Ads

Friday, March 1, 2019

Jaka Lola Jilid 071

“Swan Bu, aku tidak akan menyalahkan orang mencinta, sungguhpun harus diakui bahwa cintamu tidak mendapatkan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi lenganmu!”

Dengan suara rata dan lirih Swan Bu berkata,
“Dia memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam kakeknya.”

Cui San menarik napas panjang.
“Betapapun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakanmu kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi makin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang dara yang cantik jelita, kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku adalah bibi dari Lee Si.”

Swan Bu terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat.
“Baiklah hal itu kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tiada jalan lain, aku tidak merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apalagi….. apalagi melihat lenganku yang buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang yang cacad seperti aku?”

Sebelum Cui Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu derdengar lapat-lapat dari tempat jauh.

“Ada pertempuran disana!” Kata Cui Sian. “Biar kulihat!”

la segera melesat dengan cepat sekali, berlari kearah suara tadi. Swan Bu yang sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking tadi sudah tidak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari kearah menghilangnya bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.

Beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat bagian. Terang bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak karuan, dia mempercepat larinya mendekati.

“Paman Kong Bu ….!!” Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut didekat Cui Sian. “Sukouw, apa yang terjadi…..??”

Dengan suara mengandung isak, Cui Sian menjawab,
“Aku tidak tahu….. aku datang terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini….. tidak tampak orang lain….. ah, koko….. tidak dinyana begini nasibmu…..”






Tiba-tiba Swan Bu menjerit dan melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak lebar dan tangan kanan menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya mengeluarkan kata-kata terputus-putus,

“….. tak mungkin ini….. tak mungkin….. pedang….. Kim-seng-kiam…..”

Cui Sian mengerutkan kening dan memandang kearah pedang yang menancap didada kakaknya. Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya itulah maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).

“Swan Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?” tanyanya, suaranya keren dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan penasaran terbungkus kemarahan.

“Kim-seng-kiam….. pedang ibuku…, tapi tak mungkin ibu…..”

Dagu yang manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar berapi.

“Hem, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu, minta pertanggungan jawab, salah faham dan bercekcok terus bertanding, kakakku mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapapun juga, aku adiknya hendak mencoba-coba, mereka tentu belum jauh!” Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.

“Sukouw…..'” Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.

“Sukouw, tunggu dulu? Tak mungkin ibu…..”

Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap dari pandang matanya dan Swan Bu sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa dia sendiri merasa ragu-ragu apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan ini? Ibunya penyabar, akan tetapi kalau paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya marah pula, mereka bertempur memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan….. ah, mungkin berakibat begini.

“Ah, paman Kong Bu, mengapa begini…..?”

la memeluk tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan menangis saking bingungnya. Kemudian, sambil menekan kedukaan hatinya, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada, kemudian setelah bekerja setengah hari dengan susah payah, dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di depannya. Kemudian, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung, pedang Kim-seng-kiam masih di tangannya.

**** 071 ****





No comments:

Post a Comment