Ads

Tuesday, February 5, 2019

Pendekar Buta Jilid 095

“Bagus, A-tiauw, kau berhasil menolong Kun Hong!” terdengar suara orang, halus dan tenang.

Kun Hong tercengang, mengingat sebentar kemudian dengan girang dia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru.

“Susiok (paman guru)…….”

Kakek itu tertawa. Memang dia ini bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok, adik seperguruan manusia sakti Bu Beng Cu, guru Kwa Kun Hong yang tak pernah dia lihat orangnya itu. Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan bahwa Kun Hong dahulu sebelum buta, pernah dibawa oleh rajawali emas ini ke puncak Gunung Liong-thouw-san (Gunung Kepala Naga) dan di tempat rahasia inilah dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang ditinggalkan oleh Bu Beng Cu sehingga dengan bantuan rajawali emas, pemuda ini dapat mewarisi ilmu silat yang dia namakan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Dalam ceritera Rajawali Emas pula, pernah dia bertemu dengan adik seperguruan Bu Beng Cu, seorang aneh yang sakti pula, yaitu bukan lain adalah Sin-eng-cu (Si Garuda Sakti) Lui Bok inilah yang pernah mengajarnya ilmu sihir yang disebut ilmu merampas semangat.

Pada saat itu, selagi Kun Hong berlutut penuh keharuan karena tidak mengira bahwa yang menyuruh rajawali emas menolongnya ternyata adalah susioknya sendiri ini, terdengar kaki-kaki kecil berlari mendekati dan suara yang amat dikenalnya berseru,

“Suhu…….!”

“A Wan, kau disini?” Kun Hong memeluk anak itu, girang dan juga heran. “Dan anak ini……. siapakah?”

Dia menoleh kekiri karena telinganya dapat menangkap gerakan seorang anak kecil lagi yang agaknya tadi digandeng oleh A Wan dan sekarang duduk pula di dekatnya.

“Suhu, dia adalah Cui Sian, adik kecil yang baik dan lucu……”

“Cui San? Anak paman Beng San…….??”

Kun Hong sampai berteriak keras saking heran dan kagetnya sehingga A Wan yang tidak tahu apa-apa menjadi bingung. Dengan penuh keharuan tangannya meraih dan dilain saat anak perempuan berusia empat tahun itu telah dipeluknya.

Terdengar suara anak perempuan itu, nyaring dan jelas suaranya, tidak seperti anak-anak kecil lain yang sebaya.

“Paman buta, kau ini menangis ataukah tertawa? Karena aku tidak dapat membedakannya.”

Kun Hong tertawa, pertanyaan kanak-kanak yang bodoh tetapi mengandung makna demikian dalamnya, sedalam lautan, meliputi rahasia hidup karena kehidupan di dunia ini memang hanya berisi dua hal, tangis dan tawa!

“Anak baik……. anak baik……. aku menangis dan juga tertawa saking girangku mendengar kau selamat…….”

Tiba-tiba dia teringat dan setelah melepaskan Cui Sian dari pelukan, dia bangkit berdiri, menoleh kearah Sin-eng-cu Lui Bok. Keningnya berkerut-kerut ketika dia berkata,

“Susiok……. Cui Sian disini bersama Susiok…….? Bagaimanakah ini? Bukankah Cui Sian diculik orang dari Thai-san? Apakah Susiok…….” dia tidak berani melanjutkan kata-katanya sungguhpun hatinya penuh kecurigaan yang bukan-bukan.

Kakek itu tertawa lembut.
“Kenapa tidak kau lanjutkan, Kun Hong? Tak baik mengandung curiga di dalam hati, karena kecurigaan yang dipendam dapat menimbulkan fitnah tanpa disengaja. Kecurigaanmu keliru, Kun Hong. Aku bersama kim-tiauw ingin menjengukmu di Thai-san dan kulihat Thai-san diserang banyak orang. Di puncak kulihat nyonya ketua Thai-san yang gagah perkasa dikeroyok dan bangunan dibakar. Karena anak ini terancam bahaya, maka aku berlancang tangan membawanya pergi dari sana.”

Mendengar ini, merah muka Kun Hong. Tak dapat disangkal lagi, sebelum mendengar penjelasan ini, tadi dia telah menaruh curiga kepada susioknya. Dia segera menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata, nada suaranya penuh permohonan dan juga penuh dendam,





“Siapakah mereka itu, Susiok? Si…siapakah mereka yang menyerang Thai-san?”

Kembali kakek itu tertawa geli seakan-akan mendengar sesuatu yang amat lucu.

“Susiok, kenapa Susiok mentertawakan teecu (murid)?”

Kun Hong merasa heran dan penasaran. Apakah pertanyaannya itu dianggap lucu? Tak mengerti dia mengapa dalam urusan yang demikian pentingnya, orang tua itu malah tertawa-tawa dan seakan-akan mentertawakannya.

“Kau hendak apakah menanyakan mereka yang menyerang Thai-san?”

“Keparat-keparat itu telah berlaku keji terhadap paman Beng San, tentu saja teecu harus membalas dendam sakit hati ini!”

“Ha-ha-ha, sudah kuduga! Sudah kukhawatirkan akan beginilah jadinya. Sayang…….” Kakek itu tertawa lagi.

“Balas-membalas, dendam-mendendam, roda karma berputar tiada hentinya….”

Kun Hong terkejut, lalu cepat bertanya,
“Susiok, salahkah sikap teecu ini?” Setelah berpikir sebentar dia melanjutkan, “Susiok sudah sampai di Thai-san dan melihat semua itu, sudah berhasil menyelamatkan adik Cui Sian, kenapa Susiok tidak membantu paman Beng San membasmi orang-orang jahat itu?”

“Hemmm, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka, sudah terlalu lama aku membebaskan diri daripada libatan karma, Anakku. Sikapmu ini tidaklah salah, hanya aku menjadi geli hatiku mendengar kata-kata dan melihat sikapmu ini. Agaknya kau sudah lupa sama sekali beberapa tahun yang lalu ketika kau menasehati seorang kakek seperti aku ini ketika aku hendak mencari dan membunuh Sin-chio The Kok atau Hwa I Lokai. Ha-ha-ha!”

Kun Hong tertegun dan seketika dia termenung. Terbayanglah sekarang semua pengalamannya dahulu, ketika dia masih belum buta. Pertemuannya pertama dengan Sin-eng-cu Lui Bok terjadi amat aneh, yaitu kakek itu menyatakan hendak mencari dan membunuh musuh besarnya, Sin-chio The Kok yang menyembunyikan diri dan mengubah nama menjadi Hwa I Lokai.

Dialah yang menasehati orang tua ini agar jangan membalas dan membunuh, agar jangan terikat oleh tali-temali yang amat kusut dan sulit, yaitu tali dendam-mendendam. Dan sekarang, persis seperti beberapa tahun yang lalu (baca Rajawali Emas), sekarang didepan kakek itu dia bersikeras hendak membalas dendam Thai-san-pai kepada orang-orang yang menyerbu Thai-san. Seketika mukanya menjadi merah dan dia tidak dapat berkata sesuatu.

Kakek itu menarik napas panjang, maklum akan isi hati Kun Hong.
“Kau masih ingatkah, Kun Hong, betapa dahulu aku pernah datang ke Thai-san dan membujuk kau supaya ikut dengan aku menjadi pertapa, hidup bahagia membebaskan diri daripada ikatan karma? Kau tidak mau dan aku hanya dapat tunduk akan kehendak Thian (baca Rajawali Emas). Aku tidak menyalahkan engkau. Pengertianmu tentang rahasia hidup memang sudah cukup, akan tetapi pengertian itu hanya menjadi pengetahuan dari teori buku-buku lama, namun kau belum dapat menguasai ilmu yang kau ketahui teorinya itu. Betapapun juga, teori yang kau nasehatkan kepadaku dahulu itu telah menolongku, sebaliknya tak mampu menolong dirimu sendiri. Ini tidak aneh karena kau memang masih muda, masih suka melibatkan diri dengan dunia beserta sekalian isi dan peristiwanya, kau masih belum mampu menguasai perasaan muda.”

Kun Hong menunduk dan diam-diam dia dapat menangkap kebenaran kata-kata kakek ini.

“Kau masih terlalu muda untuk dapat menyelami semua teori tentang filsafat dan rahasia kehidupan, Anakku. Karena jiwamu belum masak, belum cukup kuat menghadapi gejolak perasaan sehingga mudah terpengaruh keadaan dan hawa nafsu. Sekarangpun karena bertemu dengan anak pamanmu, seluruh perasaanmu terpenuhi oleh urusan Thai-san-pai sehingga kau lupa akan tugas yang kau ikatkan dengan dirimu, mengenai mahkota…….”

Kakek itu tertawa lagi. Suara ketawanya lebih keras ketika tiba-tiba Kun Hong seperti orang tersentak kaget meraih A Wan dan serta merta bertanya,

“A Wan, dimana adanya mahkota itu? Sudah dapat kau ambilkah?”

Suaranya penuh harapan dan seperti yang tadi dikatakan oleh Sin-eng-cu Lui Bok, kini seluruh perhatiannya terpusat kepada benda rahasia itulah sehingga boleh dibilang dia lupa sama sekali akan urusan Thai-san-pai!

Sambil berlutut anak itu berkata, suaranya takut-takut,
“……. ampun, Suhu, mahkota itu……. benda itu……. telah dirampas orang…….”

“Apa katamu??”

Kun Hong marah dan kecewa sekali, kemudian sambungnya agak tenang setelah dia ingat bahwa seorang anak kecil seperti A Wan, mana sanggup melindungi mahkota itu?

“Siapakah yang merampasnya?”

Dengan suara mengandung takut kalau-kalau gurunya akan marah kepadanya, A Wan menuturkan pengalamannya.

“Tadinya benda itu teecu sembunyikan dan kubur di belakang rumah dekat sumur. Ketika Suhu menyuruh teecu mengambilnya, teecu segera pergi ke tempat itu dan menggalinya. Akan tetapi baru saja teecu mengambil benda itu dan teecu bersihkan dari tanah lumpur yang masuk ke dalam mahkota, teecu dibentak orang dan mahkota itu hendak dirampas.”

”Hemmm, siapa dia? Laki-laki atau wanita?” tanya Kun Hong,

“Seorang laki-laki, akan tetapi karena keadaan gelap, teecu tidak mengenal wajahnya. Teecu mempertahankan mahkota itu, akan tetapi dia menggunakan kekerasan, teecu didorong dan benda itu dapat dirampas. Pada saat itu muncul pula seorang wanita muda dan seorang laki-laki gagah dan masih muda pula. Serta merta orang muda itu menyerang orang yang tadi merampas mahkota tadi, adapun wanita muda itu menolong teecu. Akan tetapi segera teecu ditinggalkan seorang diri ketika wanita itu melihat teecu tidak apa-apa, kemudian wanita itu membantu temannya mengeroyok laki-laki yang merampas mahkota. Entah bagaimana jadinya karena mereka bertempur sambil berlari dan berkejaran. Teecu ikut mengejar sambil berteriak-teriak minta dikembalikan benda itu. Tiba-tiba muncul banyak orang yang galak-galak. Teecu ditangkap dan dipaksa menyerahkan mahkota. Untung segera datang Kakek perkasa (Locianpwe) ini yang menolong teecu dan membawa teecu pergi seperti terbang cepatnya.”

Kun Hong termenung mendengar ini. Kembali paman gurunya yang menolong A Wan, akan tetapi kenapa tidak sekalian merampas mahkota itu? Dia menjadi amat kecewa.

“Jadi mahkota itu dirampas orang?” katanya lambat-lambat dengan nada sedih.

“Suhu, apa sih gunanya benda mengkilap itu? Kalau memang amat perlu dan amat berharga bagi Suhu, biarlah teecu menyelundup masuk kota raja lagi dan pergi menyelidikinya.” A Wan berkata dengan suara sedih pula melihat suhunya demikian kecewa.

Kata-kata ini menyadarkan Kun Hong dan seketika mukanya berubah biasa lagi.
“Ah, kau mana tahu, A Wan? Bukan benda emas itu yang berharga, melainkan surat yang tersembunyi di dalamnya…”

“Surat? Bertulis? Wahhh, kebetulan sekali Suhu! Teecu sudah menduga-duga surat apa ini. Surat yang disembunyikan didalam mahkota ada pada teecu.”

Sambil berkata demikian A Wan mengeluarkan segulung surat kekuning-kuningan dari dalam saku bajunya. Kun Hong cepat menyambar surat itu dan meraba-raba dengan jari-jari tangannya, wajahnya berseri gembira dan bibirnya tersenyum.

“Bagaimana kau bisa mendapatkan ini? Di dalam mahkota katamu?”

“Benar, Suhu, Ketika teecu membersihkan mahkota itu, teecu menggosok-gosok sebelah dalamnya yang kotor. Tiba-tiba terdengar bunyi berdetak dan tersembullah kertas di sudut dalam mahkota. Kemudian ketika mahkota itu hendak dirampas orang dan teecu pertahankan, tanpa sengaja teecu yang memegangi mahkota dengan sebelah tangan di dalamnya, mencengkeram keluar kertas ini. Baru teecu ketahui bahwa kertas ini berada dalam genggaman teecu setelah mahkota itu dibawa lari orang.”

Kun Hong mengangguk-angguk, meraba-raba kertas bergulung yang kecil itu, kemudian dia menoleh kearah Sin-eng-cu Lui Bok yang semenjak tadi hanya berdiri sambil membelai leher burung rajawali, sama sekali tidak memperdulikan percakapan antara Kun Hong dan A Wan.

“Susiok, tolonglah Susiok periksa gulungan kertas ini. Betulkah ini berisi perintah rahasia mendiang kaisar?”






No comments:

Post a Comment