa.

Membuntungi seorang diantara mereka tentu menimbulkan pekik dan mereka terbangun, lalu dialah yang akan celaka di tangan mereka. Tidak, bukan begini caranya! Harus lebih dulu membuat mereka tidak berdaya.

Ada sepuluh menit Siu Bi berdiri termangu-mangu, memeras otak mencari keputusan yang tepat. Tubuhnya agak menggigil tadi karena tegang, akan tetapi sekarang ia sudah berhasil menekan perasaannya dan menjadi tenang. la amat memerlukan ketenangan ini, karena apa, yang akan ia lakukan adalah soal mati hidup.

la menghadapi suami isteri yang terkenal sebagai orang-orang sakti di dunia persilatan. Nama Pendekar Buta menggegerkan dunia kang-ouw, bahkan orang-orang sakti seperti Ang-hwa Nio-mo dan kawan-kawannya merasa gentar menghadapi rendekar Buta dan menghimpun banyak tenaga sakti untuk menghadapinya. Dan sekarang sekaligus menghadapi suami isteri itu dalam keadan yang amat menguntungkan!

Siu Bi membiasakan pandang matanya di dalam pondok yang remang-remang itu. Baiknya sinar bulan makin bercahaya, agaknya angkasanya amat cerah, tidak ada awan menghalangi. Perlahan-lahan Siu Bi melangkah menghampiri sudut dimana mereka tidur nyenyak. Dadanya kembali berdebar, terasa amat panas sukar baginya untuk bernapas punggungnya terasa dingin sekali, akan tetapi sekarang kaki tangannya tidak menggigil lagi.

la menahan napas yang disedotnya dalam-dalam, lalu melangkah lagi. Matanya tertuju kearah Hui Kauw. Nyonya itu tidurnya miring sehingga memudahkannya untuk menotok jalan darah di punggung yang akan melumpuhkan kaki tangan. Pendekar Buta tidur terlentang, lebih sukar untuk membuatnya tidak berdaya dengan sekali totokan. Oleh karena inilah maka Siu Bi mengincar punggung Hui Kauw dan maju makin dekat.

Setelah dekat sekali dan matanya dapat memandang dengan jelas, Siu Bi menahan napas mengerahkan tenaga dalam, tangan kanannya bergerak dan dua buah jari tangannya yang kanan menotok punggung Hui Kauw. la merasa betapa ujung jari-jarinya dengan tepat menemui jalan darah di bawah kulit yang halus.

Hui Kauw tanpa dapat melawan telah kena ditotok jalan darahnya di punggungnya dan pada detik berikutnya, Siu Bi sudah menotok jalan darah di leher yang membuat nyonya itu menjadi gagu untuk sementara. Hui Kauw mencoba untuk menggerakkan tubuh, sia-sia dan tubuhnya yang miring itu menjadi telentang, matanya terbelalak akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.

Siu Bi yang merasa takut sekali kalau-kalau Pendekar Buta bangun, cepat menggerakkan kedua tangannya menotok kedua jalan darah di pundak kanan kiri, kaget sekali karena ujung jari-jari tangannya bertemu dengan kulit yang amat lunak, lebih lunak daripada kulit punggung Hui Kauw tadi.






No comments:

Post a Comment