Ads

Friday, February 8, 2019

Pendekar Buta Jilid 106

“Kim-tiauw-ko, jangan serang orang!”

Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan diapun melompat turun keatas tanah. Seperti kita ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu dan menyuruhnya terbang berputaran diatas hutan.

Pagi hari itu, entah mengapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang orang, maka cepat dia mencegahnya dan meloncat keatas tanah karena hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan mendekati tanah.

Namun burung rajawali emas itu tetap saja marah-marah, memekik-mekik dan mengeluarkan suara melengking tinggi, siap untuk menyerang Hek Lo jin yang sudah hilang kagetnya dan kini kakek itulah yang berbalik menjadi marah. Dia adalah seorang sakti, biasanya ditakuti orang. Melihat mukanya yang hitam saja, orang-orang sudah pada takut, apalagi menyaksikan sepak terjangnya yang sakti. Kini ada seorang bocah buta dan burung rajawali datang-datang menimbulkan kekagetannya, tentu saja dia marah.

“Burung keparat, kau kira kau ini luar biasa gagahnya maka berani membikin kaget Hek Lojin. Apa kau sudah bosan hidup Keparat!”

Rajawali emas adalah seekor burung sakti, yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang sakti. Andaikata dia tidak dapat menangkap ucapan kakek itu, setidaknya dia dapat merasa bahwa kakek itu marah dan memaki-maki serta menantangnya. Maka diapun lalu membuka sepasang sayapnya, matanya memandang berapi-api, siap untuk menerjang. Mulutnya mengeluarkan pekik tantangan mengagetkan Kun Hong.

“Kim-tiauw-ko, sabarlah. Locianpwe, harap suka mengalah terhadap burung sahabat baikku ini…….”

“Burung jahat ini harus dibunuh, kalau tidak hanya akan mendatangkan kekacauan belaka!”

Hek Lojin yang merasa ditantang oleh burung itu, sudah menggerakkan tongkatnya memukul. Hebat pukulan ini, mendatangkan angin berdesir, agaknya dia hendak menewaskan burung itu sekali pukul!

Rajawali emas itu agaknya tahu pula akan kehebatan pukulan ini, maka dia cepat melejit dan mengelak, Kun Hong yang dapat menangkap angin pukulan, dia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek yang berangasan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan lawan burungnya. Tahu pula bahwa kakek itu benar-benar hendak membinasakan rajawali maka cepat dia menjura dan berkata,

“Locianpwe, sudahlah. Biarlah aku yang mintakan maaf kalau burungku bersalah, dan biarlah kami pergi tidak mengganggumu lagi.”

Akan tetapi Hek Lojin sudah semakin panas perutnya. Dia seorang ahli silat kelas tinggi, seorang yang kesaktiannya sudah menggemparkan Go-bi-san, masa sekarang sekali pukul tidak dapat mengenai tubuh burung celaka itu? Apalagi melihat kini kim-tiauw lincak-lincak (berloncatan) seakan-akan mengejek, hawa amarah sudah naik ke ubun-ubunnya.

“Burung iblis, mampuslah!”

Tongkatnya kini diputar cepat dan sekali terjang dia sudah mengirim belasan jurus. Kagetlah Kun Hong. Lebih kaget lagi burung itu sendiri, karena biarpun dia sudah mengibaskan sayap, sudah mengelak dan menangkis dengan cakarnya, namun tetap saja punggungnya terkena gebukan satu kali, membuat dia terlempar beberapa meter dan banyak bulunya yang kuning emas rontok.

Akan tetapi dasar burung sakti, pukulan itu biarpun mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya. Hai ini membuat Hek Lojin kaget dan heran, akan tetapi malah makin marah.

Ketika dia menerjang lagi, ternyata Kun Hong sudah berdiri menghadangnya. Pemuda ini maklum bahwa burungnya tidak mungkin dapat melawan kakek ini dan kalau dia diamkan saja, berbahayalah bagi kim-tiauw.

“Locianpwe, sekali lagi, harap kau suka maafkan kami. Diantara kita tidak ada permusuhan, maka untuk apakah urusan kecil ini dibesar-besarkan dan pertempuran yang tidak ada gunanya dilanjutkan?”

Melihat sikap pemuda buta ini, Hek Lojin menahan kemarahannya. Dia dapat menduga bahwa kalau burungnya demikian hebat, pemiliknya tentu bukan orang lemah pula. Hanya saja orang ini masih sangat muda, apalagi buta, kepandaian apakah yang dimilikinya? Maka dia memandang rendah dan berkata,

“Kalau kau pemiliknya dan mintakan maaf, aku mau memberi ampun asal kau bisa menyuruh dia berlutut dan mengangguk tujuh kali di depanku untuk minta ampun.”





Kun Hong kaget dan bingung. Dia cukup mengenal watak kim-tiauw. Burung itu angkuh sekali, mana sudi merendahkan diri dan berlutut minta ampun seperti itu? Tidak mungkin!

“Menyesal sekali, hal itu tidak mungkin dapat kulakukan, Locianpwe, karena burung itu tidak pernah diajar berlutut, tentu tidak bisa dan tidak mengerti kalau kusuruh berlutut.”

Dalam hal ini Kun Hong membohong, karena kalau dia mau, burung itu akan melakukan ini dengan amat mudahnya. Soalnya, burung itu tentu tidak sudi berlutut di depan orang tua galak ini.

“Hemm, burungnya jahat dan sombong, pemiliknya amat baik,” kakek itu menggerutu. “Sudahlah, kalau dia tidak bisa disuruh berlutut, biar kau yang mewakili juga tidak apa.”

Hebat kesombongan Kakek ini. Akan tetapi, memang pada dasarnya Kun Hong adalah seorang yang amat penyabar dan luas pandangannya. Apa salahnya berlutut di depan seorang kakek yang memiliki kepandaian tinggi ini, pikirnya. Kalau dia tidak mau memenuhi permintaan ini tentulah terjadi pertempuran hebat yang sama sekali tidak ada sebabnya, pertempuran yang tiada gunanya. Maka dia tersenyum dan segera menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala tujuh kali.

Kakek itu girang dan agaknya hendak menguji kelihaian Kun Hong karena dia segera mengangkat sebelah kakinya dan dilayangkan keatas kepala Kun Hong. Penghinaan yang hebat!

Kun Hong menggigit bibirnya karena biarpun matanya buta, tentu saja telinganya dapat menangkap gerakan ini dan kalau dia mau, sekali menggerakkan tangan tentu dia mampu merobohkan kakek sombong itu ketika si kakek melakukan gerakan yang menghina dan juga berbahaya bagi diri kakek itu sendiri. Dia pura-pura tidak tahu dan kakek itu tertawa bergelak-gelak sambil menyeret tongkatnya, pergi dari situ. Masih terdengar suaranya dari jauh terkekeh-kekeh dan berkata,

“Ajaib sekali, burung demikian kuatnya memiliki majikan begitu lemah, heh-heh-heh!”

Setelah suara kakek itu tidak terdengar lagi, Kun Hong bangkit dan menggerutu,
“Berbahaya sekali…….”

Dia maksudkan berbahaya kalau dia tidak mampu mempertahankan kesabarannya tadi, tentu akan terjadi pertempuran hebat karena dia dapat menduga bahwa ilmu kepandaian kakek itu memang amat tinggi.

“Kim-tiauw-ko, kenapa kau mencari gara-gara?”

Dia menegur burung itu, Burung rajawali meloncat ke dekatnya, menyambar ujung lengan bajunya dan dengan suara menggereng panjang burung itu menariknya dari situ.

Kun Hong heran dan mengikuti Burung itu berhenti dan menarik dia supaya berjongkok. Dengan hati mengandung penuh pertanyaan Kun Hong berjongkok, tangannya meraba dan……. jari-jari tangannya menyentuh tubuh seorang laki-laki yang pingsan dan menderita luka dalam yang hebat. Tangannya meraba lagi ke kiri dan……. kali ini menyentuh tubuh seorang wanita. Dia berseru kaget karena wanita ini malah lebih hebat lagi keadaannya. Tubuhnya panas membara seperti terbakar, napasnya sesak, tanda bahwa ia menderita luka yang hampir mencabut nyawanya.

“Celaka……. ah, kim-tiauw-ko, kiranya aku benar-benar buta!”

Dia menyumpahi diri sendiri karena sekarang mengertilah dia bahwa burung itu tadi menyerang seorang kakek yang baru saja merobohkan dua orang muda secara ganas dan keji!

Cepat dia memeriksa laki-laki itu. Tahu bahwa laki-laki itu menderita pukulan dengan tenaga Iweekang yang hebat pada punggungnya, dia cepat mengurut dan menotok beberapa jalan darah. Hatinya lega karena dia mendapat kenyataan bahwa orang ini tidak berbahaya lagi sekarang keadaannya. Dia cepat mengalihkan perhatian pada wanita itu.

Hatinya berdebar karena sungkan dan ragu ketika jari-jari tangannya meraba tubuh seorang wanita yang masih muda. Apalagi setelah dia melakukan pemeriksaan teliti, dia mendapat kenyataan bahwa wanita ini terkena senjata rahasia halus di dadanya dan berada dalam keadaan yang membahayakan keselamatan nyawanya. Dia bingung dan ragu.

“Apa boleh buat, demi menolong nyawanya.”

Akhirnya dia menggerutu seorang diri. Cepat diturunkannya buntalannya dan digeledahnya saku-saku bajunya, lalu dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Tanpa ragu-ragu lagi karena maklum bahwa kelambatan akan berbahaya bagi wanita ini, dia lalu merobek baju wanita itu di bagian dadanya. Rabaan jari-jari tangannya menyatakan bahwa kulit dada itu ditembusi tiga batang jarum kecil yang rupanya mengandung bisa yang mendatangkan hawa panas.

“Hemmm, agaknya racun ular,” gumamnya sendiri setelah dia memencet luka itu, mengeluarkan sedikit darah dan diciumnya darah di jarinya.

Cepat dia mengerahkan kepandaiannya, menusuki beberapa jalan darah dengan jarum peraknya untuk mencegah racun itu menjalar. Dari detak jantung dia mendapat kenyataan yang menimbulkan harapan bahwa racun itu belum menjalar sampai ke dalam jantung. Pada tusukan terakhir di dekat leher, tubuh wanita itu bergerak dan terdengar ia mengeluh perlahan sekali, akan tetapi disusul suaranya penuh kekagetan,

“Aduhhhh……. tua bangka keparat……. eh……. heeeee, siapa kau, lepaskan aku……!”

Berdebar jantung Kun Hong karena telinganya serasa mengenal suara ini, akan tetapi dia lupa lagi siapa dan dimana.

“Tenanglah, Nona, aku berusaha mengobatimu,” katanya dengan suara dingin dan halus.

“Kau…….? Ah, kau……. Kwa Kun Hong Pendekar buta…….”

Kini teringatlah Kun Hong. Kiranya nona ini adalah Giam Hui Siang, “siocia” yang amat galak dari Ching-coa-to. Kalau begitu, apakah laki-laki yang pingsan ini pemuda Kun-lun-pai, Bun Wan itu? Ah, apa bedanya ? Hal itu tidak penting baginya, yang penting hanya bahwa dia harus mengobati dua orang yang terancam bahaya maut ini, siapapun juga mereka.

“Harap kau diam, jangan bergerak, Nona. Kau telah terkena senjata rahasia yang mengandung racun ular, biar kukeluarkan tiga batang jarum ini.”

Hui Siang mengeluh, akan tetapi ia benar-benar tidak bergerak sekarang. Kedua tangannya ia pergunakan untuk menutupi mukanya karena biarpun ia tahu bahwa Kun Hong adalah seorang buta dan tidak dapat melihatnya, namun sebagai seorang gadis tentu saja ia menjadi jengah dan malu sekali karena bajunya terobek seperti itu dan Kun Hong meraba-raba kulit tubuh bagian dada!

Karena maklum bahwa dia berlomba dengan waktu untuk menolong gadis ini, Kun Hong lalu mengerahkan tenaga Iweekangnya, menggunakan hawa sinkang disalurkan ke telapak tangan, kemudian telapak tangannya dia tempelkan keatas luka-luka di dada itu dengan tenaga “menyedot”.

Dia menekan perasaan hatinya untuk melupakan perasaan tangannya yang meraba bagian tubuh yang dirahasiakan itu, membekukan perasaan ini dengan keyakinan bahwa dia tidak memiliki kehendak lain kecuali sebagai ahli obat hendak menolong nyawa seseorang.

Usahanya berhasil baik. Tiga batang jarum yang sudah menancap sampai tidak kelihatan lagi di dalam dada itu, kini tersembul dan sempat Kun Hong menjepit dan mencabuti keluar ketiganya.

Akan tetapi tidak ada darah mengucur keluar. Kagetlah Kun Hong. Hal ini hanya menjadi bukti bahwa racun itu telah bekerja, darah telah membeku dan tidak dapat keluar karena tertutup oleh gumpalan darah matang yang kotor oleh racun. Kalau saja dia bisa mendapatkan beberapa macam daun obat yang mempunyai sifat menghisap, nona ini akan cepat tertolong. Akan tetapi dia tidak mempunyai daun itu dan untuk mencarinya, tidaklah mudah, apalagi dia seorang buta.

“Nona, kau maafkanlah aku, tidak ada jalan lain mengeluarkan racun dari dalam luka di dadamu kecuali dihisap dengan mulut. Kau diam sajalah, tidak lama tentu sembuh.”

Terpaksa sekali, tanpa memperdulikan apa-apa lagi karena khawatir kalau-kalau racun akan makin meresap ke dalam, Kun Hong menundukkan mukanya dan menggunakan mulutnya menyedot luka-luka di dada itu sambil mengerahkan tenaga sinkang.






No comments:

Post a Comment