Ads

Saturday, February 2, 2019

Pendekar Buta Jilid 085

Hatinya geli mendengar betapa daun jendela dikorek-korek dengan senjata tajam. Agaknya pencuri yang hendak membuka jendela, pikirnya. Akan tetapi ketika ia mencurahkan perhatian dan menggunakan pendengarannya, terdengar lebih daripada dua buah kaki yang berpijak di lantai. Hemm, apakah di kota raja yang begini ramainya terdapat juga perampok-perampok? Benar-benar berani mati penjahat-penjahat ini, pikirnya. Rumah penginapan adalah tempat umum dan disitu banyak terdapat tamu, bagaimana mereka ini berani datang melakukan kejahatan disini? Kalau ketahuan, apakah mereka tak akan dikeroyok mampus?

“Kraaakkk!”

Akhirnya daun jendela terbuka dan tiga sosok bayangan yang ringan gerakannya meloncat memasuki kamar melalui jendela itu. Diam-diam Hui Kauw kaget karena gerakan tiga orang itu menunjukkan bahwa mereka bukanlah merupakan penjahat-penjahat biasa, melainkan orang-orang yang memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi ia tetap rebah saja sambil mempersiapkan pedangnya, lalu Hui Kauw membentak halus.

“Tiga orang tikus kecil apakah sudah bosan hidup? Hayo lekas keluar lagi sebelum nonamu habis sabar!” Memang ia tidak mau mencari perkara di kota raja yang asing baginya ini.

Tiga orang itu tidak bergerak, malah seorang di antaranya menyalakan lilin sehingga Hui Kauw dapat melihat bahwa mereka adalah tiga orang tinggi besar yang siang tadi duduk di ruangan tengah.

“Nona muka hitam, jangan sombong,” cela seorang diantara mereka.

“Hemm, benar-benar tidak tahu telah diberi kelonggaran,” kata orang kedua.

Orang ketiga yang menyalakan lampu itu berkata sambil memandang Hui Kauw yang sudah bangun dan duduk di pinggir pembaringannya,

“Nona, kami bertiga sudah banyak mengalah, sengaja tidak membikin ribut di depan umum agar kau tidak mendapatkan malu. Karena itulah maka kami diam-diam mendatangimu di waktu malam begini agar orang-orang tidak ada yang tahu.”

Hui Kauw mengerutkan kening, membentak,
“Orang-orang kurang ajar, kalian bicara apa? Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, hayo lekas minggat dari sini!”

Gadis ini sekarang sudah marah dan sudah turun dari pembaringan, berdiri tegak dengan sikap keren dan dengan pedang di tangan.

Seorang diantara mereka yang matanya juling tertawa mengejek, lalu cengar-cengir berkata,

“Nona, agaknya kau belum tahu siapa kami, maka sikapmu kasar. Ketahuilah, kami adalah petugas-petugas dari istana, kami mata-mata dan penyelidik yang bertugas dirumah penginapan ini. Entah sudah berapa banyaknya mata-mata pengkhianat dan pemberontak kami tangkap! Nah, lebih baik sekarang simpan pedangmu dan kau baik-baik membiarkan kami menggeledah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.”

“Siapa peduli tentang keadaan kalian? Siapapun juga kalian, tidak patut memasuki kamar orang seperti pencuri-pencuri busuk. Kalau ada keperluan datanglah besuk dengan cara yang sopan. Aku bukan pengkhianat, bukan pula pemberontak, perduli apa dengan kedudukan kalian? Hayo minggat!”

“Ha-ha-ha, galak benar” orang kedua yang kumisnya panjang tertawa, “Biarpun mungkin bukan pemberontak, akan tetapi setidaknya tentu sebangsa perampok atau maling tunggal yang datang dari luar kota raja hendak mengacau atau mencuri disini. Nona tangan panjang, kau menyelidiki keadaan seorang hartawan di kota raja, apa maksudmu selain hendak memindahkan sebagian hartanya ke tanganmu?”

“Keparat, berani kalian menghina orang!” Tubuh Hui Kauw bergerak dan terdengarlah suara

“plak-plak, bluk, nngek!” disusul pekik tiga orang itu mengaduh-aduh diakhiri dengan melayangnya tiga tubuh mereka keluar lubang jendela.

Mereka masih terdengar mengaduh-aduh, lalu merangkak-rangkak kemudian terdengar langkah mereka berderap-derap lagi meninggalkan tempat itu!

Hui Kauw tersenyum mengejek dan merasa geli hatinya. Begitu sajakah penyelidik-penyelidik dari istana? Ia membersihkan kedua tangannya dengan taplak meja di kamar itu. Kedua tangannya baru saja “makan” muka dan kepalannya menjotos dada orang-orang itu. Dengan tenang Hui Kauw menutupkan daun pintu jendelanya kembali, menyimpan pedangnya lalu merebahkan diri diatas pembaringan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.





Menjelang pagi nona itu tiba-tiba terbangun. Enak juga ia tidur dari tengah malam tadi. Tidur pulas tiga empat jam baginya cukup sudah. Sekarang ia terbangun karena mendengar suara diluar kamarnya. Banyak orang berkumpul diluar kamarnya, sedikitnya ada sepuluh orang.

Mendengar suara “disini kamarnya!” Hui Kauw cepat turun dari pembaringan, menggosok-gosok mukanya dengan sapu tangan, membereskan rambut dan pakaiannya yang kusut, mengikatkan pedang di pinggangnya mengencangkan tali sepatunya, malah untuk menjaga segala kemungkinan ia mengikatkan pula buntalan pakaian diatas punggungnya.

“Duk-duk-duk, buka pintu!” Pintunya mulai digedor orang. “Buka pintu! Kami pengawal istana hendak memeriksa!”

Huh, menyebalkan, pikir Hui Kauw. Kiranya di kota raja berkeliaran segala anjing istana yang kerjanya hanya mengganggu orang. Hemm, lihat mereka mau apa terhadapku. Kakinya melangkah ringan dan sekali tangannya bergerak, pengganjal daun pintu terlepas dan daun-pintu terbuka lebar-lebar.

Dengan tenang Hui Kauw berdiri tegak dengan sikap gagah dan mata tajam menatap keluar kamar. Kiranya diluar kamarnya telah berkumpul sedikitnya selosin orang, dikepalai laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bersikap gagah dan sombong, sebuah senjata ruyung baja yang besar tergantung di pinggangnya.

Melihat pakaian orang ini lebih mewah dan berbeda dari orang-orang yang lain, dapatlah Hui Kauw menduga bahwa orang ini tentu pimpimpin mereka itu. Dengan tenang ia melangkahkan kaki keluar dari dalam kamar, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut berhadapan dengan selosin laki-laki yang tampaknya tinggi-tinggi besar dan gagah-gagah itu.

“Hemm, kiranya orang-orang lelaki di kota raja, hanya kelihatannya saja gagah dan sombong,” kata Hui Kauw perlahan akan tetapi suaranya mengandung penuh penyesalan dan ejekan, “Malam tadi tiga ekor anjing menggonggong dan berlagak membuat orang sukar tidur enak dan sekarang pagi-pagi sekali serombongan orang kasar menggedor pintu. Apa kehendak kalian?”

Hui-Kauw sengaja berkata demikian ketika melihat bahwa tiga orang laki-laki malam tadi berada di dalam rombongan ini pula.

Tiga orang laki-laki itu menjadi merah mukanya, mata mereka melotot lebar akan tetapi jelas mereka kelihatan gentar. Siapa orangnya tidak menjadi gentar kalau malam tadi mengalami hal seperti mereka? Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, semalam gadis bermuka hitam itu telah membuat mereka kalang-kabut dan babak-belur sehingga dalam keadaan hampir pingsan tahu-tahu mereka mendapatkan diri telah berada diluar kamar!

Tentu saja mereka merasa seperti telah bertemu dan melawan setan karena mereka yang terkenal sebagai orang-orang berkepandaian tinggi bagaimana bisa mengalami hal seperti itu anehnya. Semalam dengan tubuh sakit-sakit dan semangat terbang melayang, mereka menyeret kedua kaki melarikan diri dan langsung melaporkan hal aneh itu kepada seorang pengawal istana yang menjadi kepala mereka.

Pengawal istana yang sekarang membawa sebelas anak buahnya, pagi-pagi sekali mendatangi kamar tamu hotel yang aneh dan mencurigakan itu, bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki yang sudah kita kenal lama!

Seperti telah kita ketahui, semenjak masih pangeran, kaisar yang sekarang, yaitu dahulunya Pangeran Kian Bun Ti, sudah banyak mempunyai kaki tangan terdiri dari jago-jago silat. Dahulu dia terkenal mempunyai tujuh orang pengawal jagoan yang terdiri dari orang-orang gagah, di antaranya adalah Tiat-jiu Souw Ki itulah.

Setelah Kian Bun Ti menjadi kaisar, hanya tiga orang diantara tujuh jagoannya. yang masih ada dan yang masih dia pergunakan tenaganya sebagai pengawal istana. Mereka ini adalah Tiat-jiu Souw Ki, Bhong Lo-koai dan Ang Mo-ko. Dua orang kakek ini ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Tiat-jiu Souw Ki, akan tetapi karena watak mereka yang aneh, jarang sekali mereka keluar kalau tidak menghadapi urusan besar. Mereka lebih suka bertugas di dalam istana menjaga keselamatan kaisar, berbeda dengan Tiat-jiu Souw Ki yang lebih suka berkeliaran diluar karena baginya, bertugas diluar istana mempunyai kesempatan lebih banyak untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, mudah mencari “rejeki” dengan jalan memeras dan merampas, mudah pula mempermainkan anak isteri orang yang menjadi sebuah diantara hobbynya (kegemarannya)!

Di bagian cerita ini sudah dituturkan betapa Tiat-jiu Souw Ki yang tadinya berhasil merampas kembali mahkota kuno yang dicuri oleh Tan Hok dari dalam istana kemudian “bertemu batunya” ketika nona Tan Loan Ki Si Walet Jelita mempermainkannya, mengalahkannya dan merampas kembali mahkota itu.

Hati Souw Ki amat penasaran. Dia, seorang pengawal kaisar, berjuluk Tiat-jiu (Si Tangan Besi), ahli main ruyung baja, masih dibantu anak buah perampok-perampok Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang dan si tosu bopeng Ban Kwan Tojin, kalah oleh seorang dara jelita yang masih setengah kanak-kanak! Mulai saat itu Tiat-jiu Souw Ki menaruh hati benci pada wanita-wanita kang-ouw.

Maka begitu mendengar dari anak buahnya bahwa di dalam penginapan di kota raja itu terdapat seorang wanita kang-ouw yang mencurigakan akan tetapi berilmu tinggi, hatinya tertarik dan penasaran. Mana bisa di dunia ini ada wanita kedua yang boleh begitu saja menghinanya? Demikianlah, pagi-pagi benar dia mengajak sebelas orang anak buahnya yang pilihan mendatangi penginapan itu dan menggedor pintu kamar Hui Kauw.

Melihat sikap Hui Kauw yang menantang dan keren, Tiat-jiu Souw Ki menjadi panas perutnya. Dia seorang mata keranjang dan agaknya kalau nona yang berbentuk tubuh menggairahkan ini tidak hitam mukanya, agaknya siang-siang kemarahannya sudah akan mencair kembali. Akan tetapi kehitaman muka Hui Kauw memang menyembunyikan kecantikannya dan hal ini agaknya membuat Souw Ki makin panas perutnya sehingga meledaklah suaranya membentak.

“He, monyet betina muka hitam! Siapa kau berani bersikap sombong di depan Tiat-jiu Souw Ki? Mendengar laporan anak buahku, kukira kau seorang tokoh kang-ouw yang bernama besar sehingga pagi-pagi aku datang sendiri untuk melihat. Siapa tahu kiranya hanya seekor monyet hitam, lutung hitam. Hayo lekas berlutut menyerah!”

Hui Kauw adalah seorang yang sebenarnya memiliki watak penyabar dan luas pandangan. Semalam sudah ia buktikan betapa wataknya amat halus dan pemurah sehingga tiga orang laki-laki kasar yang sudah menghinanya itu masih dia ampuni dan hanya memberi hajaran sedikit dan tidak mengakibatkan luka-luka parah.

Namun, sesabar-sabarnya hati wanita, kalau dimaki dan diperolok tentang keburukan mukanya, ia tentu akan marah juga. Demikian pula Hui Kauw. Ia maklum bahwa mukanya memang hitam dan buruk, akan tetapi bukan untuk diperolok oleh seorang laki-laki macam Souw Ki ini. Dengan kilatan mata berbahaya, gadis itu menudingkan telunjuknya yang runcing kemuka Souw Ki sambil berkata.

“Bangsat rendah bermulut kotor, mukamu sendiri hitam dan buruk, masih berani memaki orang lain? Tidak peduli kau siapa, aku adalah seorang baik-baik yang tidak pernah dan tidak akan melakukan kejahatan. Tentang maksud kedatanganku di kota raja, adalah urusanku sendiri, siapa berhak mencampuri? Malam tadi aku masih mengampuni tiga ekor anjing kecil, akan tetapi sekarang kalau ada anjing besar berani menggonggong tak tahu malu, agaknya aku takkan puas kalau belum mampu menghajar moncongnya sampai tanggal semua giginya!”

Dapat dibayangkan betapa marahnya Tiat-jiu Souw Ki mendengar kata-kata menghina ini. Jelas bahwa gadis muka hitam ini memakinya sebagai anjing besar yang hendak dihajar moncongnya dan ditanggalkan giginya.

“Bangsat betina, tidak biasa aku, Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi bertempur melawan perempuan, akan tetapi karena kau terlalu kurang ajar sudah semestinya mengenal tangan besiku.”

“Hemm, kau mau mengeroyok? Aku tidak takut!” kata Hui Kauw, masih tenang sikapnya dan sama sekali ia tidak meraba gagang pedangnya.

Ia tahu bahwa kepandaian seseorang dapat diukur dari sikapnya. Sikap Souw Ki yang sombong ini sama sekali tidak mencerminkan ilmu yang tinggi sehingga tak perlu pula ia berkhawatir.

“Wah-wah, kau benar-benar memandang rendah, keparat! Agaknya kau memiliki sedikit kepandaian maka berani malang-melintang di kota raja. Siapa hendak mengeroyokmu? Dua buah jari tanganku saja sanggup membuat kau berkeok-keok minta ampun. Mari……. mari…….. boleh kita bertanding di tempat yang lapang!”

Dia melangkah lebar ke ruangan dalam dimana terdapat ruangan yang lapang setelah meja kursi didorong ke pinggir tembok. Dengan lagak gagah dibuat-buat Souw Ki berdiri di tengah ruangan ini, menanti dengan sikap jagoan yang sudah pasti akan mendapat kemenangan, sama sekali tidak sadar bahwa sikapnya ini saja sudah menunjukkan sikap pengecut besar karena sebagai jago, yang menanti bukanlah jago lain melainkan seekor ayam betina!






No comments:

Post a Comment