Ads

Thursday, February 7, 2019

Pendekar Buta Jilid 101

Melihat sikap Loan Ki, Hui Kauw tersenyum. Ia maklum bahwa Loan Ki ini adalah sahabat baik Kun Hong, maka tentu saja ia tidak mau memusuhinya. Dengan halus ia berkata,

“Adik Loan Ki, ketahuilah, mahkota ini kuperebutkan untuk kuserahkan kepada Kun Hong.”

Tiba-tiba mukanya yang menghitam itu menjadi gelap karena ia merasa jengah menyebutkan nama ini di depan Loan Ki yang dahulu menyaksikan peristiwa pengantin gagal di Ching-coa-to.

“Kau bohong! Kulihat tadi Kun Hong dikeroyok dan hampir celaka oleh banyak orang pandai, kau tidak membantunya malah memperebutkan mahkota.”

Kaget sekali hati Hui Kauw mendengar ini.
“Betulkah itu? Siapa yang mengeroyoknya?”

“Kulihat seorang hwesio kosen, seorang laki-laki hitam, seorang pemuda berpedang dan……. dan…….” Loan Ki tergagap karena berat rasa lidahnya untuk menyebut nama ayahnya.

“Dan ayahmu juga?”

Hui Kauw menegas dengan muka berubah pucat dan hati berdebar penuh kecemasan. Celaka kalau Kun Hong sudah dilihat musuh dan dikeroyok. Pantas saja A Wan juga diganggu, kiranya para jagoan istana sudah datang. Ia tahu bahwa pasti ayah Loan Ki, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui juga ikut pula mengeroyok, biarpun Loan Ki diam saja namun sinar mata gadis lincah itu nampak gugup dan malu.

“Adik Loan Ki, kau berfihak siapakah? Kun Hong atau ayahmu?” Tiba-tiba Hui Kauw bertanya dengan sungguh-sungguh.

Bingunglah Loan Ki ditanya begini oleh Hui Kauw,
“Ah……. aku tidak bisa memilih…..” akhirnya ia menjawab juga. “Kalau tadi aku tidak melihat ayah disana, pasti aku ajak temanku ini membantu Kun Hong…….”

Hui Kauw segera mengambil keputusan cepat.
“Bagus, adikku.” katanya sambil memegang tangan Loan Ki yang menjadi kaget melihat perubahan sikap ini. “Kau terimalah mahkota ini dan kau wakililah Kun Hong. Kau tentu mau membantunya, bukan?” Melihat Loan Ki mengangguk tanpa menjawab, Hui Kauw cepat menyambung, “Tidak ada banyak waktu lagi. Mahkota ini mengandung sebuah surat rahasia yang menjadi perebutan. Kau wakili Kun Hong, bawa mahkota ini ke utara dan berikan kepada Raja Muda Yung Lo. Dengan begini tidak akan sia-sia Kun Hong mempunyai sahabat yang dia aku sebagai adik seperti kau ini, Maukah kau?”

Loan Ki adalah seorang yang jujur, ia percaya kepada Hui Kauw.
“Dan kau sendiri?” tanyanya. “Kenapa bukan kau sendiri yang mewakilinya?”

“Bodoh kau! Bukankah Kun Hong dikeroyok disana? Aku harus membantunya, aku harus menolong……. suamiku…..!”

Berkata begini, Hui Kauw melepaskan mahkota di tangan Loan Ki, lalu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Loan Ki melongo sampai lama. Ketika Nagai Ici menegurnya, barulah ia sadar. Cepat-cepat mahkota itu ia simpan dalam buntalan pakaian.

“Jadi Pendekar Buta yang gagah itu adalah suami nona muka hitam ini, nona Loan Ki?”

“Bukan……. bukan……. oh,…. begitulah agaknya…….” jawabnya tidak karuan. Kemudian ia memandang tajam kepada jago muda Jepang itu. “Nagai Ici, aku akan memenuhi permintaannya. Aku akan membawa mahkota ini ke utara, akan kusampaikan kepada Raja Muda Yung Lo. Apakah kau suka ikut denganku?”

Serta merta Nagai Ici mengangguk.
“Tentu saja, Nona, Kemana pun kau pergi, kalau kau menghendaki, tentu aku menyertaimu. Malah……. kalau kau mengijinkan, aku……. aku akan membantumu dalam segala hal, biar kupertaruhkan nyawaku, selamanya…….”

Kaku dan tidak karuan kalimat yang keluar dari mulut Nagai Ici, karena sukar sekali dia mengeluarkan isi hatinya yang berdebar-debar itu dengan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar.

Sepasang mata yang jeli itu melebar, kemudian meledaklah ketawa dari mulut yang berbibir manis mungil dan merah segar itu, yang segera ditutupnya dengan tangan.

“Kau lucu……. hi-hik. Tapi kau baik sekali, Nagai Ici. Mulai sekarang, jangan sebut aku dengan nona-nonaan segala, cukup sebut namaku saja.”





Dengan hati penuh kebahagiaan, Nagai Ici mengangguk-angguk. Akan tetapi rnukanya berubah ketika dia melihat ke belakang Loan Ki dan cepat dia menuding.

“Lihat, siapa mereka?”

Loan Ki cepat membalikkan tubuh dan melihat beberapa orang berlari cepat sekali dari arah kota raja. Ada empat orang yang berlari cepat ini dan melihat cara mereka berlari, kagetlah Loan Ki.

“Cepat, kita harus segera pergi. Mereka itu jagoan-jagoan istana yang mengejar!”

Para pengejar itu masih terlalu jauh sehingga Loan Ki tidak dapat melihat siapa adanya mereka. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit ia menduga apakah ayahnya juga terdapat diantara mereka yang mengejarnya itu.

Tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tangan Nagai Ici dan berlari-larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Celakanya, empat orang itu kini memutar arah dan jelas bahwa mereka itu mengejar dua orang muda ini. Lebih payah lagi, jalan menuju ketimur ini melalui tegal rumput yang gundul, tidak ada pohonnya sama sekali sehingga mereka berdua mudah tampak dari jauh.

Didepan, kurang lebih lima li dari situ, kelihatanlah sebuah hutan yang hijau tebal. Melihat hutan di depan ini Loan Ki mengajak Nagai Ici mempergunakan seluruh kekuatan untuk berlari cepat karena kalau sampai mereka berdua dapat mencapai hutan sebelum tersusul, mereka akan mendapatkan tempat bersembunyi.

Sampai tersengal-sengal napas kedua orang muda itu karena mereka menggunakan tenaga melewati ukuran dalam usaha mereka membalap ini. Nagai Ici agaknya kurang setuju dan beberapa kali sambil terengah-engah dia berkata,

“Kenapa kita harus berlari-lari seperti dikejar setan? Empat orang itu, kita lawan saja, takut apa?”

Memang, sebagai seorang pendekar, pantang baginya berlari-lari seperti ini, melarikan diri dari hanya empat orang yang mengejar mereka.

Loan Ki tadi sudah menengok beberapa kali dan jantungnya serasa hampir copot ketika ia mengenal bahwa seorang diantara empat pengejar itu adalah……. ayahnya! Mendengar ucapan Nagai Ici, dengan tersengal-sengal ia menjawab,

“Kau tahu apa……? Seorang diantara mereka adalah ayah!”

Nagai Ici terkejut, akan tetapi anehnya, dia malah mengendurkan larinya.

“He, hayo lari cepat. Bagaimana sih engkau ini?”

Nagai Ici tersenyum, tampan sekali.
“Kau aneh, Nona……. eh, Loan Ki. Kalau dia ayahmu, mengapa takut setengah mati? Bukankah kita pergi ke kota raja justeru untuk mencari beliau?”

Dengan habis sabar Loan Ki menggoyang-goyang kepalanya sehingga rambutnya yang awut-awutan karena dipakai berlari itu kini sebagian menutupi pipinya, manis sekali. Ia menyambar tangan Nagai Ici lagi dan ditariknya untuk berlari lebih cepat.

“Kau tidak tahu…….! Ayah membantu mereka, membantu kaisar…….”

Nagai Ici tidak mengerti.
“Biarpun begitu, masa hendak menyerang anak sendiri? Takut apa?”

“Iiihhhhh, bodohnya! Aku tidak takut mereka menyerangku, tetapi aku takut mereka merampas mahkota ini. Hayo!”

Nagai Ici mulai mengerti dan dia mau berlari lebih cepat lagi. Diam-diam dia bingung juga. Benar-benar kacau-balau.

Sang ayah membantu kaisar, si anak memusuhinya. Bagaimana ini? Mana yang benar? Apapun juga jadinya, dia akan membantu dan membela Loan Ki, salah atau benar!

“Heeeiiiii……. Loan Ki…….! Berhenti…….!!”

Tiba-tiba terdengar suara bentakan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Loan Ki pucat. Mereka sudah tiba di pinggir hutan, tetapi suara ayahnya sudah dekat di belakang. Ketika ia menengok ternyata empat orang pengejar itu sudah dekat. Tak mungkin dapat bersembunyi lagi, biarpun sudah tiba di pinggir hutan.

Loan Ki putus asa dan terpaksa ia berhenti, membalikkan tubuh, tangan Nagai Ici ia lepaskan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar memandang ke depan. Nagai Ici juga berdiri tegak, dadanya yang bidang turun naik karena napasnya memburu. Diapun bersiap-siap membela nona itu, mempertaruhkan segalanya.

Empat orang pengejar itu bukan lain adalah tokoh-tokoh istana, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio dan It-to-kiam Cui Hwa!

Cepat sekali gerakan mereka dan dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba disitu, dan tidak seorangpun diantara mereka yang terengah-engah seperti halnya Loan Ki dan Nagai Ici.

Empat orang ini tadinya mengejar keluar kota raja ketika melihat rajawali emas membawa lari Kun Hong. Sebelum keluar dari kota raja, mereka mendengar pula dari beberapa orang pengawal istana tentang mahkota kuno yang katanya dirampas oleh seorang laki-laki tidak dikenal dan yang dikejar oleh sepasang orang muda, yaitu puteri Sin-kiam-eng dan temannya.

Mendengar ini, Tan Beng Kui terkejut. Tak disangkanya bahwa Loan Ki sudah berada dikota raja, bersama seorang pemuda tampan gagah, siapakah pemuda itu? Karena khawatir akan keadaan anaknya, maka dia lalu mengejar, bersama tiga orang itu yang juga ingin mengejar Kun Hong.

“Loan Ki, kenapa engkau berlari-lari?” ayahnya bertanya, suaranya bengis dan matanya menatap wajah puterinya dengan tajam, lalu mengerling penuh curiga kepada pemuda tampan di sebelah puterinya.

Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan dan gagah, dengan pedang panjang yang melengkung dipinggang. Pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.

“….. Ayah…….. aku……. aku menyusul Ayah ke kota raja dan……”

“Omitohud, kiranya puteri Tan-sicu? Benar-benar hebat, ayah harimau anakpun harimau pula. Nona, apakah kau sudah berhasil merampas mahkota kuno itu?” tanya Bhok-Hwesio sambil tertawa bergelak dan matanya yang lebar memandang kearah buntalan pakaian di punggung Loan Ki. Buntalan itu menjendol dan mencurigakan.

Loan Ki tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan ini, matanya menatap wajah ayahnya, penuh permohonan dan pengharapan.

Akan tetapi wajah Tan Beng Kui dengan bengis tidak memberi hati kepadanya, malah terdengar orang tua itu bertanya,

“Loan Ki kau dengar pertanyaan Bhok Lo-suhu? Mana mahkota itu, apakah kau sudah merampasnya?”,

Biarpun ia sudah biasa dimanja, namun Loan Ki selamanya tak pernah berbohong kepada ayahnya karena ayahnya amat benci kepada kebohongan dan semenjak kecil menanamkan dalam hati anaknya agar tidak suka berbohong.

“Sudah, Ayah. Akan tetapi mahkota kuno ini adalah milikku. Dahulu akulah yang merampasnya dari tangan para perampok, dan kini sudah kembali kepadaku. Benda itu punyaku, Ayah. Sungguh, punyaku dan tidak boleh diminta orang lain!”

Sin-kiam-eng cukup mengenal watak puterinya. Jujur dan keras hati. Sekali berkata tidak boleh, tentu akan mempertahankannya! Dia menjadi ragu-ragu dan berkata kepada Bhok Hwesio.

“Ada betulnya juga ucapan anak ini. Benda itu dahulu lenyap, lalu terjatuh ke tangan perampok dan anakku yang merampasnya.”

Bhok Hwesio tertawa pula.
“Menurut The-kongcu, yang penting bukanlah mahkotanya, melainkan surat yang tersimpan di dalamnya. Nona, biarkan pinceng (aku) memeriksa sebentar mahkota itu, untuk mencari surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Pinceng hanya membutuhkan surat itu, kalau sudah terdapat, biarlah benda emas itu pinceng berikan kepadamu untuk main-main. Ha-ha-ha!”






No comments:

Post a Comment