Ads

Wednesday, February 27, 2019

Jaka Lola Jilid 063

Swan Bu tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh. Tanpa dia sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi yang pingsan itu hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di dada, cantik jelita dan menimbulkan iba. Sedikitpun wajah itu tidak lagi dinodai keliaran dan kemarahan, tidak lagi galak seperti di waktu marah. Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk, perasaannya diremas-remas dan bagaikan dalam mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.

“Siu Bi….. jangan marah kepadaku, Siu Bi….. jangan memusuhi aku…..” la berbisik-bisik dekat telinga gadis itu.

Siu Bi bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam dimana tiada permusuhan antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka berada dalam taman nan indah, bersendau-gurau, bermain-main dan suami tercinta membelai, mencumbu rayu. lapun membalas dengan mesra, penuh cinta kasih.

Siu Bi sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak bingung ia. la berada dalam pelukan Swan Bu, malah dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir Siu Bi menjerit. Teringatlah semua kini olehnya. Dengan seruan tertahan ia merenggut diri, berusaha melompat mundur akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat ia terguling guling.

“Kau….. kau…..”

la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang kearah Swan Bu melalui linangan air mata.

“Aku cinta padamu, Siu Bi.” Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan penuh perasaan. “Tapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi si gila itu.”

Setelah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan mata, napasnya panjang-panjang dan wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan.

Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang kearah Swan Bu. Sukar baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek Hek Lojin terbayang di depan matanya, cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya.

Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang kearah bagian dada yang terluka di sebelah dalam,

Tiga hari lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan luka masing-masing.

Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta. Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, diam tidak memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak “mimpi” itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api unggun di depan gua, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi.

Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Ketika menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis itu membuatnya bercahaya merah diantara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.

“Ha-ha-ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis…..” akan tetapi kata-katanya terhenti disitu karena tiba-tiba Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat.






Tiga kali pukulan Hek-in-kang biarpun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi sudah berhasil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek itu.

“Aduh….. auhhh…..” tubuh kakek itu bergulingan dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-beng-kiam menyambar dan tubuh kakek itu rebah tak bergerak lagi, darah menyemprot keluar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun secara perlahan-lahan menjadi padam.

Dengan pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi berlari memasuki gua. Di bawah cahaya remang-remang ia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.

“Swan Bu, terimalah pembalasan kakekku!” Siu Bi berseru.

Swan Bu kaget dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata. Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas siku, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling pingsan.

Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba ia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang bergerak dan mukanya pucat seperti mayat.

Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya. Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang mata memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek menusuk perasaan.

“Siu Bi….. kau puas kini…..? Ah, alangkah cantiknya engkau….. alangkah manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari…..” Seperti orang gila, Swan Bu tersenyum-senyum.

Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian sekali renggut ia melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu lari keluar dari gua.

Isak tangisnya terdengar bergema di dalam gua ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk. Sejenak kepalanya terasa nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini menggeletak diatas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi.

Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Diluar tidak tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang diatas tanah, kepalanya terpisah dari badan, puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih.

**** 063 ****





No comments:

Post a Comment