Ads

Monday, February 4, 2019

Pendekar Buta Jilid 086

Hui Kauw dengan senyum dikulum dan menahan kemengkalan hati, melangkah pula ke ruangan ini. Ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada pemimpin orang istana ini agar selanjutnya ia tidak mendapat banyak gangguan lagi. Panas juga hatinya melihat betapa laki-laki tinggi besar itu sudah memasang kuda-kuda, mulutnya menyeringai penuh ejekan dan cemooh, matanya melirik memandang rendah. Menurutkan gelora hati panas Hui Kauw menggenjot tubuhnya dan melayangkan tubuhnya itu ke tengah ruangan, tepat berhadapan dengan Souw Ki.

Pengawal istana ini kaget, maklum bahwa lawannya ini kiranya benar-benar memiliki kepandaian tinggi, buktinya memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lumayan. Bagus, pikir si pongah, makin tinggi ilmunya makin baik sehingga aku takkan ditertawai anak buahku, disangka hanya pandai mengalahkan wanita cantik dan lemah saja. Biarlah iblis betina ini kutundukkan dengan kepandaian, pikirnya.

Betapapun juga, setelah berhadapan dengan calon lawannya, Hui Kauw yang berhati lembut itu sudah merasa menyesal. Ia sedang berusaha mencari orang tuanya. Kedatangannya di kota raja adalah untuk urusan itu, bukan untuk berkelahi! Sekarang, belum apa-apa ia sudah mendatangkan keonaran dan sudah hendak bentrok dengan petugas-petugas istana!

“Tiat-jiu Souw Ki,” katanya dengan suara lembut karena penyesalan ini. “Terus terang saja, aku sebenarnya tidak suka ribut-ribut karena kedatanganku di kota raja ini bukan untuk mencari keributan dengan siapapun juga. Anak buahmu kuhalau pergi karena mereka malam-malam mengganggu dan memasuki kamarku. Melihat julukanmu, kau tentulah seorang kang-ouw yang tahu akan sopan-santun di dunia kang-ouw, dan biarkanlah aku melanjutkan urusanku sendiri dan kita tidak saling ganggu.”

Belasan tahun yang lalu, sebelum bintangnya naik menjadi pengawal pangeran, Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang bajak sungai yang terkenal. Tentu saja dia tahu akan peraturan dunia persilatan, dunia perantauan dan dunia kaum hitam. Maka dia tertawa bergelak mendengar ucapan Hui Kauw ini dan menjawab.

“Ha-ha-ha, ucapanmu seperti kau ini seorang tokoh kang-ouw yang hebat saja! Bocah, aku Tiat-jiu Souw Ki sudah banyak mengenal tokoh kang-ouw dan andaikata kau seorang tokoh sekalipun, kau masih harus menghormati aku, apalagi kau sama sekali tidak kukenal dan kau seorang pelonco dalam dunia kang-ouw, mana bisa aku berlaku sungkan lagi? Kecuali kalau kau mau berterus terang menyatakan siapa namamu, dari mana kau datang dan apa niatmu memasuki kota raja, baru aku mau timbang-timbang untuk mengampunimu.”

Ucapan ini benar-benar amat sombong dan memandang rendah. Akan tetapi karena Hui Kauw benar-benar tidak menghendaki terjadinya keributan tanpa sebab penting, ia menahan kemendongkolan hatinya, menjura dan berkata,

“Tiat-jiu Souw ki, baiklah aku memperkenalkan diri. Namaku Hui Kauw dan aku datang ke kota raja ini untuk urusan pribadi, mencari keluargaku. Nah, sekali lagi harap kau dan orang-orangmu jangan mengganggu dan aku berjanji takkan mengganggu kalian dimana saja kalian berada.”

Orang yang sombong selalu tidak mau mengalah, sempit pandangan dan tidak menimbang keadaan. Sikap Hui Kauw ini diterima keliru oleh Souw Ki yang mengira bahwa gadis muka hitam itu merasa jerih terhadap dia!

“Ha-ha-ha, mana bisa begitu gampang? Kau telah bersikap garang terhadap orang-orangku, nah, sekarang kau harus berlutut tujuh kali minta ampun kepadaku, baru aku Tiat-jiu Souw Ki mau sudah!”

“Kau memang terlalu sombong’.” Hui Kauw membentak.

“Ha-ha-ha, majulah kalau hendak merasai kelihaianku!” Souw Ki menantang.

Hui Kauw maklum bahwa tak mungkin bersilat lidah dengan seorang manusia macam ini sombongnya.

“Lihat serangan!” ia membentak dan cepat laksana burung menyambar tubuhnya sudah bergerak maju dan kedua tangannya bergerak melakukan penyerangan.

Souw Ki yang memandang rendah, melihat datangnya tusukan dengan jari tangan kiri kearah lehernya, cepat menggerakkan tangan kanan untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan bermaksud untuk mengalahkan dalam segebrakan ini karena kalau dia berhasil menangkap tangan kecil itu berarti dia akan menang.

Hatinya girang bukan main melihat tangan kiri itu masih terus melakukan tusukan, agaknya sama sekali tidak perduli akan gerakan tangan kanannya yang hendak menangkap pergelangan tangan. Wah, begini gampang? Dia sudah tertawa dalam hatinya karena yakin bahwa pergelangan tangan kiri yang kecil itu sudah pasti akan dapat dia tangkap.





“Ayaaaaa……. celaka…….!”

Tubuh Souw Ki terjengkang dan roboh terus bergulingan ketika dia sengaja membanting diri ke belakang. Dia meloncat bangun lagi dengan muka sebentar pucat sebentar merah sedangkan keringat dingin membasahi lehernya. Dia sebentar marah, sebentar malu karena harus bersikap seperti itu di depan orang banyak. Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika dalam gebrakan pertama tadi saja dia sudah hampir celaka.

Kiranya tusukan tangan kiri Hui Kauw memang sengaja dilakukan sebagai umpan. Gadis itu membiarkan tangan kirinya disambar pergelangannya, akan tetapi tangan kanannya sudah cepat “memasuki” lowongan kedudukan lawan dan menyodok kearah lambung di bawah iga.

Andaikata Souw Ki tidak cepat-cepat membanting diri ke belakang, biarpun tangan kanannya akan berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, namun dia sendiri akan terkena Pukulan maut yang akan mengguncangkan jantungnya dan banyak kemungkinan akan menewaskannya!

Hui Kauw sekarang tersenyum mengejek.
“Tiat-jiu Souw Ki, sudah kukatakan bahwa aku tidak suka berkelahi mencari keributan. Masih belum terlambat kalau kau sudahi saja pertempuran tiada guna ini.”

Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannyapun tinggi tentu saja dia tidak menjadi gentar menghadapi bahaya yang hampir mengalahkannya tadi. Dia maklum bahwa hal tadi dapat terjadi bukan semata-mata karena lawan terlalu lihai, melainkan karena kesalahannya sendiri.

Dia tadi terlalu memandang rendah lawannya, sama sekali tidak mengira bahwa lawannya, seorang perempuan muda, memiliki kecepatan dan kelihaian seperti itu. Dia sekarang menjadi penasaran dan marah. Dibantingnya kaki kanannya dan dia membentak.

“Bocah sombong, jangan banyak mulut. Lihat pukulan!”

Tanpa sungkan-sungkan lagi kini Tiat-jiu Souw Ki menerjang Hui Kauw dengan kedua kepalan tangannya yang kuat terlatih sehingga dia mendapat julukan Tiat-jiu atau Si Tangan Besi. Pukulannya sampai mendatangkan angin saking keras dan cepatnya.

Namun Hui Kauw memiliki keanehan yang sudah matang. Sebagai puteri Ching-toanio yang sudah mewarisi kepandaian manusia iblis Siauw-coa-ong Giam Kin, tentu saja Hui Kauw memiliki dasar ilmu silat yang tinggi.

Menghadapi penyerangan Souw Ki yang biarpun ganas namun sebagian besar hanya berdasarkan tenaga kasar itu, ia tidak menjadi gugup. Dengan tenang namun cepat nona ini menggeser kakinya, mengelak dengan cekatan sekali sambil mengayun kaki kiri membalas dengan sebuah tendangan perlahan namun berbahaya karena yang dijadikan sasaran ujung sepatu adalah pusar lawan!

Tiat-jiu Souw Ki menggeram dan tangan kirinya menyambar kaki dengan maksud mencengkeramnya hancur, sedangkan tangan kanannya menjotos kepala nona yang besarnya sebanding dengan kepalan tangannya. Serangan balasan yang dahsyat ini dihadapi oleh Hui Kauw dengan memperlihatkan ginkangnya yang mengagumkan.

Tanpa menarik kakinya yang menendang itu Hui Kauw sudah menjejakkan kaki kanannya keatas tanah sehingga tubuhnya mumbul keatas, lalu bergerak miring untuk membebaskan diri dari pukulan Souw Ki dan otomatis kaki yang menendang juga menyamping, akan tetapi bukan berarti membatalkan tendangan karena kaki itu masih terus menendang dari arah yang berlainan dengan sasaran berubah pula, kini dari “udara” nona itu menendang kearah belakang telinga kanan lawan.

“Setan!”

Souw Ki memaki dan terpaksa dia merendahkan tubuhnya karena tendangan dari atas itu tidak sempat untuk dia tangkis lagi. Dia hendak menyusuli serangan berikutnya, namun gadis itu lebih cepat lagi. Ketika tendangannya luput ia melayang turun dan langsung sambil meloncat turun ini ia mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka. Pukulan kedua tangannya yang kecil itu cepat dan bertubi-tubi datangnya, seperti sebuah kitiran angin sehingga kelihatan seakan-akan kedua lengannya berubah menjadi belasan buah banyaknya yang menghujankan pukulan-pukulan ke pelbagai sasaran berbahaya.

Souw Ki terpaksa meloncat kesana kemari sambil kedua tangannya sibuk bergerak melindungi bagian tubuh yang lemah. Dia sampai berkeringat ketika lawannya sudah menerjangnya sebanyak belasan jurus, karena dia benar-benar kalah cepat sehingga sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang, jangankan balas menyerang, bernapaspun agaknya hampir tidak ada kesempatan.

Tubuh Hui Kauw bergerak-gerak makin lama makin cepat, mengitari dirinya sehingga matanya menjadi berkunang dan dia sudah melihat empat lima orang Hui Kauw menari-nari di sekelilingnya!

“Plak-plak-plak!”

Tiga kali telapak tangan Hui Kauw menampar pipi, leher dan pundak. Panas rasanya dan membuat pandang mata Souw Ki berkunang. Memang kembali Hui Kauw telah memperlihatkan kemurahan hatinya. Tiga kali pukulan ini sudah menjadi bukti cukup bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, ia jauh lebih lihai dan lebih cepat. Kalau ia mau, sebagai seorang ahli silat tinggi, sekali menjatuhkan tangan tentu dapat mencari sasaran yang mematikan, akan tetapi sampai tiga kali ia hanya menampar saja.

Souw Ki mengeluh dan cepat dia melompat ke belakang sehingga menabrak kursi yang menjadi remuk! Dua orang anak buahnya cepat menghampirinya untuk menolong pemimpin mereka yang terhuyung itu, akan tetapi Souw Ki membentak,

“Pergi kalian!”

Kakinya melayang dan……. dua orang pembantu yang sial itu terlempar dan mengaduh-aduh. Kiranya saking marah dan mendongkolnya, Si Tangan Besi ini melampiaskan kepada dua orang anak buah yang hendak menolongnya.

“Tiat-jiu Souw Ki, kiranya sudah cukup sekarang.”

Hui Kauw kembali membujuk untuk menyudahi saja pertempuran yang tiada gunanya itu.

“Wuuuttttt!” Ruyung baja yang berat itu sudah berada di tangan kanan Souw Ki.

“Iblis betina, jangan kira kau sudah mampu mengalahkan aku! Hemmm, memang kau menang cepat, akan tetapi cobalah kecepatanmu dengan ruyungku, akan hancur kepalamu. Hayo, cabut pedangmu itu!”

Terdengar suara berkerotan ketika Souw Ki menggertak gigi saking marah dan malunya karena dia telah ditelan mentah-mentah oleh seorang dara yang masih hijau. Tidak sampai tiga puluh jurus dikalahkan. Hebat ini!

Ketika dia dikalahkan Bi-yan-cu Tan Loan Ki dalam memperebutkan mahkota, dia masih sanggup menghadapi Walet Jelita itu sampai hampir seratus jurus. Masa sekarang terhadap gadis muka hitam ini, belum tiga puluh jurus dia sudah kena dikemplang tiga kali.

Kekalahannya terhadap Bi-yan-cu Tan Loan Ki masih dapat dia maklumi setelah dia mendengar bahwa dara lincah itu adalah puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Akan tetapi kekalahan terhadap seorang gadis muka hitam yang tidak ternama sama sekali? Benar-benar bisa membikin dia muntah darah segar saking dongkolnya!

Hui Kauw makin gelisah. Celaka, pikirnya, monyet tua ini benar tidak tahu diri. Kepandaiannya hanya sekian saja mau digunakan untuk menjual lagak. Tidak dilayani tidak mungkin, kalau dia dilayani dan bertempur menggunakan senjata, tentu lebih hebat ekornya. Maka ia berdiri dan memandang ragu ketika Souw Ki memutar-mutar ruyung berat itu diatas kepala dengan sikap beringas.

Melihat keraguan Hui Kauw, kembali Souw Ki si pengung (si tolol) itu salah tafsir, mengira nona ini takut menghadapi senjatanya yang menyeramkan itu.

“Tidak lekas mencabut senjatamu? Nah, rasakan ini ruyung pencabut nyawa!”

“Weerrr!”

Ruyung yang beratnya tidak kalah dengan tiga perempat karung beras itu melayang dan angin pukulannya saja sudah membuat rambut halus di kepala Hui Kauw berkibar.






No comments:

Post a Comment