Ads

Monday, February 4, 2019

Pendekar Buta Jilid 087

“Singgggg!”

Senjata itu lewat diatas telinga Hui Kauw yang cepat menundukkan kepala untuk mengelak. Nona ini maklum bahwa biarpun lawannya hanya mengandalkan tenaga besar dan senjata berat, namun ruyung itu dapat merupakan bahaya juga baginya. Tangannya bergerak dan di lain detik pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanan. Kakinya menggeser ke belakang membentuk kuda-kuda yang ringan, kaki kanan berdiri lurus dengan tumit diangkat, kaki kiri menyilang lutut, tangan kiri dikepal dan hanya jari telunjuk dan jari tengah menuding keatas di belakang kepala, pedang di tangan kanan melintang dada dari kiri kekanan dengan pergelangan tangan ditekuk membalik. Kuda-kuda yang sukar akan tetapi memperlihatkan sikap yang gagah dan manis.

Tiat-jiu Souw Ki mendapat hati ketika gadis itu tadi mengelak dan sekarang mencabut pedang. Terang bahwa gadis itu menganggap ruyungnya ampuh dan berbahaya. Sambil berseru keras dia kembali menggerakkan ruyungnya sekuat tenaga. Kalau gadis ini berani menangkis, aku akan membikin pedangnya patah atau terpental, pikirnya sombong.

Namun tentu saja Hui Kauw bukanlah sebodoh yang disangka Souw Ki. Gadis ini sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklum pula akan bahayanya kalau ia mengadu senjatanya secara keras melawan keras dengan ruyung lawan, karena ia kalah tenaga dan senjatanyapun kalah berat. Ia mengandalkan kelincahannya untuk menghindarkan diri daripada semua amukan ruyung itu, sedangkan pedangnya berkelebat merupakan sinar yang bergulung-gulung mencari kesempatan baik untuk menggores kulit lawan.

Memang hebat juga permainan ruyung dari Tiat-jiu Souw Ki ini. Kalau dalam hal ilmu silat tangan kosong ia adalah seorang nekat yang hanya mengandalkan kekuatan otot-ototnya, kini dalam permainan ruyungnya, dia benar-benar memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak hanya mempergunakan tenaga otot namun juga mempergunakan kecerdikan otaknya sesuai dengan siasat ilmu ruyungnya.

Ruyung itu biarpun merupakan senjata berat, namun di tangan Souw Ki berubah menjadi senjata ringan dan cepat sekali diputarnya, mendatangkan angin dan mengeluarkan bunyi.

Hui Kauw melayaninya dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibunya, yaitu dari Ching-toanio. Ilmu pedang dari Ching-toanio ini pada dasarnya adalah Ilmu Pedang Kong-thong-pai, karena nyonya ini dahulu pernah belajar ilmu pedang dari seorang tokoh Kong-thong-pai yang merahasiakan namanya.

Akan tetapi karena semenjak mudanya Ching-toanio berkecimpung dalam dunia golongan hitam, tentu saja ia mempelajari banyak macam ilmu silat dan juga termasuk ilmu pedang. Oleh karena inilah, terdorong pula oleh bakat dan kecerdikannya, ia dapat menggabungkan beberapa macam jurus ilmu pedang menjadi satu dengan Ilmu Pedang Kong-thong-pai, malah sesudah ia menjadi kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin si manusia iblis yang banyak mewarisi ilmu silat yang amat tinggi dari Giam Kin, ia mencampuri pula ilmu pedangnya dengan ilmu yang ia dapat dari kekasihnya ini.

Tidaklah heran apabila ilmu pedang yang kini dimainkan oleh Hui Kauw merupakan ilmu pedang campuran yang selain lihai, juga amat sukar untuk dikenal oleh Souw Ki.

Setelah lewat tiga puluh jurus dan selama itu Hui Kauw hanya mengambil kedudukan mempertahankan dan menjaga diri saja, mulailah Souw Ki kaget dan gentar. Dia maklum bahwa ternyata gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, malah agaknya lebih hebat daripada si dara lincah Loan Ki, buktinya kalau dulu Loan Ki melawannya dengan keras dan balas menyerang, adalah gadis ini seenaknya saja mempertahankan diri tanpa balas menyerang.

Kadang-kadang malah gadis ini membenturkan pedangnya dengan ruyung, bukan untuk mengadu senjata atau tenaga, melainkan untuk mempermainkannya saja karena begitu bertemu, pedang itu menyelinap diantara gulungan bayang ruyung lalu menyambar dekat bagian-bagian berbahaya seperti leher, ulu hati, lambung dan tempat-tempat yang sekali tusuk tentu akan menghentikan perjalanan napas!

Memang demikianlah kehendak Hui Kauw, Ia ingin memperlihatkan kepada Tiat-jiu Souw Ki bahwa kalau ia menghendaki, sudah sejak tadi ia dapat merobohkan orang itu. Akan tetapi, dasar lawannya yang hendak menang sendiri saja. Tiat-jiu Souw Ki pantang mengalah, apalagi dia berada di kota raja dimana berkumpul banyak sekali anak buahnya dan juga atasan-atasannya serta teman-teman sekerjanya yang lebih lihai daripadanya. Bukannya mengaku kalah, dia malah penasaran dan memutar ruyungnya lebih ganas lagi.

“Manusia tak tahu diri, lepaskan ruyung!” tiba-tiba Hui Kauw membentak, pedangnya berkelebat menyerang dan……. Tiat-jiu Souw Ki berteriak kesakitan, meloncat mundur sambil terpaksa melepaskan senjatanya karena lengan kanannya serasa terbabat pedang!





Dengan muka pucat dia memeriksa lengannya yang mengeluarkan darah dari siku sampai ke pergelangan, takut kalau-kalau lengannya akan menjadi buntung atau cacad, akan tetapi lega hatinya melihat bahwa lengannya itu hanya luka ringan tergurat ujung pedang, akan tetapi memanjang dari siku sampai pergelangan sehingga mengeluarkan banyak sekali darah.

Sebetulnya macam dari lukanya ini saja cukup menjadikan bukti lawannya si gadis muda itu adalah seorang yang amat lihai dan juga yang telah menaruh hati kepadanya. Akan tetapi membutakan matanya terhadap kenyataan, bahkan rasa malu dan penasaran membuat dia berseru keras.

“Serbu! Tangkap pemberontak ini!!”

Sebelas orang anak baahnya serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka. Hui Kauw marah sekali dan terpaksa ia mengangkat pedangnya menangkis dan melakukan perlawanan. Dengan kecepatannya, belum sepuluh jurus ia berhasil melukai lengan dan pundak dua orang pengeroyok sehingga mereka ini terpaksa melepaskan senjata masing-masing, lalu menendang roboh seorang lagi. Akan tetapi keributan ini menarik datang penjaga sehingga pertempuran di ruangan rumah penginapan itu makin ramai.

Hui Kauw merasa makin marah, penasaran, juga menyesal. Tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam keadaan yang sulit sekali. Mencari orang tua belum ketemu, tahu-tahu berada dalam keadaan sesulit ini.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan semua pengeroyok itu melompat mundur, memberi jalan kepada dua orang yang baru tiba. Hui Kauw merasa lega hatinya, akan tetapi ia tetap waspada. Ketika ia melirik, ia melihat dua orang laki-laki yang baru datang memasuki ruangan itu, dipandang oleh para pengeroyoknya tadi dengan sikap menghormat. Ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentulah orang lihai yang memiliki kedudukan tinggi sehingga ia makin memperhatikan.

Seorang diantara mereka adalah pemuda yang berpakaian gagah dan berwajah tampan dan halus gerak-geriknya, senyumnya menarik dan matanya tajam, namun Hui Kauw yang berperasaan halus itu dapat menangkap sesuatu yang menyeramkan dibalik senyum dan kerling menarik ini, sesuatu yang tak dapat ia mengerti apa adanya akan tetapi yang membuat ia waspada, seperti kalau orang melihat keindahan pada muka dan kulit harimau atau ular yang menyembunyikan sesuatu yang menyeramkan dan mengancam di balik keindahannya itu.

Orang kedua adalah seorang kakek kurus kecil, usianya lima puluhan, pakaiannya sederhana tapi penutup kepalanya mewah dan berhias permata, mukanya biasa seperti orang kurang tidur sehingga mata itu nampaknya hendak meram saja saking ngantuknya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bengkok. Melihat orang ini, diam-diam Hui Kauw menduga bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian tinggi, sedangkan orang muda tampan itu sebaliknya malah ia pandang rendah, mungkin hanya seorang putera bangsawan yang berlagak dan sombong.

Pemuda itu bukanlah sembarang orang seperti yang diduga Hui Kauw, karena sebetulnya dia bukan lain adalah The Sun, jago muda Go-bi-pai yang amat lihai itu. Kebetulan dia lewat dijalan raya depan rumah penginapan itu bersama katek yang bukan lain orang adalah Bhong Lo-koai, seorang diantara para pengawal kaisar.

Pada saat itu mereka berdua bertemu dengan Tiat-jiu Souw Ki yang dengan muka pucat dan lengan berdarah berlari keluar dari rumah penginapan untuk mencari bala bantuan.

Mendengar bahwa di dalam rumah penginapan ada seorang gadis lihai sedang dikeroyok, The Sun tertarik dan mengajak Bhong Lo-koai untuk melihat. Begitu memasuki ruangan dan melihat sepak-terjang Hui Kauw yang luar biasa dan yang jelas menyatakan sebagai seorang ahli silat tinggi. The Sun segera membentak dan menyuruh mundur semua pengeroyok, Tentu saja mereka semua mengenal “The-kongcu” ini, orang yang boleh dibilang duduk di tingkat tinggi daripada deretan orang-orang yang dijadikan tangan kanan kaisar baru.

Kini pemuda itu tersenyum-senyum sambil memandang Hui Kauw yang cepat membuang muka, tidak sudi bertemu pandang lebih lama lagi dengan pemuda tampan yang cengar-cengir menjual lagak itu.

“Nona yang gagah perkasa, agaknya kau masih amat asing di kota raja ini sehingga tidak mengenal siapa para pengeroyokmu ini dan siapa pula aku dan Lo-enghiong ini. Andaikata kau mengenal kami, baik kau datang dari golongan hitam ataupun putih, agaknya kau tidak nekat membuat ribut.”

Ucapan ini halus, akan tetapi penuh teguran dan mengandung sikap memperlihatkan kekuasaan.

Hui Kauw bukanlah tergolong wanita galak, malah sebaliknya ia mempunyai watak halus dan penyabar. Akan tetapi karena ia sudah mengalami pengeroyokan yang memanaskan hatinya, juga karena pertemuan pertama dengan The Sun mendatangkan kesan yang tidak sedap di hatinya maka iapun tidak mau tunduk begitu saja dan menjawab dengan sama dinginnya.

“Memang aku seorang asing disini, akan tetapi apakah ini merupakan alasan bagi orang-orangmu untuk berlaku sewenang-wenang? Aku tidak mencari keributan, adalah orang-orangmu dan si Tiat-jiu Souw ki yang sombong tadilah yang memaksaku. Sekarang juga aku minta kalian pergilah dari sini, tinggalkan jangan ganggu aku, akupun tidak ingin bertempur dengan siapapun juga!”

Kembali The Sun tersenyum-senyum, yang amat mencurigakan hati Hui Kauw pemuda ini tentu saja sudah mendengar semua persoalannya dari Souw Ki bahwa gadis ini amat mencurigakan, menyuruh pelayan menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan anak perempuannya.

“Nona harus tahu bahwa di kota raja ini, kami para petugas yang berkuasa dan berhak mengawasi keamanan kota raja. Kau seorang asing datang-datang melakukan penyelidikan tentang seorang hartawan, bukankah hal itu amat mencurigakan? Tapi yang sudah biarlah lalu, sekarang kuharap kau suka memperkenalkan diri dan mengaku terus terang apa maksudmu melakukan penyelidikan itu dan apa pula maksud kedatangan Nona di Kota raja ini?”

Hui Kauw bukan seorang bodoh. Ia dapat mengerti kebenaran dalam ucapan orang muda ini akan tetapi karena ia sudah terlanjur dikeroyok tadi, ia tidak dapat menekan kemendongkolan hatinya begitu saja.

“Sudah kukatakan tadi bahwa namaku Hui Kauw, dan bahwa aku datang untuk urusan pribadi mencari keluarga, tidak menyinggung siapapun juga dan tidak berniat membikin ribut. Sudahlah, harap kalian pergi meninggalkan aku!”

“Heh-heh, anak ini memiliki kepandaian, tentu dia mengandalkan kepandaiannya dan perguruannya,” tiba-tiba kakek dengan tongkat bengkok itu berkata perlahan dengan mata masih mengantuk. “Nona, kau murid siapa? Tentu gurumu sudah mengenal aku Bhong Lo-koai.”

“Betul, Nona. Katakan siapa gurumu, mungkin aku The Sun pernah pula mendengar namanya,” sambung The Sun.

“Aku tidak mempunyai guru, sudahlah, aku tidak ingin diganggu,” jawab Hui Kauw yang merasa gemas bukan main karena nama-nama itu tidak ada artinya sama sekali baginya.

The Sun dan Bhong Lo-koai adalah orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, semua penjaga kota raja menaruh hormat kepada mereka. Sekarang, didepan para penjaga itu, gadis ini tidak memandang mata kepada mereka, tentu saja mereka menjadi gemas juga. Hemm, kau mengandalkan apamu? Demikian The Sun berpikir gemas. Mukamu hitam buruk, siapa yang tertarik? Kepandaianmu setinggi langit, mana mampu melawanku.

“Bhong-lo-enghiong, dapatkah kau mencari tahu dari perguruan mana nona ini?’

Bhong Lo-koai tertawa, lalu melangkah maju menghadapi Hui Kauw sambil berkata,
“Nona, pedangmu masih di tangan. Nah, kau boleh coba hadapi tongkat bututku, dalam sepuluh jurus kalau kau belum kalah berarti kau termasuk orang pandai. Dan kau boleh balas menyerangku, aku bukan Bhong Lo-koai kalau tidak dapat mengenal ilmu pedangmu.”

Hui Kauw makin mendongkol. Tua-tua sudah kurang tidur begitu masih bisa berlagak, pikirnya,

“Aku hanya mau membela diri, sama sekali tidak sudi rnencari ribut dengan siapapun juga. Kalau kau mau mengganggu aku, silakan, aku tidak takut. Kalau tidak, jangan banyak bicara, pergilah tinggalkan aku!”

“Heh-heh-heh, lihat serangan!”

Bhong Lo-koai menggerakkan tongkatnya dan Hui Kauw membenarkan dugaannya tadi bahwa kakek ini adalah seorang yang “berisi”, tidak seperti Tiat-jiu Souw Ki. Sambaran tongkat bengkok itu tidak mengeluarkan suara, namun ujung tongkat menggetar-getar dan tusukannya mengandung tenaga dalam yang hebat.






No comments:

Post a Comment