Ads

Wednesday, February 27, 2019

Jaka Lola Jilid 064

Lee Si melarikan diri di dalam gelap sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, lari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia. Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main.

Betapa mungkin la dapat berhadapan dengan ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia….. tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!

Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan tetapi ketika tiba-tiba ia mendengar suara makian ayahnya, dan melihat ayahnya muncul diatas genteng, kagetnya bukan main dan sekaligus tahulah ia bahwa penjahat-penjahat itu agaknya sengaja memancing datang ayahnya agar orang tua ini dapat rnenyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina ini.

la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut! la sudah mengenal watak ayahnya yang keras. Tak mungkin ayahnya dapat diberi penjelasan setelah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan ia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati? Tidak, belum waktunya. la harus dapat membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut teman-temannya itu sebelum ia sendiri mati. Dengan pakaian kusut dan hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee Si berlari terus secepatnya.

Tujuan perjalanannya sekarang adalah….. Liong-thouw-san! la harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah dapat membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya dengan tenang.

Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk disana. Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.

Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah amat lelah, Lee Si melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa disitu sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya.

Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang laki-laki muda dan tampan duduk menyendiri di pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh…. hendak berteduh diluar saja.

“Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah….. kok pergi lagi…..?”

“lya….. nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Disini teduh nyaman….. kita bisa mengobrol, mari kesinilah!” kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.

Lee Si yang baru saja mengalami malapetaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguhpun hatinya sudah panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada disitu tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.

Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh disitu.

“Hee, nona manis, berhenti dulu…..!!”

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk didalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi didalam kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.

“Hemmm, manusia-manusia keparat ini takkan kapok kalau tidak diberi hajaran!” pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.






Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biarpun mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan membawa senjata, ia tidak takut. la berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa seperti seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan!

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.

“Sahabat-sahabat harap berhenti dulu untuk bicara!” kata laki-laki ini dengan suara tenang.

Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.

Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan matanya dan membentak.

“Heh, bukankah kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?”

Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam menerobos antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara dengan suara lantang,

“Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu tukang-tukang pukul ini menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan melainkan seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Sudah beberapa hari aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar…..”

“Setan muda, mampuslah kau”.

Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika “komandan” itu menggerakkan golok besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu.

Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu menyambar lewat kepalanya, hanya beberapa senti meter selisihnya. Akan tetapi golok itu tanpa ditarik kembali sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat kearah pinggang, disusul jotosan tangan kiri keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!

“Bagus!”

Pemuda itu berseru, tubuhnya melompat keatas sehingga golok yang membabat pinggang itu meluncur lewat dibawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada diudara, kakinya bergerak menendang kearah kepalan tangan kiri lawan!

“Bagus…..!”

Kini seruan rnemuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si. Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah ia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang untuk menangkis pukulan selagi tubuh berada diudara hanya dapat dilakukan oleh seorang yang ahli.

Akan tetapi orang she Gak itupun lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah keatas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang amat keras.

Agaknya disamping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendang pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tidak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang hendak di “makan” tendangan kaki kiri ini!

“Hebat…..!” kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.

Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang hebat. Dengan gerakan tangan kiri yang luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuh miring-miring seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya, malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, sekali renggut gagang golok pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan kebawah dengan jari-jari tangan terbuka.

“Dukkk!!”

Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Menurut perhitungan dan logika, tentu si tangan yang akan remuk, setidaknya tentu akan patah-patah tulangnya dan pecah-pecah kulitnya.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahan ditengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!

Pemuda itu melirik kearah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton.

Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat “komandan” mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan maki-makian kotor mereka menerjang pemuda itu dengan macam-macam senjata.

Dua orang bersenjata pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang golok dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjata sebatang pecut baja! Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang berkepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi!

Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf didalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja, menonton pemuda itu dikeroyok oleh lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya, kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah siap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.

Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan ia seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu! Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap diantara senjata-senjata itu dia berkata,

“Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus, kalian boleh hidup, tapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!”

Tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang pengeroyoknya, yang tampak hanya bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi.

Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh merintih-rintih. Kiranya selain senjata mereka terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya akan tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Kalau pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar daripada membalikkan telapak tangan!

“Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!” seru pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian ia membungkuk kedepan Lee Si sambil berkata,

“Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!”

Sehabis berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu besar.






No comments:

Post a Comment