Ads

Saturday, February 2, 2019

Pendekar Buta Jilid 081

The Sun sudah lama pergi meninggalkan pondok tempat tinggal janda muda itu. Kini ia tampak terguguk menangis menahan isaknya sambil memeluki dada Kun Hong. Dengan rambutnya yang kusut dan seluruh mukanya basah air mata, janda muda ini merintih-rintih dalam tangisnya.

“Inkong……. bangunlah……. jangan mati, Inkong, sembuhlah kembali, jangan sia-siakan pengorbananku…….” Ia menangis lagi dengan amat sedihnya sampai-sampai napasnya menjadi sesak.

Pada saat itu dari pintu kamar melayang masuk sesosok bayangan orang yang amat ringan dan gesit. Begitu masuk bayangan ini menendang dan tubuh nyonya janda ini terguling roboh.

“Ahh…. Ahh…….!”

Nyonya Yo bersambat lirih, tapi rasa nyeri pada tubuhnya tidak ia perdulikan lagi karena hatinya penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Kun Hong yang masih pingsan. Tadinya ia mengira bahwa orang muda musuh Kun Hong yang tadi datang dan sudah siap untuk menegur.

Akan tetapi alangkah kaget dan heran serta takutnya ketika ia melihat wajah yang jauh berlainan tertimpa sinar api lilin di kamar itu. Wajah seorang wanita! Tubuh ramping seorang wanita! Seorang wanita muda dengan muka kehitaman dan pedang di tangan, kelihatan berdiri dengan penuh amarah.

Nyonya Yo segera menubruk Kun Hong dan memeluk dadanya untuk melindunginya.
“Jangan ganggu dia…….! Jangan bunuh dia…….!” teriaknya dengan suara mengandung isak tangis.

Wanita itu kembali bergerak dan sekali lagi tubuh nyonya Yo terlempar dari pinggir pembaringan, malah kini terguling-guling sampai di sudut kamar.

“Perempuan jalang! Lacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!” bentak wanita itu yang sudah menyarungkan pedangnya dan melangkah maju mendekati pembaringan.

Cekatan sekali ia membungkuk dan kedua tangannya bergerak, tahu-tahu tubuh Kun Hong sudah dikempitnya.

“Heeeiiiii……. jangan ganggu dia…..!”

Nyonya Yo biarpun merasa tubuhnya sakit-sakit, dengan nekat berdiri dan hendak merampas tubuh Kun Hong dari tangan wanita itu.

“Diam kau, perempuan hina!” wanita itu membentak lagi. “Dia ini adalah sahabat baikku, tak boleh berada di tempat hina ini berdekatan dengan perempuan lacur macam kau!”

Janda muda itu terbelalak, diam-diam bersyukur bahwa orang ini bukanlah musuh penolongnya.

“Aku…… aku……. tidak……. ah, dia adalah……. penolongku…….” katanya gagap.

Wanita itu mendengus marah.
“Huh, dia penolong semua orang, akan tetapi perempuan rendah macam engkau tidak perlu ditolong!”

“Nona, kau siapa? Kenapa engkau memaki-maki aku? Biarpun aku miskin…….. aku……. betul-betul berusaha mengobatinya dan…….”

“Tutup mulut! Apa kau kira aku tidak tahu betapa kau main gila dengan setiap orang laki-laki? Hemmm, siapa laki-laki yang tadi keluar dari sini? Bukankah dia kekasihmu pula? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong? Menyebalkan!”

Bayangan wanita itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja ia dan Kun Hong yang dipondongnya sudah lenyap dari situ.





Nyonya janda Yo berdiri terkesiap, mukanya pucat seperti mayat, matanya terbelalak lebar dan dari kedua matanya itu turun air mata bertitik-titik deras mengalir di sepanjang kedua pipinya. Untuk sesaat tidak ada suara keluar dari mulutnya, kecuali napas yang terengah-engah. Teringat ia akan segala hal yang menimpa dirinya, akan segala yang telah dilakukannya.

Kedatangan The Sun tadi membuat ia berada dalam ketakutan hebat. Takut dan cemas akan keselamatan penolongnya membuat ia bertekat untuk melindungi dan membelanya, menyelamatkannya dengan jalan apapun juga. Sebagai seorang wanita yang lemah tak berdaya, ia tahu bahwa senjata satu-satunya yang ada pada dirinya hanyalah kecantikannya. Dan ia sudah pergunakan itu, sudah memberikan dirinya dengan kata-kata manis dan mulut tersenyum namun dengan hati perih dan seperti disayat-sayat. Namun usahanya berhasil.

Ia telah menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang melihat perbuatannya.

“Ya Tuhan……. aku perempuan hina……. perempuan rendah……”

Janda Yo tak kuat lagi, kedua lututnya lemas dan ia jatuh nglumpruk diatas lantai, menutupi muka dengan kedua tangannya. Tiba-tiba ia terbelalak memandang kekanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah kosong, telinganya mendengar gema wanita tadi memaki-makinya,

“Perempuan jalang! Lacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!” lalu terdengar lagi, “Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?”

“Ooohhhhh…….!”

Janda Yo menangis lagi, kini tersedu-sedan, kemudian ia menubruk pembaringan yang kosong itu.

“Kwa Kun Hong…….. namamu Kwa Kun Hong, Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku kotor, hina, jalang, lacur……. Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asal kau selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan……. ini…”

Janda muda itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang keatas, mencari-cari tiang atau usuk genteng rumah itu.

“A Wan…….!”

Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.

“Ibu…….!”

A Wan lari memasuki rumah itu. Anak ini tidak berhasil mengundang datang sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan. Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku membelikan obat!

Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati seorang paman yang “jatuh” dan luka-luka, hanya menggeleng kepala sambil mengebulkan asap huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A Wan.

Tanpa “uang muka” dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A Wan membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, namun sin-she Thio tidak melayaninya, malah ditinggal masuk. A Wan adalah anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu dan merengek-rengek.

Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya mendapat benjol-benjol karena pukulan huncwe sinshe itu pada kepalanya. Sambil menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak memikirkan keadaan si paman buta.

Jarak yang amat jauh itu ditempuhnya sambil berlari-lari dan seperti ada firasat tidak baik dia mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara ibunya memanggil-manggilnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia memasuki pondok, dia melihat tubuh ibunya tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan keatas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher ibunya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua kaki ibunya masih berkelojotan.

Biarpun merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku sebentar, cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil nama ibunya. Jari-jari tangannya gemetar ketika dia merenggut-renggut ikat pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang. Seperti seekor kera dia melorot kembali, lari ke dapur mengambil pisau merayap naik lagi dan akhirnya dia dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh ibunya jatuh berdebuk diatas tanah.

“Ibu…….! Ibu…….!!”

A Wan menubruk dan merangkul ibunya, menangis sambil menciumi muka ibunya yang pucat membiru.

“Ibu……. kenapa Ibu……. ah, bagaimana ini…….? Ibuuuuu…….!”

Jerit terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan dapat membetot kembali semangat janda muda itu yang sudah meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu bergerak-gerak, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang itu berbisik-bisik.

“A Wan…….. balas……. budi Kwa Kun Hong……. balas……. dendam The Sun…….”

“Ibu…….!Ibuuuuu…….!! Ibuuuuu…….!!!”

A Wan menggoncang-guncang tubuh ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas daripada duka nestapa dan derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya menyungging senyum dan biarpun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan, namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aselinya.

Sebaliknya, puteranya yang masih hidup, yang sedang berkembang dalam hidup, menangis menggerung-gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini. Yang hidup menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam begitu damai dan tenteram. Tidakkah janggal ini? Sudah benarkah itu kalau yang hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya?

**** 081 ****





No comments:

Post a Comment