Ads

Wednesday, February 6, 2019

Pendekar Buta Jilid 096

Terdengar kakek itu tertawa lirih, lalu bergumam,
“Terlalu dalam kau terjerumus ke dalam persoalan dunia.”

Akan tetapi diterimanya juga gulungan kertas kecil itu, dibukanya dan dibacanya sebentar, lalu digulung kembali dan diangkatnya tinggi-tinggi surat itu diatas kepala sambil berkata,

“Memang betul dan mendiang kaisar adalah seorang manusia yang telah berbuat banyak jasa selama hidupnya untuk bangsa. Seorang pejuang perkasa, seorang manusia berjiwa besar.”

Dia mengembalikan gulungan kertas itu kepada Kun Hong yang segera menyimpannya disaku baju sebelah dalam. Lenyap semua kekecewaannya. Mahkota kuno itu sendiri baginya tidak mempunyai harga, yang penting adalah surat rahasia inilah.

“A Wan, kau anak baik! Kau telah berjasa besar…….”

Akan tetapi A Wan yang dipuji gurunya hanya sebentar saja merasa girang karena dia teringat akan ibunya dan bertanya.

“Suhu, bagaimana dengan……. Ibu? Siapa yang merawat jenazahnya?”

Atas pertanyaan ini Kun Hong tidak mampu menjawab. Terang tidak mungkin baginya untuk ke rumah mendiang janda Yo yang menjadi pusat perhatian para pengawal istana. Akan tetapi dia percaya bahwa Hui Kauw tidak akan membiarkan jenazah janda itu terlantar. Dia percaya bahwa Hui Kauw yang dapat bergerak leluasa di kota raja akan dapat mengatur sehingga jenazah itu dapat dikubur baik-baik.

“Jangan khawatir, A Wan. Cici Hui Kauw tentu akan mengatur penguburan jenazah ibumu.”

“Teecu hendak kesana, Suhu! Teecu harus menunggu Ibu…..”

Dan sekarang anak itu mulai menangis. Kun Hong mengerutkan keningnya dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak bisa, A Wan. Kau sudah dikenal, kau terlibat dalam urusan perebutan surat rahasia, kalau kau muncul pasti kau akan ditangkap.”

“Biar teecu ditangkap, biar teecu dibunuh, teecu tidak takut. Teecu harus merawat jenazah Ibu…….!”

Kun Hong amat bingung mendengar tangis muridnya yang amat menyedihkan itu. Karena tidak tahu bagaimana harus menghiburnya, dia membentak keras.

“Diam kau, A Wan! Muridku tidak boleh berhati lemah seperti ini! Pantang laki-laki menangis!”

Seketika A Wan berhenti menangis, air matanya masih bercucuran keluar dari sepasang matanya, akan tetapi mata itu kini dibuka terbelalak lebar memandang gurunya dan dia menggigit bibirnya menahan tangis. Hanya pundaknya saja yang digoyang-goyang oleh isak tangis yang tak mungkin ditahan itu.

Kalau saja Kun Hong dapat melihat sikap muridnya ini, tentu dia akan menjadi terharu dan bangga. Ketaatan bocah itu bukan sekali-kali karena takut, Semenjak kecil A Wan mendapatkan cinta kasih dari ibunya yang berwatak halus, tidak pernah dia mendapat perlakuan kasar sehingga dia tidak mempunyai sifat takut-takut. Ketaatannya kepada Kun Hong berdasarkan keseganan dan kepercayaan bahwa segala apa yang diperintahkan oleh gurunya yang dicintanya sebagai ibunya sendiri itu, pastilah benar dan baik serta harus ditaatinya.

“A Wan, muridku yang baik. Pergilah kau kesana, ajaklah adikmu Cui Sian itu mencari kembang, aku hendak bicara dengan Susiok-couwmu (Paman kakek gurumu),” kata Kun Hong, kemudian A Wan segera berdiri, menuntun tangan Cui Sian dan pergilah mereka menjauh dan hanya terdengar suara ketawa Cui Sian yang nyaring ketika A Wan mengajaknya menangkap kupu-kupu yang bersayap indah.

Kini kakek itu berhadapan dengan Kun Hong. Pendekar Buta ini merasa lemah seluruh anggauta tubuhnya, terbawa oleh derita batin yang ditanggungnya selama ini. Semua tugasnya belum terpenuhi dan dia menjadi bingung menghadapinya. Bagaimana dia akan dapat menunaikan semua tugas itu dengan sempurna?

“Susiok, bagaimanakah pendapat Su-siok? teecu merasa bingung……. teecu yang buta ini benar-benar kehabisan akal, mohon petunjuk, Susiok.”





Kembali Sin-eng-cu Lui Bok tertawa geli.
“Duduklah, Kun Hong, dan mari kita bercakap-cakap.”

Kun Hong lalu duduk diatas tanah, bersila di depan kakek itu yang sudah duduk bersila diatas rumput tebal.

“Kun Hong, kalau aku dahulu membujukmu supaya ikut denganku ke puncak gunung dan bertapa, sekarang tidak mungkin lagi. Kau telah mengikatkan dirimu dengan pelbagai urusan dunia dan sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan kau harus melanjutkan semua tugasmu sampai selesai. Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjangmu, dan jurus yang kau mainkan untuk membunuhi lawan-lawanmu itu sungguh-sungguh keji!”

Kun Hong terkejut sekali, mengeluh dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
“Ah, Susiok……….. berilah petunjuk ………..”

Diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri. Kiranya susioknya ini sekarang sudah menjadi seorang yang demikian saktinya sehingga dapat mengikuti semua pengalamannya. Benar-benar hebat.

“Dahulu teecu pernah berlancang mulut memberi nasehat kepada Susiok agar jangan membunuh Hwa I Lokai, sekarang teecu sendiri malah telah banyak membunuh orang.”

“Kun Hong, aku tidak menyalahkan kau, karena perbuatanmu itu semata-mata hanya dalam tugas membela diri, sama sekali tidak ada niat sebelumnya dalam hatimu untuk membunuh. Kau masih muda, banyak sekali hatimu terluka, terutama oleh peristiwa di puncak Thai-san dimana kau kehilangan kekasih dan sekaligus kehilangan sepasang mata. Semua itu terjadi karena kau terlalu diperhamba oleh perasaan dan sekarangpun masih menjadi hamba perasaanmu sendiri sehingga tanpa kau sengaja kau telah menghancurkan pengharapan dan kebahagiaan seorang wanita mulia seperti nona muka hitam itu.”

Kakek itu menarik napas panjang dan Kun Hong tiba-tiba menjadi merah mukanya. Bukan main kakek ini. Sampai urusannya dengan Hui Kauw sekalipun sudah diketahuinya.

“Susiok, mohon petunjuk………..” dia hanya dapat mengulang kata-kata ini.

“Sudah menjadi kehendak alam agaknya bahwa manusia ini hidupnya dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan perbuatan. Jadi setiap perbuatan adalah pelaksanaan daripada kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya sering sekali dipermainkan oleh nafsu. Nafsu inilah pokok-pangkal segala peristiwa di dunia, karena nafsulah yang mendorong segala sesuatu di dunia ini sehingga dapat berputar. Nafsu ini besar kecilnya tergantung kepada fihak ke”aku”an yang ada pada diri setiap manusia. Orang yang selalu memikirkan diri sendiri, orang yang selalu mementingkan diri pribadi, dialah seorang hamba nafsu dan sering sekali melakukan perbuatan yang menyeleweng daripada kebenaran.”

Kun Hong adalah seorang pemuda yang semenjak kecil banyak membaca filsafat, dan filsafat diatas sudah pula diketahuinya. Akan tetapi, selama ini tidak pernah dia mendapatkan seorang teman untuk diajak berdebat tentang kebenaran filsafat-filsafat itu, maka saat ini berhadapan dengan seorang sakti, dia sengaja hendak memperdalam arti pengetahuannya dan minta petunjuk agar tidak terlalu risau hatinya.

“Susiok, kalau begitu, apakah sebaiknya kita membunuh saja nafsu diri sendiri sehingga terhindar daripada penyelewengan dalam hidup?”

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa.
“Aku tahu bahwa kau sudah mengerti akan hal ini akan tetapi agaknya menghendaki keyakinan. Baiklah, akan kucoba untuk menjelaskan. Ada orang-orang bertapa dan sengaja berusaha untuk membunuh nafsunya sendiri. Sudah tentu bagi orang-orang yang melakukan hal demikian usaha ini benar. Akan tetapi bagi aku pribadi, usaha seperti itu bukanlah merupakan jalan untuk mencapai kesempurnaan. Nafsu tidak boleh dibunuh. karena seperti telah kukatakan tadi, nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala di dunia ini sehingga dapat berputar dan berjalan sebagaimana mestinya menurut hukum alam. Tanpa adanya nafsu, dunia akan sunyi, akhirnya segala akan mati dan diam tidak berputar lagi. Karena itulah maka kuanggap keliru ada yang berusaha mencari kesempurnaan dengan jalan membunuh nafsu-nafsunya sendiri.”

Kun Hong mengangguk-angguk. Diapun pernah membaca tentang orang-orang yang berkeyakinan bahwa jalan kearah keutamaan dan kesempurnaan adalah membunuh nafsunya sendiri. Dan dia dapat menerima pendapat paman gurunya ini.

“Kalau begitu, bagaimana seyogyanya menghadapi nafsu-nafsu sendiri yang kadangkala menyeret kita dalam perbuatan-perbuatan maksiat itu, Susiok?”

“Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia kalau boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu adalah kuda-kudanya yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat bergerak maju sendiri tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda nafsunya memang liar dan binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar dan membedal semauaya sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu akan menjerumuskan keretanya kedalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin berikut kusirnya, karena kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang sejati, jiwa yang menguasai seluruh kereta. Kalau kusir itu pandai mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan tali-temali berupa kesadaran, maka kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu dapat dipergunakan tenaganya untuk menarik maju si kereta menuju kejalan yang benar, sesuai dengan kehendak alam, segala sesuatu harus bergerak maju, namun kemajuan yang lurus dan benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng pasti akan hancur ke dalam jurang kesengsaraan. Mengertikah kau, Kun Hong?”

Kun Hong mengangguk-angguk.
“Teecu mengerti, Susiok. Sungguh tidak teecu sangka bahwa Susiok tahu akan segala kejadian yang menimpa teecu, malah Susiok secara kebetulan menyaksikan pula diserbunya Thai-san-pai oleh orang-orang jahat sehingga Susiok berhasil menyelamatkan Cui Sian. Akan tetapi, Susiok, bolehkah teecu bertanya mengapa Susiok tidak membantu paman Beng San menghadapi orang-orang jahat yang merusak Thai-san-pai?”

“Aku tidak perlu mencampuri urusan pertempuran-pertempuran orang lain, hal itu bukan urusanku. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Cui Sian menjadi korban pertentangan orang-orang tua itu.”

Kun Hong merasa tidak puas, mengerutkan keningnya.
“Maaf, Susiok, terpaksa teecu harus membantah. Sungguhpun pertempuran itu bukan urusan Susiok, namun kiranya Susiok dapat membela kebenaran. Bukankah sikap seorang gagah harus selalu membela kebenaran dan keadilan di dunia ini?”

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha-ha, Kun Hong, kau bilang kebenaran dan keadilan, akan tetapi kebenaran yang mana dan keadilan yang mana? Kebenaran untuk siapa dan keadilan untuk siapa? Anakku, tahukah kau bahwa dunia ini menjadi kacau, manusia saling bermusuhan, tak lain dan tak bukan hanya karena mereka itu saling memperebutkan kebenaran? Kebenaran itu hanya SATU, akan tetapi menjadi banyak sekali sifatnya karena setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri! Benar dan adil bagi yang satu, belum tentu benar dan adil bagi yang lain. Kalau ada dua orang saling bermusuhan untuk memperebutkan kebenaran, katanya, maka jelaslah bahwa keduanya sudah menyeleweng daripada kebenaran sejati dan yang mereka perebutkan itu adalah kebenaran palsu, karena kebenaran untuk dirinya sendiri, kebenaran dan keadilan demi kepentingan masing-masing. Kalau di waktu itu aku membantu Thai-san-pai, apa kau kira mereka yang memusuhi Thai-san-pai menganggap aku benar dan adil? Ha-ha-ha, kurasa tidak, muridku.”

Tentu saja Kun Kong dapat menerima ini karena diapun sudah tahu akan filsafat tentang kebenaran ini. Akan tetapi dia masih penasaran karena dia yakin bahwa kebenaran berada di fihak pamannya.

“Maaf, Sosiok. Memang tepat apa yang Susiok uraikan itu, akan tetapi, Susiok, teecu yang bodoh berpendapat bahwa dengan melihat watak orangnya, mudah ditarik kesimpulan siapa yang benar diantara dua orang yang bermusuhan. Juga dengan akal dan pertimbangan, dapat pula kita menilai dari urusan-urusannya, siapa yang patut disebut berada di fihak kebenaran. Saya kira, tak mungkin kalau paman Tan Beng San yang terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan luhur budi pekertinya, tidak berada difihak benar.”

“Belum tentu, Kun Hong. Yang datang menyerbu adalah orang-orang yang hendak membalas dendam atas kematian orang-orang yang mereka kasihi dan dalam hal ini, isi hati mereka sama sekali tiada bedanya dengan isi hatimu sekarang yang hendak membalas dendam Thai-san-pai terhadap mereka yang telah merusaknya.”

“Ah…….. begitukah kiranya…….??” Kun Hong tercengang. “Bagaimana, Susiok apakah yang teecu harus lakukan? Harap beri petunjuk.”






No comments:

Post a Comment