Ads

Thursday, February 7, 2019

Pendekar Buta Jilid 105

“Kanda Bun Wan…….!”

Seruan girang ini mengagetkan Bun Wan yang sedang berjalan dengan kepala tunduk dan hati penuh kekecewaan. Dia mengangkat mukanya dan kaget melihat bahwa yang memanggilnya dengan suara merdu dan gembira itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis dari Pulau Ching-coa-to itu!

Pertemuan ini sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Dia berada jauh dari Ching-coa-to, di sebuah hutan diluar kota raja. Baru saja dia mengalami kekecewaan dan penyesalan karena dia kalah dalam perebutan mahkota kuno.

“Hui Siang! Kau dari mana, bagaimana bisa berada disini?” tanyanya, tersenyum dan mengusap rambut kepala gadis yang telah merangkulnya dengan sikap manja dan penuh cinta kasih itu.

“Kanda Bun Wan, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang.” Hui Siang berkata manja. “Kenapa kau tinggalkan aku di Ching-coa-to? Kenapa kau pergi secara diam-diam? Aku kesepian disana, Ibu belum pulang dan karena kau bilang ingin pergi ke kota raja, aku lalu menyusulmu. Sungguh kebetulan sekali kita bertemu disini, bukankah ini tanda bahwa kita benar-benar berjodoh, kanda Bun Wan?”

Bun Wan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang.
“Hui Siang, kau seperti anak kecil saja. Apakah kau tidak percaya bahwa aku akan datang kembali kesana menjemputmu?”

Hui Siang merengut dan mukanya yang cantik itu kelihatan susah.
“Wan-koko, banyak sudah kudengar laki-laki yang tidak memegang teguh janjinya dalam hubungan mereka dengan wanita. Hanya bermanis mulut menjual madu di bibir kalau berhadapan, akan tetapi begitu berpisah lalu bercabang hati dan lupa akan sumpah dan janji. Banyak sudah contohnya. Ibu sendiri bertahun-tahun menderita karena Ayah. Kata Ibu, di dunia ini tidak ada lelaki yang boleh dipercaya janjinya terhadap wanita.”

“Hui Siang, kau kira aku ini laki-laki macam apa?” Bun Wan berseru keras dan penasaran. “Sungguhpun hubungan kita ini tadinya kuanggap karena kau yang membujuk, akan tetapi akhirnya aku insyaf bahwa akupun bersalah terlampau menuruti nafsu hati. Aku seorang laki-laki, aku keturunan tunggal dari Kun-lun-pai, tidak mungkin aku menyia-nyiakan wanita yang sudah kujatuhi cinta, tidak mungkin aku mengingkari pertanggungan jawabku. Hui Siang, sudah kukatakan kepadamu bahwa apapun yang terjadi, kau tetap akan menjadi isteriku, hanya aku harus menyelesaikan lebih dulu tugasku yang maha penting.”

“Kanda Bun Wan, bukan sekali-kali aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi setelah kau meninggalkan aku, aku kesepian dan amat khawatir. Biarkan aku ikut denganmu, Koko, dan biarlah aku membantu tugasmu sampai selesai.”

“Tugasku berat, mungkin mempertaruhkan nyawa, Moi-moi,” kata Bun Wan halus karena dia terharu pula menyaksikan besarnya cinta kasih gadis jelita ini.

“Apalagi kalau harus mempertaruhkan nyawa, tidak boleh aku melepaskan kau, Koko. Biarlah pertanggungan itu kita pikul berdua, akan lebih ringan.”

Bun Wan menggandeng tangan Hui Siang, dituntunnya gadis itu dan diajak duduk di tempat teduh, di bawah pohon yang tinggi dan besar. Mereka duduk bersanding diatas akar pohon itu dan dengan sikap manja dan mesra Hui Siang tidak pernah melepaskan tangan kekasihnya.

“Hui Siang, lebih baik kau pulang ke Ching-coa-to dan kau tunggulah aku disana. Hatiku akan lebih tenteram mengingat bahwa kekasihku menanti disana, daripada harus melihat kau terancam bahaya bersamaku.”

“Tidak, aku tidak mau. Biar bahaya atau mati sekalipun asal bersamamu,” kata gadis itu dengan nekat.

“Wah, repot kalau kau rewel begini,” Bun Wan menggerutu, lalu berkata lagi sambil memandang wajah yang cantik itu, “Hui Siang, ketahuilah bahwa tugasku ini bertentangan sama sekali dengan ibumu, malah mungkin sekali aku akan menjadi lawan ibumu.”

Agak kaget Hui Siang mendengar kata-kata ini. Ia balas memandang, agaknya tidak percaya, akan tetapi melihat kesungguhan wajah Bun Wan, iapun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh,

“Kalau sampai Ibu memusuhimu, akupun akan berada di fihakmu.”

Kembali Bun Wan menarik napas panjang,
“Kau mana tahu urusannya ? Tidak ada urusan pribadi yang membuat ibumu mungkin memusuhiku. Akan tetapi, semata-mata urusan tugas. Ketahuilah, Hui Siang, aku yang kau jadikan pilihan hatimu, aku adalah seorang utusan Raja Muda Yung Lo di utara.”





Sambil berkata demikian, pemuda itu dengan penuh selidik menatap wajah kekasihnya.
Sejenak Hui Siang terpukul. Inilah hebat. Kalau begitu, kekasihnya ini adalah seorang mata-mata pemberontak! Betapa beraninya, sudah menggabungkan diri pula dengan Ching-coa-to. Betapa berani, pandai dan sama sekali tidak disangka-sangka. Akan tetapi ia segera menjawab mesra.

“Kau adalah laki-laki pilihanku, kau suamiku. Andaikata kau ternyata seorang utusan dari neraka sekalipun, aku akan tetap menyertai dan membantumu. Aku tidak perduli urusan negara.”

Bun Wan terharu dan merangkul leher Hui Siang. Hatinya mulai besar dan bangga. Tidak keliru dia mencintai gadis ini. Kecantikan Hui Siang luar biasa dan jarang bandingannya. Kepandaiannya lumayan dan ternyata sekarang memiliki kesetiaan pula,

“Hui Siang, aku girang mendengar pernyataanmu ini. Ketahuilah, semenjak dahulu aku adalah keturunan orang-orang pejuang. Kun-lun-pai terkenal sebagai sumber pahlawan-pahlawan pejuang dan dahulu banyak tokoh-tokoh Kun-lun-pai membantu perjuangan mendiang kaisar pendiri Kerajaan Beng. Oleh karena itu, Raja Muda Yung Lo yang menjadi keturunan kaisar menaruh kepercayaan penuh kepada Kun-lun-pai. Sekarang sedang terjadi pergolakan setelah kaisar tua meninggal dunia. Kaisar muda agaknya tidak benar dan Raja Muda Yung Lo merasa lebih berhak untuk menggantikan kedudukan kaisar daripada keponakannya, kaisar muda sekarang ini. Aku dipilih sebagai orang kepercayaan dan utusan untuk menyelidiki keadaan di selatan dan mengadakan hubungan dengan paman Tan Hok. Sebetulnya aku harus mendapatkan surat wasiat yang kabarnya oleh mendiang kaisar diberikan kepada paman Tan Hok yang sudah meninggal pula. Kuduga surat itu berada di dalam mahkota kuno itu, maka aku ikut pula memperebutkan. Sayang gagal……”

Tiba-tiba pemuda ini berhenti bicara, menarik tangan Hui Siang dan cepat melompat dari tempat yang tadi diduduki itu sambil mengangkat muka memandang keatas. Hui Siang juga memandang dan……. alangkah kaget hati mereka melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam seluruhnya, duduk diatas cabang pohon itu dengan kedua kaki tergantung.

Kakek ini sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput, pakaiannya sederhana berwarna kuning sehingga kehitaman kulitnya makin nyata. Muka yang hitam itu hampir tidak kelihatan diantara daun-daun pohon, yang tampak jelas hanyalah biji matanya.

Kakek tua renta berkulit hitam itu kini terkekeh-kekeh dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah. Kagetlah hati Bun Wan dan Hui Siang ketika melihat betapa kakek itu jatuh seperti sebatang balok. Terpelanting dan kaku dengan kepala lebih dahulu!

Akan tetapi, kekagetan hati mereka berubah kagum dan terheran-heran ketika kepala itu menyentuh tanah dengan enaknya, sama sekali tidak bersuara seakan-akan kepala yang tenyata gundul pacul itu terbuat daripada karet yang lembek dan lunak. Sejenak kakek itu berjungkir seperti itu, kemudian dia tertawa pula dan tubuhnya tiba-tiba mencelat keatas dan kini dia berdiri diatas kedua kakinya.

Kiranya dia seorang yang tinggi dan kulitnya memang hitam semua, memegang sebatang tongkat yang berwarna hitam pula, lucunya, biarpun usianya sudah ada tujuh puluh tahun, namun mulutnya masih bergigi penuh, gigi yang putih berkilau di balik kulitnya yang kehitaman ftu.

“Heh-heh-heh, orang-orang Kun-lun-pai memang semenjak dahulu pemberontak semua! Mendiang Pek Gan Siansu juga pemberontak, cucu-cucu muridnya sekarang juga pemberontak. Heh-heh-heh!”

Bun Wan cukup maklum bahwa kakek hitam ini adalah seorang yang memiliki kesaktian seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi mendengar betapa Kun-lun-pai dicela, betapa kakek gurunya dimaki pemberontak, dia menjadi penasaran dan mendongkol juga. Namun dia mempertahankan kesabarannya dan dengan hormat dia menjura dan bertanya.

“Locianpwe ini siapakah, dan apa dosanya Locianpwe memaki Kun-lun-pai sebagai pemberontak ?”

“Heh-heh-heh, bocah berlagak pahlawan, mana kau tahu namaku. Aku orang biasa saja, bukan pahlawan macam orang-orang Kun-lun-pai, dan aku dipanggil orang Hek Lojin dari Go-bi-san. Heh-heh-heh, kau penasaran karena kukatakan bahwa Pek Gan Siansu dan semua anak murid Kun-lun adalah pemberontak hina? Hemmm, bocah berlagak patriot. Setiap orang yang melawan kekuatan pemerintah yang ada dialah pemberontak! Dahulu melawan kekuasaan Pemerintah Goan (Mongol), kakek-kakekmu adalah pemberontak. Kau sekarang hendak melawan kekuasaan kaisar yang berkuasa, kaupun pemberontak. Dan akulah orang yang paling benci kepada pemberontak. Hayo kalian berdua pemberontak cilik ini menyerah, menjadi tawananku dan kubawa ke kota raja.”

Sekarang Bun Wan marah sekali. Dia memang tidak pernah mendengar nama Hek Lojin, karena memang tokoh sakti dari Go-bi-san ini jarang muncul di dunia kang-ouw dan sudah mengasingkan diri. Biarpun dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang sakti, mana dia sudi dijadikan tawanan ?

Sementara itu, Hui Siang sudah tidak dapat menahan kemarahannya karena kekasihnya dimaki-maki. Ia seorang gadis manja yang selalu mengandalkan kepandaian sendiri. Begitu melihat gelagat tidak baik, diam-diam ia sudah menyiapkan jarum-jarum beracun, senjata rahasia yang amat diandalkan karena mengandung racun ular di Ching-coa-to. Jarum ini amatlah ganas dan jahat, sedikit saja mengenai kulit lawan tentu akan mengancam keselamatan nyawanya.

“Kakek hitam sombong, makanlah ini!” bentaknya dan sekali kedua tangannya bergerak, puluhan batang jarum melesat keluar dari kedua tangannya, menyerang tubuh kakek itu dari kepala sampai kakinya.

“Ihh, ilmu keji !”

Tiba-tiba kakek itu lenyap dari situ, kiranya dia tadi menggunakan tongkat hitamnya untuk menjejak tanah sehingga tubuhnya melesat keatas, tangan kirinya menyambar beberapa batang jarum dan dari tengah udara dia berseru,

“Nih, kau makan sendiri jarum-jarum racunmu!”

Bukan main kagetnya hati Hui Siang ketika serangkum hawa yang amat dahsyat menyambarnya. Ia dapat menduga bahwa itulah pukulan jarak jauh yang amat kuat, pula disertai sambitan jarum-jarumnya sendiri. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun terlambat, masih ada tiga batang jarum dengan tepat sekali menancap diatas dadanya. Gadis itu menjerit dan roboh, tak berkutik lagi karena seketika ia menjadi pingsan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menerjang kakek itu dengan pedangnya.

Hek Lojin tertawa bergelak, melayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya tergetar dan sakit-sakit. Namun kemarahannya melihat Hui Siang roboh membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.

“Bagus!! Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!”

Memang sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu, malah beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas dari pegangannya.

Setelah lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening karena benteng hitam itu makin melebar dan makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandang matanya gelap dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam.

Akhirnya dia tidak tahu lagi dimana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya telah kena tampar tangan kiri kakek itu. Perlahan saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras, terguling roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat bergerak sama sekali.

“Heh-heh-heh, segala pemberontak hijau. Biarlah mati disini, tidak perlu kubawa lagi, membikin repot saja.”

Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga dari atas datangnya. Dia kaget dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali emas yang besar sekali menukik ke bawah ditungganggi oleh seorang laki-laki muda yang agaknya buta kedua matanya.






No comments:

Post a Comment