Ads

Saturday, February 2, 2019

Pendekar Buta Jilid 083

“Paman ……!”

A Wan menubruk kaki Kun Hong dan tangisnya makin menjadi-jadi sampai akhirnya dia menjadi sesak napas dan terguling pingsan di kaki Pendekar Buta itu.

“Kun Hong……. dia……. Yo-twaso itu……. entah kenapa dia…….”

“Mana Yo-twaso? Mana…….!”

Hui Kauw menarik tubuh A Wan, dikempitnya dan dengan hati tidak karuan ia menuntun Kun Hong maju.

“Dia di lantai…….” bisiknya.

Kun Hong berlutut, tangannya meraba dan……. begitu menyentuh tubuh janda Yo, jari-jari tangannya cepat bergerak memeriksa nadi tangan, memeriksa detik jantung, meraba leher. Dia mengeluh panjang, melepaskan tangan mayat itu, lalu menutupi mukanya dengan tangan mulutnya berkata lirih.

“Yo-twaso……. kau telah berkorban untukku……. alangkah besar budi yang kau limpahkan kepadaku. Yo-twaso, biarlah aku bersumpah, aku tidak mau menjadi orang sebelum aku membalas ini semua kepada si keparat The Sun…….”

“Tidak…….!”

Tiba-tiba A Wan yang sudah siuman melepaskan diri dari pangkuan Hui Kauw yang juga menangis perlahan saking terharunya. A Wan lari menghampiri dan memeluk tubuh ibunya, lalu memandang Kun Hong dan berkata lagi.

“Tidak, Paman, tidak boleh begitu. Akulah yang akan membalas dendam Ibu terhadap The Sun! Sebelum……. sebelum Ibu mati, ia sudah meninggalkan pesan kepadaku supaya membalas budi Paman dan membalas dendam kepada The Sun. Ah, Ibu….. Ibu…….!!”

Tiba-tiba Kun Hong yang sudah dapat menguasai perasaannya itu bangkit berdiri dan sekali tarik dia telah membuat A Wan berdiri pula.

“Cukup bertangis-tangisan ini! Tanpa kegagahan, mana bisa kau membalas dendam itu? Dan kalau mempelajari kegagahan, harus pantang menangis kau dengar? A Wan, mulai sekarang kau menjadi muridku!”

“Suhu (guru)…….” A Wan menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, terisak-isak menahan tangisnya.

“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi dengan ibumu!”

Sambil menahan isaknya A Wan lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dan ibunya menolong Kun Hong yang sudah menggeletak pingsan di belakang rumah, kemudian betapa dia disuruh ibunya memanggil sinshe Thio akan tetapi biarpun dia membujuk-bujuk sinshe itu tidak mau menolong malah memaki dan memukulnya.





Kemudian dia bercerita dengan air mata bercucuran akan tetapi tidak berani mengeluarkan suara tangisan betapa ketika dia pulang, dia mendengar jerit ibunya memanggil namanya dan pada waktu dia memasuki rumah, ibunya sudah menggantung lehernya dengan ikat pinggang.

Kun Hong menarik napas panjang dan menoleh kepada Hui Kauw, berkata dengan suara tergetar,

“Dia mencuci noda dengan nyawa. Hui Kauw, adakah orang yang lebih mulia daripadanya?”

Hui Kauw tidak menjawab, hanya terisak perlahan menekan keharuan hatinya ketika ia memandang kearah mayat nyonya Yo yang menggeletak di lantai. Perlahan ia melangkah maju, mengangkat mayat itu dengan hati-hati dan meletakkannya diatas pembaringan, lalu menggunakan selimut butut yang berada disitu untuk menutupi tubuh dan muka mayat itu.

Semua ini ia lakukan penuh hormat dan dengan diam-diam diikuti pandang mata A Wan dan pendengaran Kun Hong. Ketika menyingkap selimut tadi, Hui Kauw melihat tongkat Kun Hong, diambilnya tongkat itu dan diserahkannya kepada Kun Hong tanpa berkata-kata. Kun Hong merasa tangannya tersentuh tongkat, dengan hati lega dia menerima senjata ini.

“A Wan, dahulu kau dan ibumu diantar Lao Tui pergi ke kota Cin-an, bagaimana kau dan ibumu bisa tinggal di kota raja ini?”

Dengan singkat anak itu menuturkan pengalamannya yang penuh duka dan derita. Memang amatlah buruk nasib dia dan ibunya. Lao Tui yang berhati palsu itu kiranya berlaku curang. Anak dan ibu ini tidak diantar ke Cin-an sebagaimana yang dikehendaki nyonya Yo, melainkan diam-diam dia bawa ke kota raja!

Setelah tiba di kota raja mereka menginap dalam sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah diam-diam Lao Tui kabur membawa semua uang pemberian Song-wangwe, membiarkan janda muda itu bersama anaknya sendirian di kota raja yang besar dan ramai itu!

Dapat dibayangkan betapa bingung dan susahnya hati nyonya janda Yo. Seorang wanita dari dusun seperti dia, kini tahu-tahu berada di kota besar tanpa uang tanpa sandaran! Dengan amat sengsara janda muda ini bekerja keras sebagai tukang cuci, sekedar untuk dapat mencegah kelaparan dan hidup dalam keadaan amat miskin dengan anaknya.

Tentu saja banyak gangguan ia alami, namun janda muda ini berhati keras dan dapat menjaga diri sehingga biarpun ia dan anaknya hidup miskin dan serba kekurangan, menyewa sebuah pondok seperti gubuk, namun di dalam kemiskinan itu ia tetap dapat menjaga kebersihan diri dan namanya.

“Ibu dan teecu (murid) hidup dalam kemiskinan, Ibu bekerja mencuci pakaian dan teecu membantu dengan bekerja sebagai penggembala, sampai pada malam hari itu secara kebetulan sekali kami bertemu dengan Suhu,”

A Wan mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh keharuan hati oleh Kun Hong dan Hui Kauw.

“Memang nasib ibumu amat buruk, akan tetapi besarkan hatimu, Wan-ji, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukanlah kehendak manusia. Sudah ditakdirkan ibumu pergi menyusul arwah ayahmu di waktu ia masih muda. Mereka itu, ayah bundamu itu, meninggalkan kau seorang diri di dunia, tentu mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa kau sebagai ahli waris mereka akan mewarisi pula budi pekerti ayahmu yang gagah perkasa wataknya dan ibumu yang suci budinya.”

A Wan mendengarkan dengan muka tunduk untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah lagi.

“Wan-ji (anak Wan), ketika kau dan ibumu menolongku ketika aku pingsan, apakah kau melihat buntalan pakaianku? Adakah kau melihat sesuatu dalam buntalan pakaian itu?”

“Suhu maksudkan sebuah benda seperti topi yang gilang-gemilang berwarna kuning?”

“Betul…….” Kun Hong berdebar gembira. “Dimana berada benda itu?”

“Ada teecu simpan. Suhu jangan khawatir, teecu sembunyikan ditempat rahasia. Begitu melihat benda itu, teecu dapat menduga bahwa tentu Suhu memperebutkan benda itu dengan musuh-musuh Suhu, maka sengaja teecu sembunyikan selagi Suhu pingsan. Tunggu sebentar Suhu, teecu hendak mengambilnya, di belakang rumah.” Anak itu lalu keluar melalui pintu belakang.

“Kun Hong, cerdik sekali Wan-ji itu, pantas dia menjadi muridmu, pula sudah sepatutnya kalau kita membalas budi mendiang Yo-twaso……” kata Hui Kauw terharu.

“Kau betul, Hui Kauw. Kita harus membantu Wan-ji mengurus penguburan jenazah Yo-twaso dan sambil menanti Wan-ji dan datangnya pagi, baik kau ceritakan pengalamanmu. Tadi itu rumah siapakah? Apakah kau berhasil bertemu dengan orang tuamu?”

Dua orang muda itu duduk berhadapan diatas lantai tanah yang hanya bertikar rombeng di rumah itu. Di dekat mereka, jenazah nyonya janda Yo terbaring kaku. Api lampu minyak kecil membuat ruangan itu remang-remang.

Suara Hui Kauw yang halus itu terdengar ketika ia mulai menceritakan pengalamannya setengah berbisik-bisik. Sebaiknya kita ikuti saja pengalaman nona ini semenjak ia berpisah dari Kun Hong setelah membantu pemuda buta itu memperoleh kembali mahkota kuno dari tangan Hui Siang dan Bun Wan di Pulau Ching-coa-to.

**** 083 ****





No comments:

Post a Comment