Ads

Saturday, February 2, 2019

Pendekar Buta Jilid 082

Kita tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaingi dengan kentung peronda dan dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan. Mari kita mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang gadis aneh.

Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar hanya untuk mengenal suara mereka ibu dan anak. Malah diapun tidak sadar ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat.

Dengan kesigapan dan kecepatan gerakan yang amat hebat wanita itu akhirnya membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi keatas genteng sebuah rumah gedung, kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela yang terbuka daunnya.

Sebuah kamar yang besar dan indah, dengan pembaringan meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan mahal. Sebuah kamar seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar puteri seorang bangsawan besar.

Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong diatas pembaringan yang bertilam kasur dan kain merah berkembang, lalu dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang yang menghitam!

“Keji!” Perlahan ia memaki. “Senjata beracun dan pukulan maut yang amat kuat…..”

Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lebih lebar pakaian yang menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam.

Gadis itu meletakkan pedangnya diatas ranjang, berlutut diatas ranjang di sebelah Kun Hong, lalu ia membungkuk dan……. tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan mulutnya yang mungil untuk mengecup dan menyedot keluar darah hitam dari luka di pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya keatas lantai, lalu menyedot lagi tanpa memperdulikan bau darah menghitam yang tidak enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.

“Hebat…….” gumamnya. “Kun Hong benar-benar memiliki sinkang (hawa sakti) yang luar biasa di dalam tubuhnya sehingga biarpun dia pingsan, racun itu tidak dapat menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak demikian, ah, tentu dia takkan dapat disembuhkan lagi…….”

Gadis itu lalu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung Kun Hong yang ia dorong miring, kemudian ia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong.

Sejam kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya terdapat seorang yang duduk bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan dilain saat dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan waspada.

“Kun Hong, syukur kau telah siuman…..”

“Hui Kauw…….!”

Hampir saja Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi kini hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apalagi suara itu tak mungkin dapat dia lupakan. Diantara seribu macam suara orang dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona bidadari!

“Betul Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku.”

Kun Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih daripada racun yang tadinya mengeram disekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.

“Hui Kauw…….. kau……. kau…….. dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka di pahaku?”

“Lukamu tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih.”





Menjawab begini, agak berubah air muka gadis ini karena tahu sekarang ia teringat betapa perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan.

Kun Hong sudah menduga akan hal ini dan dia manyambar dan menggenggam tangan Hui Kauw,

“Hui Kauw alangkah mulia hatimu. Kenapa kau menolongku sampai begitu?”

Dengan suara tegas namun agak gemetar gadis itu menjawab,
“Kun Hong, ingatlah bahwa bagiku, kau adalah……. suamiku, dan bagiku menolongmu adalah kewajibanku.”

“Hui Kauw…….. Hui Kauw…….”

Terharu sekali Kun Hong dan untuk sejenak kedua orang muda ini saling berpegang kedua tangan diam saja tak berkata-kata, akan tetapi getaran dari dua pasang tangan itu merupakan pelepasan daripada hati yang penuh keharuan dan kerinduan.

Setelah mereda gelora perasaannya Kun Hong melepaskan kedua tangan Hui Kauw, celingukan kekanan kiri lalu bertanya,

“Mana dia……?”

“Kau mencari siapa?”

“Janda itu……. Yo-twaso, dimana dia?”

“Oh, kau maksudkan perempuan hina pelacur itu?” kata Hui Kauw, suaranya terdengar kaku karena hatinya mengkal kalau ia teringat akan wanita muda cantik yang genit cabul dan yang ia lihat memeluk Kun Hong itu.

“Perempuan hina? Pelacur? Apa maksudmu, Hui Kauw?”

Kun Hong bertanya dengan perasaan amat heran mengapa gadis yang berperasaan halus dan berbudi mulia ini bisa tiba-tiba memaki-maki janda Yo sedemikian rupa!

“Dia bukan perempuan baik-baik, Kun Hong, bagaimana kau yang tadinya di keroyok dan melarikan diri itu tiba-tiba bisa berada didalam pondok perempuan itu? Sayang aku datang terlambat sehingga tahu-tahu sudah mendengar bahwa kau telah melarikan diri dikejar-kejar para perwira istana.”

Teringatlah sekarang Kun Hong akan pertempuran itu dan cepat-cepat dia bertanya,
“Ah, habis bagaimana dengan para anggauta Hwa I Kaipang? Bagaimana jadinya dengan Hwa I Lokai?” tanyanya penuh kekhawatiran.

Hui Kauw menarik napas panjang.
“Sebagian besar dari mereka tewas. Lebih dua puluh orang tewas, termasuk ketuanya. Hanya beberapa orang saja selamat, tapi masih menjadi buruan sampai sekarang.”

Kun Hong membanting-banting kaki dan dia menangis didalam hatinya.
“Celaka, aku benar-benar telah membikin celaka banyak orang gagah. Ah…….. benar-benar celaka, dan benda yang kulindungi, yang menjatuhkan korban banyak orang gagah itu sekarang masih tertinggal di rumah Yo-twaso…….”

“Hee? Kau tinggalkan mahkota itu disana? Tadi aku sudah heran melihat kau menggeletak tanpa apa-apa, malah tongkatmu juga tidak ada. Wah, berbahaya kalau begitu. Kun Hong aku tidak percaya kepada perempuan itu. Tentu sekarang mahkota dan tongkatmu sudah ia berikan kepada perwira istana.”

Kun Hong menggeleng kepala.
“Kau salah sangka, Hui Kauw. Perempuan itu adalah seorang janda yang dahulu pernah kutolong. Yo-twaso orangnya baik, harap kau jangan keliru sangka yang bukan-bukan!”

“Dia baik? Huhh, kau tertipu, Kun Hong. Memang dia seorang janda muda yang cantik manis. Tapi wataknya tidak sebersih mukanya. Dia seorang perempuan genit dan cabul.”

“He?? Apa yang telah terjadi sampai kau menuduhnya demikian? Aku melarikan diri dan membentur pohon, tidak ingat apa-apa. Ketika aku sadar, aku sudah berada dalam pondok Yo-twaso, lalu aku pingsan tidak ingat apa-apa lagi. Apakah yang telah terjadi? Apakah kau mengenal Yo-twaso?”

“Aku tidak kenal perempuan itu. Akan tetapi ketika aku mengejar dan mencarimu, aku melihat dia main gila dengan The Sun, orang kepercayaan kaisar, penghimpun para orang kang-ouw di istana. Coba saja bayangkan, dia main gila dengan The Sun dan setelah kongcu hidung kerbau itu pergi, dia memelukimu dan menangisimu. Hemmm, masih baik aku tidak tusuk dia dengan pedangku, hanya menendangnya roboh ketika aku merampasmu dan membawamu kesini.”

“Celaka…….!!”

Tiba-tiba Kun Hong berseru sambil melompat sehingga mengagetkan Hui Kauw. Kemudian Pendekar Buta itu mengeluh dengan suara seperti orang akan menangis.

“Ah, celaka betul……. Yo-twaso……. Yo-twaso……. mengapa engkau berkorban untukku sampai sehebat itu??” Kun Hong menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dia benar-benar menangis.

Hui Kauw memegang tangan Kun Hong, suaranya gemetar karena ia menduga hal-hal yang hebat,

“Kenapa? Apa artinya semua ini Kun Hong??”

“Ah, Hui Kauw, kau tidak tahu. Dia……. dia telah berkorban untuk keselamatanku, pengorbanan yang lebih hebat daripada nyawa…….! The Sun itulah orangnya yang telah menipuku, dan dia pula yang telah melukai pangkal pahaku secara curang, kemudian dia yang mengejar ketika aku melarikan diri. Dan aku berada dalam pondok Yo-twaso dalam keadaan pingsan tak berdaya. Lalu kau melihat Yo-twaso……. dan The Sun itu……. ah, aku dapat membayangkan apa yang telah dilakukan Yo-twaso untuk menyelamatkan nyawaku. Yo-twaso tentu tahu bahwa kalau The Sun melihat aku disana tentu aku akan dibunuhnya. Yo-twaso mempergunakan senjata tunggalnya sebagai wanita lemah, yaitu kecantikannya dan ia……. ah, ia menggunakan itu untuk memikat The Sun sehingga penjahat itu tidak memperhatikan dan tidak mencari aku lagi…….”

Bukan main kagetnya hati Hui Kauw mendengar penjelasan ini.
“Wah……. celaka……. aku malah menendangnya dua kali! Dan kau……. kulihat kau berbedak langes hitam mukamu ketika rebah di kamar itu, dan rambutrnu penuh pupur, sekelebatan kau seperti seorang kakek lagi berbaring……. wah kau betul Kun Hong! Tentu Yo-twaso telah sengaja menaruh semua itu agar kau disangka seorang tua untuk mengelabuhi mata The Sun. Celaka, ah……. alangkah bodohku……. Kun Hong, kau maafkan kebodohanku…….”

Hui Kauw benar-benar merasa menyesal sekali atas kesembronoannya menuduh yang bukan-bukan kepada seorang wanita yang demikian berbudi.

Kun Hong memegang lengan Hui Kauw.
“Hui Kauw, hayo antar aku kesana, sekarang juga. Selain aku harus menghaturkan terima kasih, juga aku merasa khawatir akan keselamatan Yo-twaso dan A Wan, anaknya. Juga, aku harus mengambil kembali tongkatku dan mahkota itu sebelum terjatuh ke tangan The Sun dan kawan-kawannya.”

Karena merasa amat menyesal akan perbuatannya terhadap janda muda itu maka Hui Kauw tidak berani membantah lagi. Digandengnya tangan Kun Hong dan dibawanya Pendekar Buta itu melesat keluar melalui jendela, terus meloncat naik keatas genteng dan dua orang itu mempergunakan ginkang mereka berloncatan dari genteng ke genteng, cepat laksana bayangan hantu di malam gelap.

Waktu itu tengah malam sudah jauh terlewat, malah sudah hampir pagi. Ayam-ayam jantan sudah mulai berkokok dan sungguhpun belum tampak orang-orang keluar dari rumah masing-masing, namun malam gelap sudah mulai melepaskan dunia daripada cengkramannya yang memabukkan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kun Hong dan Hui Kauw ketika mereka meloncat turun ke halaman rumah kecil janda Yo, mereka mendengar suara tangis seorang anak kecil yang menggerung-gerung penuh kedukaan.

“A Wan, ada apakah….?”

Kun Hong tidak sabar lagi dan cepat mendorong pintu yang sudah berada di depannya bersama Hui Kauw dia lari memasuki pondok kecil itu.

“Ahhhhh…….!” Tangan Hui Kauw yang menggandengnya menggigil dan suara gadis ini gemetar.

“Ada apa? Hui Kauw, kau melihat apa? A Wan, mengapa kau menangis?”






No comments:

Post a Comment