Ads

Monday, February 25, 2019

Jaka Lola Jilid 052

Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan
“Mengapa jangan? Bukankah lebih baik mendahului lawan agar jangan memberi kesempatan kepada mereka untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah ibu kalau aku tidak becus membasnni musuh-musuh ayah ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku? Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas pemberitahuanmu. Kalau selesai tugasku, aku pasti akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah bundamu.”

Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada paman dan bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung.

la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat kepandaiannya! Apalagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang amat tinggi.

Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Ketika dia tiba di depan pondok, dia melihat seorang laki-laki berusia sebaya ayahnya, duduk diatas bangku menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang.

Biarpun seringkali dia mendengar ayahnya menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan pendekar itu ataupun isterinya. Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang sekarang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah paman dan bibinya. Apalagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa sepasang mata itu kosong tidak berbiji!

Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya dan diam-diam tengkuknya meremang karena dia sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.

Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui ketika bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya seperti pandang mata dua orang digabung menjadi satu. Cepat dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.

“Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!” Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.

Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui? Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!

“Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak.”

“Paman….. Bibi….. mohon ampun sebesarnya….. saya telah bicara dengan adik Swan Bu dan…..”

Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

“Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung menambah pengalaman. Lebih baik kau serahkan surat ayahmu kepadaku.”

Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui semuanya? Dapat tahu bahwa dia datang membawa surat ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini bertemu muka. Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanya bahwa suami isteri ini tentu telah melihat kedatangannya dan mendengar percakapannya dengan Swan Bu tadi, tanpa dia sendiri mengetahui kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!

la segera mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya, karena bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya? Untuk memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, bibirnya bergerak hendak bicara agar paman yang buta itu dapat mengetahui, akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta.






Seakan-akan dia melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun Hong. Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat kepada isterinya untuk dibaca.

Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar Buta dan anak isterinya!

Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih setelah isterinya selesai membaca,
“Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup kalau dunia penuh dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat semua nasihatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan siapapun juga di dunia ini…..”

“Tak perlu digelisahkan semua itu,” jawab isterinya dengan suara tetap tenang, halus dan merdu, “Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tidak membenci dan tidak memusuhi mereka, kitalah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri! Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan mereka, kalau tidak, apa boleh buat, kita hidup dan kita wajib membela diri. Kalau kita yang diberi anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tidak menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kau katakan, suamiku?”

Kwa Kun Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah dua orang itu, membuatnya tunduk lahir batin. Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata yang mempunyai arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan sikap serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih daripada cukup untuk membuat hati anak muda ini menjadi kagum dan tunduk.

“Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan juga kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap saja kau suka beristirahat disini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami dapat mendengar ceritainu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai,” kata Kwa Kun Hong.

“Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu saya yang muda dan bodoh banyak mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi.”

Senang hati suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui. Demikianlah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-thouw-san dan selama itu, selain menceritakan segala hal tentang keadaan di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat penting uhtuk menyempurnakan kepandaian ilmu silathya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong.

Sementara itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. la merasa agak bersalah karena tidak berpamit kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa biarpun ayahnya tidak akan melarangnya, namun ibunya tentu akan menyatakan keberatan.

Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri daripada gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.

Sekarang Swan Bu tidak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya, maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap. Dari gerakan Bun Hui ketika menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh? Pendapat ini diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang menjadi panas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh banyak bekas musuh lama.

Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-ling ke selatan sampai di Sungai Yang-ce-kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai besar itu.

Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai, hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua orang pengemis menggotong seorang pengemis lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah.

Tadinya Swan Bu tidak mau mencampuri urusan orang lain sungguhpun sekilas pandang tahulah dia bahwa kakek pengemis yang digotong itu terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya tertarik ketika dia melihat pakaian para pengemis penuh tambalan itu. Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat dia akan penuturan ayahnya bahwa perkumpulan pengemis Hwa-i-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua kehormatan!

“Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Ang-see-ciang ini!”

Dua orang pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga, akan tetapi kakek pengemis yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan napas terengah-engah

“Turunkan aku…… biarkan Kongcu ini memeriksaku…..”

Dua orang pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, melainkan diletakkan diatas tanah pasir.

Swan Bu tidak membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada leher itu jelas tampak, tanda korban pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah). la menghampiri, berlutut dan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri, kemudian sekali dia menekan punggung dan mengurutnya kebawah sambil mengerahkan tenaga, kakek itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental, sebesar kepala ayam!

Dua orang pengemis yang menggotong tadi kaget sekali dan mereka melompat maju, malah sudah mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu,

“Kau….. kau membunuh Susiok (Paman Guru)…..!” bentak seorang diantara mereka sambil menubruk maju dan memukul.

Swan Bu yang maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya, tubuhnya yang masih berjongkok itu bergerak sedikit dan….. penyerangnya terlempar ke depan, melalui atas pundaknya dan langsung terbanting ke air sungai sehingga air muncrat tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke pinggir. Kawannya hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba kakek yang sakit tadi membentak,

“Goblok! Apa mata kalian sudah buta.”

Si pengemis kedua tidak jadi menyerang, dan pengemis pertama yang sudah berhasil berenang ke pinggir, kini memandang dengan heran, juga girang. Kiranya kakek pengemis yang tadinya sudah empas-empis napasnya, sekarang sudah bangkit duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan menjura ke depan Swan Bu!

“Orang muda yang gagah perkasa, kau telah menolong nyawa seorang pengemis tua bangka yang tiada gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Lopek, tak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang Hwa-i-kai-pang?”

Pertanyaan Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang kakek itu karena memang Hwa-i-kai-pang bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apalagi mudah saja diketahui dari pakaian mereka. Kakek itu mengangguk dan menjawab,

“Tidak keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah kakek Toan-kiam Lo-kai (Pengemis Tua Pedang Pendek), sebuah julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Sicu masih begini muda sudah luas pandangannya, sekali pandang tahu akan bekas pukulan Ang-see-ciang, siapakah nama Sicu yang mulia dan dari perguruan mana?”.

“Lopek, mari kita bicara di tempat yang enak,” kata Swan Bu sambil mengerling kearah orang-orang yang banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini.






No comments:

Post a Comment