Ads

Saturday, February 2, 2019

Pendekar Buta Jilid 084

Hui Kauw meninggalkan Pulau Ching-coa-to dengan hati penuh duka nestapa dan perasaan hancur. Memang, baginya pulau itu bukanlah kenangan yang mendatangkan kenangan indah dan andaikata ia dapat pergi meninggalkan pulau ini setahun yang lalu, agaknya ia akan merasa gembira, bahagia dan bebas seperti burung terlepas dari sangkarnya.

Ching-toanio dan Hui Siang bukanlah merupakan orang-orang yang mengasihinya, sungguhpun ia sendiri cukup berusaha untuk memaksa hati menyayang mereka untuk membalas budi mereka, terutama budi Ching-toanio yang telah memeliharanya semenjak ia kecil, sungguhpun wanita itu telah menculiknya dari tangan ayah bundanya yang aseli.

Sesungguhnya, andaikata sebelum terjadi peristiwa keributan karena kedatangan Kun Hong di pulau itu, ia telah berhasil meninggalkan pulau, hal itu akan merupakan kebebasan dan kebahagiaan baginya.

Akan tetapi, apa hendak dikata. Nasibnya menghendaki lain. Nasib telah mempertemukan ia dengan Kun Hong Pendekar Buta itu, orang muda buta yang sekaligus menarik hatinya, menjatuhkan cinta kasihnya. Pengharapannya untuk dapat hidup berbahagia sebagai isteri Kwa Kun Hong timbul ketika Ching-toanio membujuknya untuk melakukan upacara pernikahan dengan Si Pendekar Buta. Menyaksikan wajah Si Pendekar Buta yang simpatik, budi pekertinya yang baik, sikapnya yang gagah perkasa dan kepandaiannya yang tinggi, di dalam hatinya Hui Kauw sudah jatuh benar-benar.

Kebutaan mata Kun Hong tidak mengecewakan hatinya, malah merupakan hiburan baginya karena dengan demikian laki-laki yang ia harapkan menjadi suaminya itu tidak akan dapat melihat betapa wajahnya yang berkulit halus itu berwarna kehitaman yang menurut pandang mata setiap orang laki-laki tentu amat menjemukan dan buruk!

Siapa dapat mengira bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka, siasat yang dijalankan oleh Ching-toanio dan kawan-kawannya untuk menjebak Kun Hong dan menarik pemuda perkasa itu ke pihak mereka.

Tentu saja sebagai seorang laki-laki gagah, Kun Hong merasa terhina dan menolak pernikahan yang hanya merupakan siasat itu. Akibatnya perasaan Hui Kauw hancur luluh, remuk-redam dan buyarlah semua renungan yang muluk-muluk tentang hidup bahagia bersama Kun Hong.

Kini ia sudah terpisah dari Kun Hong, meninggalkan pemuda itu setelah membantunya mendapatkan mahkota kuno kembali. Sedikitnya hatinya telah terhibur. Tidak saja ia telah berjasa dan membalas budi Kun Hong, juga ia mendapat kenyataan bahwa Pendekar Buta itu sebetulnya menaruh hati cinta kasih pula kepadanya. Ia tidak bertepuk tangan sebelah. Kalau teringat akan ini, ingin rasanya Hui Kauw menari-nari saking bahagia rasa hatinya. Kun Hong juga mencintainya! Kebahagiaan apakah di dunia ini yang lebih besar daripada keyakinan bahwa orang yang dicintanya membalas dengan Cinta kasih yang sama besarnya pula?

Namun, duka dan suka memanglah sepasang saudara kembar. Masing-masing tak dapat berjauhan dan masing-masing siap menggantikan kedudukan saudara kembarnya. Rasa suka karena pengetahuan tentang cinta kasih Kun Hong kepadanya ini segera tertutup oleh duka yang amat besar, yaitu kenyataan bahwa Kun Hong tidak akan dapat mengawininya karena pemuda buta itu seluruh hati dan perasaannya masih terikat oleh cinta kasihnya kepada mendiang Cui Bi, dan perasaan ini memaksa Si Pendekar Buta untuk bersetia terus kepada mendiang kekasihnya itu!

Demikianlah, dengan dada kosong karena hatinya sudah tertinggal bersama Si Pendekar Buta, dan perasaan amat berat karena semenjak saat itu ia harus hidup sendiri, Hui Kauw melakukan perjalanan cepat sekali dengan tujuan kota raja. Selama hidupnya belum pernah ia melakukan perjalanan jauh, apalagi ke kota raja, karena ia seakan-akan “dikurung” oleh Ching-toanio di dalam pulau.

Nenek itu kalau bepergian, tentu Hui Siang yang diajak serta. Justeru hal ini malah mendatangkan hiburan bukan kecil bagi Hui Kauw. Biasanya ia hanya melihat pemandangan di sekitar pulau saja, kali ini setelah melakukan perjalanan jauh melalui gunung-gunung, ia terpesona dan beberapa kali sampai terhenti untuk menikmati tamasya alam yang amat indahnya.

Tujuan perjalanannya ini selain minggat dari pulau Ching-coa-to, adalah untuk mencari ayah bundanya di kota raja. Hal ini sebenarnya telah menjadi niat hatinya semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi ia selalu kurang berani melakukannya. Sekarang karena keadaan memaksanya, ia dapat melaksanakan niatnya itu.

Betapapun perasaan ini mendatangkan kegirangan di hatinya, namun juga mendatangkan keraguan dan kekhawatiran. Ia sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ayah bundanya, juga tidak tahu nama mereka. Yang ia dengar dari pelayan tua di Ching-coa-to yang merasa sakit hati karena disiksa oleh Ching-toa-nio dan membuka rahasia ini kepadanya hanyalah bahwa ia bukanlah anak Ching-toanio, bahwa ketika masih amat kecil ia diculik oleh Ching-toanio dari kota raja dan bahwa dia adalah anak keluarga kaya raya she Kwee!





Ia merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat berjumpa dengan ayah bundanya, apakah ia akan berhasil mencari seorang she Kwee di kota raja tanpa bahaya keliru cari? Bagaimana kalau ia bertemu dengan keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja akan tetapi sebetulnya keluarga itu bukanlah keluarganya? Mungkinkah ayah bundanya akan dapat mengenal puterinya yang lenyap ketika masih amat kecil? Apalagi kalau ia ingat bahwa sekarang mukanya telah menjadi hitam! Kalau berpikir sampai disini, Hui Kauw menjadi amat gelisah.

Para penjaga pintu gerbang tembok kota raja, tentu saja tidak membiarkan gadis ini lewat begitu saja tanpa diperiksa. Akan tetapi melihat sikap yang lemah lembut namun keren, melihat pedang yang tergantung di punggung Hui Kauw, mereka maklum bahwa gadis ini adalah seorang gadis kong-ouw yang berkepandaian, maka mereka tidak berani main gila.

Tentu saja hal ini sebagian besar dikarenakan wajah Hui Kauw yang hitam dan karenanya tidak menarik, andaikata wajahnya yang sebetulnya amat cantik jelita itu tidak bercacat dengan warna kehitaman itu, kiranya ia takkan terluput daripada godaan dan kekurang ajaran para penjaga itu.

Setelah diperiksa sebentar ia lalu diperbolehkan masuk. Dapat dibayangkan betapa kagum dan herannya hati gadis ini ketika ia telah memasuki kota raja dan melihat keramaian yang luar biasa itu. Bingung ia dibuatnya, dan hal pertama yang ia lakukan adalah mencari sebuah rumah penginapan.

Seorang pelayan muda dengan muka cengar-cengir menyambutnya. Pelayan rumah penginapan kota raja hampir semua mengenal orang-orang kang-ouw, maka pelayan muda inipun tentu saja dapat menduga bahwa tamunya seorang wanita muda yang datang sendirian ini tentu seorang wanita kang-ouw.

“Nona mencari kamar? Kebetulan masih ada yang kosong di sebelah belakang. Silakan Nona mengikuti saja.”

Hui Kauw tidak senang dan merasa sebal melihat muka pelayan muda yang mesam-mesem ini, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berjalan perlahan mengikuti pelayan itu.

Rumah penginapan itu cukup besar dan mereka berjalan melalui beberapa ruangan. Di ruangan sebelah dalam terdapat tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang duduk bercakap-cakap. Ketika Hui Kauw lewat, mereka menghentikan percakapan itu dan tiga pasang mata dengan cara yang tidak sembunyi-sembunyi menatap gadis ini yang berjalan dengan tenang tanpa menoleh kesana kemari.

Akan tetapi diam-diam Hui Kauw melirik dan memperhatikan keadaan disitu sehingga ia dapat tahu betapa kamar-kamar penginapan itu penuh dengan para tamu yang juga semua menengok dan memandangnya dari jendela atau pintu kamar mereka. Diam-diam ia mendongkol sekali dan menganggap bahwa para lelaki di kota raja adalah sebangsa laki-laki kasar dan tidak sopan terhadap wanita.

Kamar itu biarpun kecil tetapi cukup bersih, biarpun baunya apek dan menyebalkan hati Hui Kauw. Nona ini cepat mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan diberikannya kepada pelayan itu.

Otomatis berubah sikap pelayan ini setelah menerima persen yang besar ini, tubuhnya membungkuk-bungkuk mukanya berseri dan senyumnya melebar memperlihatkan deretan gigi menguning.

“Terima kasih, Nona yang gagah. Terima kasih. Adakah sesuatu perintah dari Nona? Barangkali Nona membutuhkan bantuan saya…….” katanya menjilat.

Karena pelayan ini merupakan orang pertama yang dihubunginya dan yang dapat diajaknya bercakap-cakap, Hui Kauw segera berkata,

“Barangkali kau dapat menunjukkan kepadaku dimana rumah keluarga Kwee yang kaya raya di kota raja ini.”

Biarpun Hui Kauw sudah memandang tajam, ia merasa sukar untuk dapat menangkap perasaan pelayan itu karena mukanya berubah-ubah, matanya terbelalak seperti orang keheranan, kemudian terbayang ketakutan, keningnya berkerut seperti orang bercuriga, tapi mulutnya masih tersenyum.

“Keluarga Kwee……? Kaya raya…….? Ehmm, dimana, ya? Nona, disini banyak sekali keluarga Kwee. Yang kaya raya juga banyak, apalagi yang miskin. Keluarga mana yang Nona maksudkan? Siapa nama hartawan itu?”

Mendengar ini saja Hui Kauw sudah kecewa. Mana dia bisa tahu namanya? Kalau ia sendiri tahu yang ia maksudkan, tentu ia takkan bertanya-tanya lagi, pikirnya mengkal.

“Aku tidak tahu namanya, yang kuketahui hanya bahwa dia adalah seorang hartawan she Kwee.”

Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gepeng.
“Wah, susah kalau begitu, Nona. Disini banyak hartawan she Kwee, entah ada berapa puluh orang!”

Hui Kauw menggerakkan tangan dan dilain saat ia telah memperlihatkan dua potong uang emas.

“Kau suka menerima hadiah ini?”

Pelayan itu bengong, tak dapat segera menjawab, hanya kalamenjing di lehernya yang kecil itu bergerak naik turun. Setahun bekerja penuh di penginapan itu, tak mungkin bisa mendapatkan emas dua potong itu, pikirnya mengilar. Saking kacau hatinya, dia tidak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk seperti ayam mematuki beras.

Hui Kauw menahan senyum.
“Aku tidak mempunyai kenalan di kota raja ini, oleh karena itu aku membutuhkan bantuanmu. Kau carilah keterangan tentang keluarga hartawan Kwee yang pernah diculik anak perempuannya belasan tahun yang lalu. Nah, emas ini menjadi milikmu kalau kau bisa mendapatkan keterangan itu, malah akan kutambah kalau kelak ternyata bahwa keteranganmu tidak keliru.”

“Boleh……. baik, Nona……. akan segera saya kerjakan perintah Nona setelah selesai pekerjaan saya nanti.” Akhirnya si pelayan dapat juga menjawab dan cepat-cepat dia keluar dari kamar itu.

Hui Kauw juga melangkah keluar kamar dan matanya bersinar-sinar ketika ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan yang agaknya mempunyai niat tidak baik. Akan tetapi karena berada di tempat asing, ia diam saja, hanya bersiap menjaga diri daripada segala kemungkinan.

Malam itu sehabis makan sekedarnya, Hui Kauw merebahkan diri diatas pembaringan. Jengkel juga hatinya menanti-nanti pelayan yang tak kunjung datang. Akan tetapi ia menghibur hati sendiri dengan pikiran bahwa tentu tidak mudah melakukan penyelidikan tentang seorang yang tak diketahui betul keadaannya di dalam kota sebesar itu. Ia menutup kelambu, akan tetapi sengaja ia tidak membuka pakaian, malah ia berbaring dengan pakaian lengkap dan pedang di dekat bantal. Lilin sudah ia tiup padam karena memang ia ingin mengaso sambil menenteramkan pikirannya yang risau.

Sukar sekali ia tidur. Pikirannya kacau-balau, sebagian besar berpikir tentang Kun Hong dengan hati duka, sebagian lagi membayangkan pertemuannya dengan ayah bundanya. Masih hidupkah mereka? Andaikata masih hidup dan dapat bertemu muka dengannya, sukakah mereka menerimanya sebagai anak? Bagaimana nanti sikap mereka terhadapnya? Masih adakah kasih sayang? Dan bagaimana nanti sikapnya sendiri terhadap mereka? Semua ini membuat dadanya berdebar-debar dan membuat kedua matanya terbuka lebar tidak mau dimeramkan.

Menjelang tengah malam, suara-suara di dalam rumah penginapan besar itu telah lenyap. Keadaan sunyi menandakan bahwa para tamu sudah tidur. Dari dalam kamarnya, Hui Kauw dapat mendengar suara orang-orang mendengkur dari kamar lain. Hal ini makin memusingkan kepalanya dan menjengkelkan hatinya. Jemu sekali ia didalam penginapan ini. Seribu kali ia lebih suka bermalam di sebuah hutan, diatas dahan pohon besar, lebih segar dan nikmat, dapat mengaso betul-betul. Hawa di dalam kamar itu pengap, membuat napas menjadi sesak.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara di jendela kamarnya. Tapi, sebagai seorang gadis pendekar yang berilmu tinggi, hanya beberapa detik saja ia tegang, selanjutnya sambil tersenyum mengejek ia tenang-tenang rebah sambil menanti apa yang akan datang.






No comments:

Post a Comment