Ads

Wednesday, February 6, 2019

Pendekar Buta Jilid 100

Hui Kauw mengerahkan kepandaiannya, berlari cepat mengejar pula. Ia dapat mendahului para pengawal dan dengan cepatnya ia mengejar sampai keluar pintu gerbang. Kakek itu seperti bukan manusia, melarikan diri bukan melalui pintu gerbang, melainkan melayang naik keatas tembok kota yang luar biasa tinggi itu! Dia sendiri dengan mudah dibiarkan lewat pintu gerbang oleh para penjaga. Akan tetapi setibanya di luar tembok kota, ia tidak melihat lagi bayangan kakek aneh itu.

Selagi ia kebingungan, ia melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang. Ketika ia mengenal bahwa orang itu adalah Bun Wan dan gerak-geriknya mencurigakan, ia cepat mengejar, tidak memperhatikan lagi dua orang yang sudah mengejar lebih dahulu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu Loan Ki memaki dan menerjangnya.

“Aiihhhhh, kiranya kau disini?” tegurnya seraya mengelak.

“Kau dan manusia she Bun itu bersekongkol, ya? Awas, hari ini aku tidak akan ampunkan kalian berdua!” seru Loan Ki mendongkol.

Memang sudah menjadi kebiasaannya untuk bersikap menang-menangan sendiri sehingga ucapannyapun jumawa sekali, padahal ia tahu bahwa baik Bun Wan maupun Hui Kauw ini, memiliki kepandaian yang melebihi dirinya!

“He, jangan sembarangan menuduh!” seru Hui Kauw mendongkol. “Siapa sudi bersekongkol dengan dia itu? Akupun hendak mengejarnya, karena dia kelihatan mencurigakan.”

Sambil berkata demikian, tanpa memperdulikan Loan Ki lagi, Hui Kauw cepat mengejar Bun Wan. Loan Ki dan Nagai Ici juga mengejar.

Dalam ilmu lari cepat, ternyata Bun Wan masih kalah setingkat oleh Hui Kauw. Memang ibu angkat nona ini, Ching-toanio, terkenal lihai ilmu lari cepatnya yang disebut Chouw-siang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan ilmu lari cepat yang luar biasa ini telah pula diturunkan kepada Hui Kauw. Maka setelah lewat sepuluh li jauhnya, Hui Kauw sudah dapat menyusul Bun Wan. Sambil mencabut pedangnya Hui Kauw berseru keras,

“Berhenti dulu!” Nona ini sudah melihat betapa tangan kiri Bun Wan memegang mahkota kuno itu. “Kembalikan mahkota itu kepadaku!”

Bun Wan memandang heran dan penasaran.
“Nona Hui Kauw, ketahuilah, aku merampas mahkota ini untuk ibumu!”

“Tidak perduli, kau harus serahkan kepadaku dan pergilah dengan aman.”

“Tapi……. bagaimanakah kau ini? Mahkota ini hendak kuserahkan ke Ching-coa-to……”

“Berikan kepadaku!”

“Nona, apakah kau sekarang membalik dan memusuhi ibumu sendiri!”

“Tak usah banyak cakap, kembalikan kepadaku!”

Bangkit kemarahan Bun Wan. Kesempatan berhenti lari ini dia pergunakan untuk memasukkan mahkota kuno yang tidak besar itu ke dalam saku bajunya, kemudian dia menggerakkan pedang yang sejak tadi sudah berada di tangan kanan.

“Heemmm, banyak sekali aku mengalah kepadamu. Sekarang terpaksa aku tidak dapat menyerahkan mahkota itu kepadamu, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?”

“Pedangku akan memaksamu!” bentak Hui Kauw dan pedangnya langsung bergerak melakukan penyerangan kilat.

Bun Wan cepat menangkis dan pemuda ini maklum akan kepandaian nona yang ternyata lebih lihai daripada Hui Siang ini, maka diapun mengerahkan tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang kuat. Dia maklum bahwa dirinya menjadi kejaran para pengawal kerajaan, maka dia tidak mau membuang banyak waktu lagi. Semua jurus yang dimainkannya adalah jurus pilihan dari Kun-lun Kiam-sut sehingga lihainya bukan kepalang.

Dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja, paling banyak dalam sepuluh atau belasan jurus, dia akan sudah mampu menundukkan lawannya ini. Akan tetapi alangkah heran, kaget dan penasarannya ketika dia menghadapi ilmu pedang yang aneh dan kuat bukan main, ilmu pedang yang jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dia kenal dimiliki oleh Hui Siang dan Ching-toanio. Hebat ilmu pedang gadis muka hitam ini, malah agaknya tidak kalah oleh kepandaian Ching-toanio sendiri.





“Kau benar-benar tidak tahu orang mengalah!” bentaknya dan pedangnya kini melakukan penyerangan kilat yang mematikan, karena dia tidak mau memberi hati lagi, apabila setelah melihat betapa dari jauh datang berlarian dua orang yang tadi di kota raja sudah mengeroyoknya, yaitu nona lincah galak yang dahulu pernah dia lihat di Ching-coa-to bersama Kun Hong, dan seorang pemuda yang dia tidak kenal, akan tetapi yang mempunyai pedang panjang aneh serta ilmu pedang yang ganjil pula.

Menghadapi dua orang yang pernah mengeroyoknya tadi itu, dia tidak merasa gentar, akan tetapi ilmu pedang Hui Kauw ini benar-benar membuat dia pusing. Hendak lari, selain malu, juga akan percuma saja karena tadi sudah ternyata olehnya betapa hebat ilmu lari cepat nona ini, sama dengan Hui Siang hebatnya.

Dengan seluruh kepandaiannya, Bun Wan menyerang Hui Kauw dan terasalah oleh nona ini betapa kuat ilmu pedang pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mulai terdesak, karena sungguhpun ilmu pedang rahasia yang ia pelajari itu merupakan ilmu pedang yang aneh dan luar biasa, namun selama ini ia hanya berlatih seorang diri saja, tidak pernah ia pergunakan untuk bertempur sehingga kurang berhasil sekarang.

Betapapun juga, daya pertahanan ilmu pedang ini jauh lebih kuat daripada ilmu pedang yang ia pelajari dari Ching-toanio. Sungguhpun sekarang ia mulai terdesak dan jarang dapat membalas serangan lawan, namun kiranya untuk mengalahkan ilmu pedangnya ini, membutuhkan waktu yang tidak pendek.

Sementara itu, Loan Ki dan Nagai Ici yang mengejar cepat, kini telah tiba di tempat pertempuran. Melihat betapa Hui Kauw benar-benar bertempur melawan Bun Wan, Loan Ki segera dapat cepat mengambil fihak. Ia memberi tanda kepada Nagai Ici dan menyerbulah mereka berdua, mengeroyok Bun Wan!

Tentu saja pemuda Kun-lun-pai itu menjadi repot bukan main, apalagi ilmu pedang Loan Ki terhitung ilmu pedang yang tinggi juga, gayanya indah membingungkan karena ilmu pedang ini adalah Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Hanya saja nona ini belum matang betul kepandaiannya, karena memang ia anak manja yang sering kali malas-malasan untuk berlatih.

Juga ilmu pedang pemuda tampan gagah yang amat aneh itu membingungkannya, karena ilmu pedang pemuda itu memiliki daya serang yang luar biasa kuat dan berbahayanya, biarpun jarang sekali menyerang karena gayanya banyak diam menanti saat dan kesempatan, namun sekali menyerang amat mengagetkan dan membahayakan.

Pedang panjang itu lalu berkelebat seperti halilintar menyambar dan sekali terkena sabetan, tentu tubuh akan putus menjadi dua potong! Apalagi pekiknya yang amat nyaring dan mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya serangan itu.

Bun Wan mulai gelisah dan akhirnya dia dikurung rapat, menangkis kanan kiri, mengelak kesana kemari tanpa mampu balas menyerang. Akhirnya dia berkata dengan suara keras,

“Kalian bertiga ini apakah sudah menjadi anjing-anjing istana pula? Nona Hui Kauw, apakah kau selain memusuhi ibu sendiri juga menghambakan diri kepada kaisar?”

Marah sekali Loan Ki karena ia dibawa-bawa dalam tuduhan ini.
“Tutup mulutmu yang rusak! Siapa menjadi anjing istana? Kembalikan mahkota itu kepadaku. Benda itu milikku dahulu sebelum dirampas di Ching-coa-to!”

“Hemm, manusia-manusia goblok yang hanya mengejar harta benda!” Sambil menangkis pedang Loan Ki, Bun Wan kembali berteriak. “Kalau kalian, menghendaki mahkota ini, akupun tidak membutuhkan. Akan tetapi tunggulah aku mencari sesuatu di dalamnya, setelah benda tersembunyi itu kuambil, biarlah mahkota ini kuberikan kepadamu. Bagaimana?”

Memang yang dia perebutkan adalah surat rahasia, bukan mahkota, maka setelah dia terdesak hebat, Bun Wan mencari akal dengan jalan damai. Kalau surat itu sudah dapat dia temukan, untuk apakah baginya mahkota emas ini?

Loan Ki dan Nagai Ici tidak tahu-menahu tentang surat rahasia, maka mendengar ini mereka meragu dan mengendurkan penyerangan, Loan Ki masih ingat betapa di Ching-coa-to, pemuda Kun-lun-pai ini telah menolong Kun Hong dan minta kepada orang-orang Ching-coa-to untuk membebaskan Kun Hong. Oleh karena itu, iapun tidak berniat membunuhnya dan kalau tidak terpaksa karena memperebutkan mahkota emas, iapun tidak akan memusuhi pemuda ini.

Akan tetapi tidak demikian dengan Hui Kauw. Mendengar omongan Bun Wan itu, ia terkejut sekali. Ia mempertahankan mahkota kuno itu demi kepentingan Kun Hong dan ia sudah mendengar dari Kun Hong bahwa Pendekar Buta itu sama sekali tidak menghendaki mahkota, melainkan surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Apapun juga jadinya, ia harus membantu Kun Hong, dan surat itu harus dapat ia berikan kepada Kun Hong, kalau bisa tentu saja berikut mahkotanya.

“Tak usah banyak cakap, berikan mahkota itu kepadaku atau……. mampuslah!” pedangnya menyambar hebat sehingga terpaksa dengan gugup dan cepat Bun Wan menangkis sekuatnya.

“Traaaannnggggg…….!!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan kerasnya. Alangkah kagetnya hati Bun Wan ketika tiba-tiba pedang di tangan Hui Kauw itu begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim bacokan kearah pundaknya.

Dia segera menjatuhkan diri kekiri dan bergulingan. Maksudnya dia hendak menggunakan cara ini untuk menjauhkan diri, dan mencari kesempatan untuk meloncat dan melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin disusul bersiutnya sambaran pedang bersinar merah. Dia lebih kaget lagi, cepat melompat bangun sambil menggerakkan pedang menangkis. Itulah pedang samurai merah dari Nagai Ici yang sudah menerjangnya, disusul pedang Loan Ki. Dalam sekejap mata saja Bun Wan sudah dikurung dan dikeroyok tiga lagi.

“Baiklah, aku akan mengadu nyawa!” teriak Bun Wan dan dia menjadi nekat, membalas serangan tiga orang pengeroyoknya dengan jurus-jurus terlihai.

Namun kenekatannya tiada guna, malah membahayakan karena memang tiga orang pengeroyoknya itu berada di fihak yang jauh lebih kuat. Lewat belasan jurus, pedang Hui Kauw berhasil melukai pundaknya yang sebelah kanan. Pada saat itu, pedang samurai merah di tangan Nagai Ici menyambar ganas kearah lehernya.

Bun Wan tidak sempat lagi mengelak, pundaknya terasa sakit dan menghadapi berkelebatnya samurai merah itu, dia menangkis dan pedangnya terlepas dari tangan. Tenaga Nagai Ici amat besar dan pada saat itu, pundak kanan Bun Wan sudah terluka sehingga tangan kanannya berkurang tenaganya sehingga ketika menangkis, tidak dapat dia pertahankan lagi terlepasnya pedang dari tangan.

Secepat kilat Hui Kauw menyambar dengan pedangnya, terdengar kain robek dan dilain saat mahkota itu sudah berada di tangan si nona muka hitam dan baju Bun Wan sudah terobek ujung pedang.

Loan Ki dan Nagai Ici berbareng mengirim tusukan. Bun Wan maklum bahwa tidak mungkin dia dapat menghindarkan dua tusukan ini, maka dia meramkan mata menanti maut.

“Traaanggg! Traanngggg!!”

Loan Ki dan Nagai Ici cepat menarik pedang masing-masing dan tangan mereka tergetar. Kiranya Hui Kauw yang menangkis senjata mereka tadi.

“Jangan bunuh dia!” kata Hui Kauw, suaranya gemetar. “Dia calon suami Hui Siang……”

Loan Ki memandang tajam kepada Hui Kauw, dapat mengerti perasaan nona ini dan tidak terus menyerang. Hui Kauw yang melihat Bun Wan menundukkan kepala akan tetapi sepasang mata pemuda itu melirik dengan penuh kekecewaan, berkata perlahan,

“Pergilah!”

Bun Wan membanting kakinya.
“Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!”

Akan tetapi karena dia tidak berdaya lagi, dia memungut pedangnya lalu pergi dari tempat itu dengan cepat.

“Berikan benda itu kepadaku!”

Loan Ki berkata, kini menghadapi Hui Kauw dengan sikap mengancam. Nagai Ici juga sudah berdiri di sampingnya, siap untuk membantu nona kekasih hatinya ini menghadapi siapapun juga. Hatinya mulai kagum. Dalam waktu singkat dia telah menyaksikan banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.

Pemuda yang dikeroyok tadi juga amat mengagumkan hatinya. Luar biasa ilmu pedangnya. Lalu nona muka hitam ini, bukan main. Apalagi Si Pendekar Buta tadi yang dikeroyok banyak orang pandai. Mulai dia merasa girang, timbul harapannya mendapatkan guru sakti seperti yang dicita-citakannya.






No comments:

Post a Comment