Ads

Thursday, February 7, 2019

Pendekar Buta Jilid 104

Tan Beng Kui mempertahankan diri mati-matian. Dia maklum bahwa kalau dia terlalu cepat jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh tiga orang ini.

Dia tadi sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya lega. Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya. Kenyataan bahwa pemuda itu seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya, karena dia sudah sering kali mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu dahulunya juga serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu memiliki kecerdikan tinggi.

“Siaaattttt!”

Ujung lengan baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir, biarpun dia sudah berhasil mengelak, namun angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah menusuk kearah perut.

“Siiiinggggg!”

Tarikan pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas sehingga dia terpaksa melompat mundur.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk mengirim tusukan maut kearah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.

“Omitohud, kau bosan hidup…….” seru hwesio itu.

Ujung lengan bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat pedangnya, tidak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh mengelak daripada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat kearah pergelangan tangan yang memegang tanduk rusa.

Namun pada saat itu, tangan kiri dengan telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar.

“Plaakkkk…….!”

Tan Beng Kui mengaduh, pedangnya terlepas dari tangan dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, mukanya pucat sekali. Dia telah menerima tamparan maut yang mengandung tenaga Iweekang dan yang telah merusak isi dadanya.

Akan tetapi dia benar-benar gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam, dengan nekat dia lalu menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan kearah Bhok Hwesio sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

Bhok Hwesio tersenyum mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka. Kedua tangan itu bertumbukan di udara, akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah hwesio ini, tidak disangkanya bahwa dalam keadaan terluka hebat, lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.

Tan Beng Kui roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini dengan sebuah pukulan tangan kiri.

Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.

“Criiiinggggg…….!”

Gui Hwa menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut memandang dan tahu-tahu disitu sudah berjongkok seorang laki-laki gagah perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.





“Omitohud……. bukankah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San tai-hiap yang datang ini…….?” seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal laki-laki itu.

Memang tidak salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu.

Dia tidak menjawab kata-kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah. Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.

“Aduh, kau Beng San……. kau adikku……. siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui kematianku…….”

Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti ketawa karena kembali dia muntahkan darah. Beng San cepat mengurut dadanya dan menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri.

Mendadak Beng Kui mendapatkan kembali tenaganya dan dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.

“Beng San, adikku, terima kasih……. jangan kau mencampuri urusanku.”

“Kui-koko, mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas dirimu…….”

“Tidak! Mereka adalah orang-orang kaisar yang hanya melakukan tugas dan aku……. ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku….. ahh……. Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu……. dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa Jepang, Nagai……. eh, Nagai Ici, ha-ha-ha ! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui mayatku. Aku belum menjadi mayat dan……. anakku sudah pergi jauh……. tidak mungkin kalian kejar, ha-ha-ha !”

Mendadak dia menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara mengawur.

Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbareng mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu bangun kembali. Beng San cepat menghampirinya, berlutut.

“Beng San……. kau melupakan semua kesalahanku dahulu……. bagus, beginilah adikku sejati……. huh……. aku titip Loan Ki……. Loan……. Ki…….”

Dan pendekar pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang sejak dahulu dimusuhinya ( baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas ).

Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan tubuh kakak kandungnya diatas tanah, kemudian dia bangkit perlahan, berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Kemudian terdengar suaranya, jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.

“Aku mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak mencampuri urusan kalian bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran kepada Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!”

Dengan pedang melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya ditahan-tahan.

“Omitohud…….!” Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. “Selamanya Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai-san……”

“Losuhu tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!”

Lui-kong Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama besar Raja Pedang ini, apalagi tadi sekali gebrak saja Raja Pedang ini berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa. Hanya Bhok Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar.

“Tugas pinceng adalah mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang membikin kacau negara, sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapapun juga, Tan-taihiap, selamat berpisah.”

Dia lalu membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya. Beng San masih berdiri tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak kandungnya.

Biarpun kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya itu, pula, iapun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di fihak yang salah.

Setelah tiga orang itu tidak tampak bayangannya lagi, kembali ke jurusan kota raja, dia lalu berjongkok dan dengan perasaan berat sekali dia lalu memondong jenazah kakaknya, mencarikan tempat yang baik tanahnya di dalam hutan sebelah timur kota raja, lalu menguburnya dengan penuh hormat dan khidmat.

Tubuh pendekar pedang ini tampak kurus dan agak pucat. Memang dia telah menderita tekanan batin yang hebat. Anaknya, Cui Sian, diculik orang, Thai-san-pai dirusak binasakan musuh, banyak anak murid yang tewas, isterinya marah-marah dan melarikan diri mencari Cui Sian. Dia sendiri sudah berkelana mencari jejak isteri dan menyelidiki tentang musuh-musuh yang telah menyerbu Thai-san dan yang telah menculik anaknya.

Dari beberapa orang kenalan di dunia kang-ouw, dia dapat mendengar bahwa tiga orang wanita yang berilmu tinggi itu sangat boleh jadi adalah Ang Hwa Sam-ci-moi yang belum pernah dia dengar namanya karena tiga orang tokoh ini baru beberapa tahun saja memasuki pedalaman, datang dari See-thian.

Akan tetapi ketika mendengar bahwa tiga orang kakak beradik ini adalah para sumoi (adik seperguruan) Hek Hwa Kui-bo, kecurigaannya menebal. Kalau mereka itu sumoi-sumoi dari Hek Hwa Kui-bo, sangat boleh jadi mereka melakukan perbuatan itu untuk membalas dendam terhadap suci (kakak seperguruan) mereka.

Akan tetapi kiranya mereka tidak bekerja bertiga saja, tentu ada orang-orang lain. Sukarnya, tidak seorangpun tahu dimana adanya Ang Hwa Sam-ci-moi itu. Dia seakan-akan meraba di dalam gelap dan perantauannya membawanya ke kota raja karena dia berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai keadaan orang-orang besar di dunia kang-ouw, lebih mudah diselidiki di kota raja. Apalagi karena urusan di Thai-san ini agaknya ada hubungannya dengan kematian Tan Hok, berarti ada hubungan urusan kerajaan, karena semenjak dahulu Tan Hok adalah seorang pejuang dan bahkan akhir-akhir ini menjadi pembesar yang dipercaya oleh kaisar pertama Ahala Beng.

Demikianlah, secara kebetulan sekali, diluar kota raja dia melihat pengeroyokan atas diri Tan Beng Kui. Sayang dia terlambat sehingga kakak kandungnya itu tewas dalam pertempuran. Setelah dia selesai mengubur jenazah kakaknya, Beng San ragu-ragu untuk memasuki kota raja.

Kemudian dia teringat akan Loan Ki. Setelah pertemuan terakhir dengan kakak kandungnya, timbullah secara tiba-tiba kerinduan hatinya untuk bertemu dengan keturunan kakaknya ini, dengan keponakan tunggalnya.

Semenjak berpisah dengan kakaknya belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dan tidak tahu keadaan kakaknya itu. Sekarang pertemuan terakhir membangkitkan kembali kasih sayang lama. Loan Ki, Tan Loan Ki, demikian nama keponakannya. Dengan pemuda Jepang? Pesan terakhir kakaknya terngiang di telinganya. Ledih baik sekarang menyusul Loan Ki. Mengapa tidak? Selain dia dapat bertemu dengan keponakannya itu dan dapat menjaganya serta memberi petunjuk, juga dari keponakannya itu dia dapat mendengar banyak tentang kakaknya, tentang keadaan kota raja. Siapa tahu keponakannya itu akan mendengar pula tentang Thai-san-pai. Maklumlah puteri seorang pendekar seperti kakaknya tentu tidak asing pula dengan keadaan dunia kang-ouw.

Berpikir demikian, Beng San lalu melompat dan berlari cepat sekali, menyusul keponakannya yang agaknya lari kearah timur seperti yang tadi ditunjuk oleh kakaknya. Ilmu lari cepat yang dipergunakan oleh Beng San ini adalah Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng-kang-hu, ilmu lari cepat yang dilakukan sambii melompat-lompat dan kecepatannya seperti terbang saja.

**** 104 ****





No comments:

Post a Comment