Ads

Wednesday, February 27, 2019

Jaka Lola Jilid 065

Sebetulnya apakah yang telah terjadi di puncak Liong-thouw-san? Sayang tidak ada yang dapat bercerita kepada dua orang muda itu. Akan tetapi andaikata ada yang dapat bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan oleh Lee Si.

Pada suatu senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk didalam pondok bercakap-cakap setelah Hui Kauw menyalakan api penerangan dan Kun Hong sedang makan masakan sayur yang dihidangkan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras diluar pondok.

“Kwa Kun Hong, keluarlah dan pertanggung-jawabkan kebiadaban anakmu!!”

Sepasang sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun Hong miringkan kepala, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan kembali sumpit dan mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya menyambar pedang di dinding dan pada saat isterinya hendak melayang keluar pintu, dia berkata lirih,

“Tahan dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya…..”

“Tak peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!”

“Manusia bisa keliru, mungkin salah faham…..”

Dari luar kembali terdengar bentakan,
“Kwa Kun Hong, lekas keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!”

Dengan tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondok-nya, diikuti oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang pedang dengan muka keren. Alangkah kaget dan herannya nyonya ini ketika meliHat bahwa yang berdiri di depan pondok, dengan tegak dan kedua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis, adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong Bu!

Keadaan jago tua Min-san ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang. Suaranya menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar dari pondok.

“Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung-jawabkan kebiadaban anakmu, sekarang juga seorang diantara kita harus mampus disini!”

Wajah Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Sebaliknya, biarpun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan amat sabar, akan tetapi sekarang, sebagai seorang ibu yang mendengar anak tunggalnya dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan kirinya kearah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan pedang di depan dada.

“Tan Kong Bu! Isterimu terhitung murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu boleh dirunding baik-baik tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan menghina!”

“Siapa menghina? Ha-ha-ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah yang menghina kami! Penghinaan melampaui batas takaran, penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Kalau kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik anakku, mati bukan apa-apa!”

Setelah berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi makin berkobar oleh kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan “srattt!” la telah mencabut sebatang pedang.

Tentu saja Hui Kauw menjadi makin marah, merasa ditantang.
“Hemmm, manusia sombong. Kau kira aku takut kepadamu? Kau kira hanya engkau seorang di dunia ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang bertempur, majulah. Aku lawanmu.” Hui Kauw melompat ke depan siap dengan pedangnya.

Pada dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras dan berangasan, maka mendengar omongan ini dan melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah ibu Swan Bu patut mempertanggung-jawabkan pula. la memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak maju.

“Bagus, kau atau aku yang mampus!”

Pedangnya menyambar ganas, penuh dengan tenaga Yang-kang sehingga sambaran pedang itu mengandung hawa panas yang amat berbahaya.






Namun Hui Kauw adalah isteri Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta, ia telah memiliki kepandaian tinggi, dan mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang. Akan tetapi sekarang, ia bukanlah Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya mengalami kemajuan pesat dibawah pimpinan suaminya.

Melihat datangnya serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan.

“Tranggg!”

Bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Keduanya terpental mundur.

“Bagus, terimalah ini!”

Tan Kong Bu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua pedang itu saling tempel tanpa mengeluarkan bunyi!

Pada saat itu, berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan dua batang pedang yang saling tempel itu terpental ke belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun Hong sudah turun tangan, menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua pedang itu.

“Ah, apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundur. Kong Bu, marilah kita bicara baik-baik. Apa sebetulnya yang telah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada kami agar kami dapat mengetahui dan mempertimbangkan. Diantara kita, masa harus menggunakan kekerasan?”

Akan tetapi Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu, tak dapat dibikin sabar. Dengan suara tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata,

“Kun Hong, mana bisa kita bicara baik-baik setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang telah dilakukan oleh anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan melakukan perbuatan terkutuk, dia….. dia berani mencemarkan….. dia berani menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang kesini untuk minta pertanggungan-jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau sebagai ayahnya menebus dengan nyawamu atau aku sebagai ayah Lee Si mencuci noda dengan darahku!”

“Bohong…..!” tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah. “Dimana terjadinya? Siapa yang menjadi saksi? Apa buktinya?”

“Huh, siapa bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok tak berdaya dan ditawan kedalam kuil tua di kota Kong-goan…..”

“Bohong! Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang bohong!” kembali Hui Kauw berteriak.

“Mulut bisa bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!”

“Keparat, tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!”

Hui Kauw yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis, kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru.

Adapun Kwa Kun Hong setelah mendengar penjelasan Kong Bu, berdiri termangu-mangu. Mana mungkin ada kejadian seperti itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si? Apakah mungkin puteranya itu dikuasai nafsu sedemikian hebatnya yang membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin. la tahu bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah, akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria, pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apalagi perbuatan terkutuk seperti itu. Tentu fitnah!

la cukup mengenal pula watak Kong Bu yang keras dan jujur, tegak seperti baja yang sukar ditekuk, sehingga tak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan ini.

Suara beradunya pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan dilakukan dengan penuh kemarahan oleh kedua fihak. Kalau dia tidak segera turun tangan, tentu seorang diantara mereka akan tewas atau setidaknya akan terluka parah.

“Kalian berhentilah!”

Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak boleh dipandang ringan, begitu “masuk” Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh. Tongkatnya berputar membentuk lingkaran-lingkaran membikin mati gerakan Kong Bu sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya itu terhuyung ke belakang.

Biarpun hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu apa yang dikehendaki suaminya ini, maka ia hanya berdiri mengepal tinju kiri dan melintangkan pedang di depan dada, tidak mau maju lagi.

Akan tetapi Kong Bu tidak mau mundur sama sekali, malah dalam kemarahannya, pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri. Memang sebetulnyalah, seorang yang sedang ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah, pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya bubrah (rusak) dan yang disangkanya hanya yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, amat tidak baiklah kalau orang dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar pribadi ini dari dalam hati.

“Kun Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa disini!”

Seruan ini disusul serangan dahsyat sekali karena dalam kemarahannya dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, Kong Bu sudah menerjangnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dahulu dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun.

Hebat bukan main terjangan Kong Bu ini, karena tenaga Yang-kang sepenuhnya amat kuat memancar keluar dari gerakannya, maka sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah, panas bernyala-nyala!

“Ahhh, saudaraku Kong Bu yang baik…..”

Hanya sampai disini ucapan Kun Hong karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil mainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah dia dapat menyelamatkan diri dari pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut itu.

Kong Bu penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak berada di tempat semula, ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apabila mendekati tubuh Kun Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking keras jago Min-san ini mendesak makin hebat.

Namun, dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan, langkah-langkah ajaib yang dia lakukan amat tepat dan teratur sehingga tak pernah sinar pedang Kong Bu dapat menyentuhnya.

“Dengarlah, Kong Bu saudaraku….., anak-anak kita tentu kena fitnah….. percayalah, Swan Bu tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik…..”

Akan tetapi tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi dia bicara tadi, Kong Bu telah menerjangnya dengan nekat, pedang di tangan ketua Min-san-pai itu melakukan tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar!

Biarpun Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib untuk mengelak setiap serangan, namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini yang menimbulkan getaran hawa pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa orarig keras hati ini telah makan fitnah dan dia suka mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan pedang yang tak boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, ketika berseru kaget tadi, tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah diputar berbentuk payung, menangkis pedang lawan sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga setengahnya didorongkan ke depan.

Kalau saja Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah, kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu singkat, sungguhpun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak setinggi Kun Hong.

Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali, begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri. Oleh karena inilah, maka pedangnya terkena “libatan” tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat dan terputar sehingga pedangnya ikut pula terputar.

Sebagai seorang gagah, Kong Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dipegang makin erat sehingga tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu. Pada saat itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan meter jauhnya!

“Ahhh…… maaf, saudara Kong Bu.”

Kun Hong memburu, akan tetapi tangan kirinya segera dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya.

Kong Bu melompat bangun dengan napas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.

“Kun Hong, kau lebih pandai daripada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada tempat bagi aku dan dia di kolong langit!”

“Kong Bu, tunggu…..!” teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-san-pai itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.

“Biarkanlah dia pergi. Orang berhati kerdil dan mau menang sendiri itu,” kata Hui Kauw sambil memegang lengan suaminya.

Kun Hong menarik napas panjang.

“Hui Kauw, kau lekas bebenah, bawa bekal yang kita perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan menyelidiki ke Kong-goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil tua di kota Kong-goan itu?”

Demikianlah, suami isteri pendekar sakti ini berangkat pada malam itu juga meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee Si tiba di puncak Liong-thouw-san tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun manusia.

**** 065 ****





No comments:

Post a Comment