Ads

Monday, February 4, 2019

Pendekar Buta Jilid 088

Cepat ia mengubah kedudukan kakinya, miring untuk menghindarkan tusukan sambil mengelebatkan pedang mencari kesempatan membalas. Tiga kali Bhong Lo-koai menyerang hebat dan tiga kali Hui Kauw mengelak, namun belum juga Bhong Lo-koai dapat mengenal gerakan mengelak sampai tiga kali ini. Memang tidak gampang mengenai ilmu silat Hui Kauw karena seperti telah diterangkan tadi, ilmu silat nona ini adalah ciptaan Ching-toanio yang mengawinkan banyak macam ilmu silat.

Karena penasaran, Bhong Lo-koai tidak berani memandang rendah lagi, kini tongkatnya menyambar-nyambar laksana seekor ular terbang, mengurung diri Hui Kauw dari empat jurusan! Kalau tidak dapat mengenal ilmu nona ini, setidaknya dia harus dapat merobohkannya!

Namun benar-benar perhitungannya meleset ilmu tongkat dari Bhong Lo-koai memang aneh sehingga dia memperoleh julukan Koai-tung (Si Tongkat Aneh), akan tetapi betapapun hebatnya ilmu tongkatnya, dia tidak mampu menembus dinding sinar pedang Hui Kauw yang amat kokoh kuat, Di lain pihak, Hui Kauw masih saja mainkan ilmu pedang warisan ibu angkatnya, karena dengan ilmu pedang inipun ia masih mampu menandingi ilmu tongkat kakek itu.

Ia tidak menghendaki pertumpahan darah, tidak mau sembarangan melukai apalagi membunuh orang, maka juga ia tidak sampai mempergunakan ilmu pedang simpanannya yang bersifat ganas dan yang ia tahu amat ampuh dan sekali turun tangan mungkin akan menjatuhkan korban itu.

Lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba kakek itu berseru keras sekali ketika pedang Hui Kauw membentur tongkatnya dan tahu-tahu melenting keatas dan dengan gerakan aneh berlenggang-lenggok mengarah lehernya. Sambil berseru ini Bhong Lo-koai menarik tongkatnya dan melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri daripada tusukan pedang.

“Tahan dulu!” demikian teriaknya dan sepasang mata yang biasanya ngantuk itu kini terbuka agak lebar karena herannya. “Nona, jawablah yang betul, kau masih terhitung apa dengan Siauw-coa-ong Giam Kin?”

Hui Kauw maklum bahwa agaknya kakek ini mengenalnya dari ilmu pedang yang memang mengandung pula inti sari ilmu silat ayah angkatnya itu, malah dahulu pernah pula ia langsung mendapat petunjuk dan latihan dari ayah angkatnya itu.

“Dia adalah ayah angkatku, apa sangkut-pautnya denganmu?” jawabnya dengan suara masih tetap dingin.

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan menoleh kepada The Sun yang juga kelihatan girang.
“Aha, The-kongcu, kiranya orang sendiri! Nona, kalau begitu kau she Giam pula! Ha-ha-ha, kalau tidak bertempur mana kenal? Nona yang baik, aku adalah kenalan baiknya, malah sahabat baik.”

The Sun menjura dengan sikap hormat.
“Kiranya Giam-Taihiap adalah putera angkat mendiang Giam-lo-enghiong. Pantas begini lihai. Aku The Sun mengharap supaya kau sudi memaafkan orang-orangku yang salah mata. Tentu saja terhadap puteri angkat Giam lo-enghiong, kami tidak menganggap musuh dan sama sekali tidak berani menaruh curiga. Sesungguhnya diantara kita masih ada hubungan persahabatan!”

The Sun lalu mengusir semua penjaga, malah segera memerintah para pengurus rumah penginapan itu untuk menyediakan hidangan untuk menghormati Nona Giam Hui Kauw.

Ruangan yang tadinya dijadikan arena pertempuran, dalam sekejap mata saja diubah menjadi tempat pesta, dengan meja yang ditilami kain merah berkembang dan sebentar kemudian berdatanganlah arak wangi dan masakan-masakan lezat yang masih panas, diambilkan cepat-cepat dari restoran terbesar yang berdekatan.

Hui Kauw merasa tak enak sekali. Jangan dikira hatinya menjadi girang karena permusuhan berubah menjadi persahabatan, karena makin rendah saja nilai orang-orang ini di dalam pandangannya. Ia sendiri sudah cukup tahu orang apa adanya Giam Kin ayah angkatnya itu, maka kalau orang-orang ini mengaku sahabat ayah angkatnya, terang bahwa mereka ini biarpun memiliki kedudukan tinggi di kota raja, juga bukan terdiri dari orang-orang yang baik.

Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak uluran tangan mereka, dan tidak dapat menolak pula penghormatan berupa hidangan itu. Diam-diam ia lega juga bahwa ia tidak jadi menimbulkan keonaran di kota raja dan dapat mencari orang tuanya dengan leluasa.

Beberapa kali The Sun dengan sikap menghormat dan manis menuangkan arak dan mengajak nona itu minum, kemudian dalam percakapan itu The Sun bertanya,

“Nona, saya mendengar dari Souw Ki bahwa kau mencari keluargamu dan kau menyelidiki tentang seorang hartawan she Kwee yang dahulu kehilangan puterinya. Sebetulnya, kau mencari siapakah? Kau percayalah kepadaku, kalau orang yang kau cari itu betul-betul berada di kota raja, aku The Sun pasti akan dapat menemukannya. Anak buahku tersebar di seluruh kota dan mengenal setiap orang penduduk.”





“Betul ucapan The Sun ini, Nona,” sambung pula Bhong Lo-koai. “Kami pasti akan dapat mencarikan orang itu, tidak baik kalau Nona sendiri pergi mencari dan khawatir akan terjadinya hal-hal tidak enak karena salah mengerti.”

Diam-diam Hui Kauw mempertimbangkan hal ini. Tentu saja ia tidak bermaksud untuk membuka rahasianya sendiri, akan tetapi agaknya kalau dibantu oleh The Sun, lebih mudahlah untuk dapat bertemu dengan ayah bundanya. Ia meneguk araknya lalu berkata manis.

“Terima kasih banyak, ji-wi (kalian berdua) baik sekali. Sebetulnya aku masih keluarga jauh dari seorang she Kwee yang tinggal di kota raja semenjak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, karena aku hanya mendengar hal ini dari mendiang kakekku, aku yang sejak kecil tak pernah bertemu muka dengan keluarga Kwee itu hanya tahu bahwa dikota raja dan belasan tahun yang lalu, keluarga ini kehilangan seorang anak perempuan. Tentu saja aku tidak bermaksud untuk menyusahkan dan merepotkan ji-wi, akan tetapi kalau ji-wi dapat mencarikan keluarga ini untukku aku akan berterima kasih sekali.”

The Sun menoleh kepada Bhong Lo-koai yang tampak termenung.
“Lo-eng-hiong kau yang lebih lama tinggal disini daripada aku, apakah tidak mengenal orang yang dimaksudkan oleh Nona Giam?”

“Nanti dulu……. nanti dulu…..” kakek itu meraba-raba keningnya kemudian mengangkat mukanya memandang Hui Kauw. “Kau maksudkan hartawan Kwee yang kehilangan anak perempuannya? Anak perempuan yang diculik penjahat belasan tahun yang lalu? Ah……. ahh……. jangan-jangan yang kau maksudkan adalah Kwee-taijin (pembesar Kwee) yang sekarang menjabat pegawai tinggi bagian benda-benda pusaka di istana. Aku ingat betul kejadian itu, kurang lebih tujuh belas tahun atau delapan belas tahun yang lalu, pada suatu malam kota raja gempar karena puteri Kwee-wangwe (hartawan Kwee) yang pada masa itu belum menjadi pembesar namun sudah menjadi kenalan baik dari pangeran mahkota, kabarnya diculik seorang penjahat wanita yang amat lihai. Banyak penjaga dan pengawal melakukan pengejaran namun banyak yang jatuh menjadi korban penjahat wanita yang lihai itu. Aku ikut pula mengejar akan tetapi sayang tidak bertemu dengan penjahat itu. Kabarnya, penjahat wanita itu akhirnya kena dikepung oleh para pengawal, akan tetapi secara aneh dapat meloloskan diri karena tertolong oleh seorang sakti yang tidak memperlihatkan diri. Benar aneh……. dan……. jangan-jangan dia itu orang yang kau maksudkan?”

Hui Kauw menahan debaran jantungnya. Tidak salah lagi tentu mereka itulah ayah-bundanya. Anak kecil yang diculik itu, siapa lagi kalau bukan dia? Penculik itu, penjahat wanita yang lihai, siapa lagi kalau bukan ibu angkatnya, Ching-toanio yang dahulu masih bernama Liu bwee Lan? Dan penolong sakti itu, sudah tentu mendiang Giam Kin! Dengan kekuatan batinnya ia menekan perasaan agar mukanya tidak menyatakan sesuatu, kemudian ia berkata dengan sikap gembira.

“Tentu dia orangnya! Dia masih pamanku, paman jauh……. ah, Bhong lo-enghiong, tolonglah, dapatkah kau menunjukkan kepadaku, dimana rumahnya?”

The Sun dan Bhong Lo-koai saling bertukar pandang. Kwee-taijin adalah seorang yang penting kedudukannya, pemegang kunci gudang benda-benda pusaka istana. Dalam keadaan politik sekacau itu, mana bisa menaruh kepercayaan begitu saja kepada gadis lihai ini untuk mendatangi Kwee-taijin? Siapa tahu gadis ini mengandung maksud buruk terhadap pembesar itu?

The Sun tersenyum.
“Mudah saja, Nona. Kami mengenal baik kepada Kwee-taijin. Marilah, sekarang juga kami antar kau menghadap Kwee-taijin di rumahnya.”

Seorang yang berperasaan halus seperti Hui Kauw, tentu saja dapat menangkap kecurigaan yang terkandung dalam sikap dan pandang mata The Sun dan Bhong Lo-koai, akan tetapi ia tidak memperdulikannya karena hatinya sudah terlampau girang mendengar keterangan tentang ayah bundanya ini. Soal ayahnya menjadi pembesar atau bukan, itu urusan nanti. Yang penting baginya, ia dapat bertemu dengan ayah bundanya yang aseli, yang dikenangnya dan dirindukan semenjak ia mendengar penuturan pelayan tua di Ching-coa-to.

“Aku tidak bermaksud merepotkah ji-wi, tapi…….” ia bersungkan.

“Ah, tidak apa, Nona. Bukankah diantara kita adalah diantara orang segolongan sendiri? Tidak usah sungkan, apalagi memang kami adalah kenalan baik Kwee-taijin. Marilah.”

Tiga orang itu segera meninggalkan penginapan, diantar oleh anggukan dan sikap menghormat oleh para pelayan dan pengurus rumah penginapan. Kiranya di depan rumah penginapan sudah tersedia sebuah kereta kuda dan The Sun mempersilakan Hui Kauw naik bersama dia dan Bhong Lo-koai.

Hui Kauw merasa sungkan sekali, akan tetapi karena hatinya dipenuhi kegembiraan dan ketegangan hendak bertemu orang tuanya, ia tidak banyak menolak dan berangkatlah mereka sebagai pembesar-pembesar yang berkendaraan di kota raja!

Rumah Kwee-taijin amat besar dan mewah sehingga begitu memasuki pekarangan depan itu, hati Hui Kauw sudah berdebaran dan ia merasa dirinya amat kecil. Rumah Ching-toanio di Ching-coa-to memang juga besar dan indah, akan tetapi dibandingkan dengan bangunan-bangunan di kota raja, benar-benar tidak ada artinya.

Rumah depannya itu dijaga beberapa orang perajurit yang memberi hormat ketika melihat The Sun dan Bhong Lo-koai. Otomatis mereka menghormat Hui Kauw pula karena gadis ini datang bersama dua orang tokoh itu.

Apalagi melihat gadis muka hitam ini membawa pedang di pinggang, para penjaga maklum bahwa gadis ini tentulah seorang tokoh kang-ouw yang banyak berkeliaran di kota raja karena dibutuhkan bantuan mereka oleh kaisar.

Penjaga pintu depan segera melapor ke dalam setelah mempersilakan tiga orang tamu ini duduk di ruang tamu yang berada di depan, sebuah ruangan lebar yang penuh gambar-gambar indah dan tulisan-tulisan sajak bergantungan di sepanjang dinding tebal yang dikapur putih. Diam-diam Hai Kauw membandingkan lukisan dan sajak-sajak itu dengan milik ibu angkatnya di Ching-coa-to dan merasa bahwa lukisan-lukisan yang berada disini tidak mampu melawan keindahan kumpulan ibu angkatnya.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki dari dalam. Hati Hui Kauw sudah berdegupan tidak karuan, akan tetapi ia terheran ketika melihat bahwa yang muncul dari pintu dalam adalah dua orang muda. Yaitu seorang gadis dan seorang pemuda. Mereka masih muda benar, kurang lebih tujuh belas atau enam belas tahun, akan tetapi sikap mereka gesit dan lincah, pakaian mereka mewah dan wajah mereka tampan dan cantik.

“The-kongcu…….!” dara remaja itu menegur sambil memberi hormat, suaranya berirama manja dan manis.

Diam-diam Hui Kauw mengerutkan keningnya. Gadis ini terlalu dimanja dan agaknya tergila-gila kepada The Sun yang tampan! Bukan hal yang pantas kalau seorang dara remaja seperti dia itu keluar menyambut tamu pria dengan sikap semanis itu.

“Nona Kwee, sepagi ini kau sudah begini gembira dan segar cantik. Hendak kemanakah?”

The Sun menegur dan diam-diam Hui Kauw dapat merasa betapa sikap The Sun ini dibuat-buat manis, seperti sikap seorang dewasa terhadap anak-anak. Hemm, agaknya pemuda berpengaruh ini tidak seceriwis yang disangkanya, pikir Hui Kauw.

“Aku hendak pergi berburu dengan Kian-koko (kakak Kian)! Ah, kalau saja kau bisa ikut, The-kongcu, tentu akan banyak hasilnya. Panahmu selalu tepat mengenai sasaran!” Dara lincah dan jelita itu berkata pula.

The Sun tersenyum dan menggeleng kepala.
“Lain kali saja, sekarang aku banyak urusan. Adik Kian, hati-hati kalau berburu, jangan terlalu jauh meninggalkan tembok kota,” pesannya kepada pemuda remaja itu yang sejak tadi memandang kepada Hui Kauw.

“Pelayan memberi tahu bahwa ada Bhong-Locianpwe dan The-kongcu bersama seorang nona mencari ayah,” katanya dengan suaranya yang besar dan keras. “Ayah sedang mandi, kami dipesan supaya mempersilakan kalian bertiga menanti sebentar.”

“Baik, baik……. tidak apa, ada sedikit urusan” kata The Sun.

Sementara itu, pelayan datang membawa hidangan minuman dan Hui Kauw merasa canggung sekali karena dua orang muda itu tiada hentinya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik. Ia merasa tidak enak, juga bingung, hatinya menduga-duga.






No comments:

Post a Comment