Ads

Monday, February 25, 2019

Jaka Lola Jilid 051

“Lempar saja dia ke jurang!” kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.

“Heeeiii…..! Mana dia…..??”

Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.

“Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!” seru Bhok Hwesio dan ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol.

la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya. Sung Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai.

Kemanakah perginya Lee Si? Mengapa betul dugaan Bhok Hwesio tadi. Ketika gadis ini melihat bahwa diantara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, ia maklum bahwa kehadirannya disitu amat berbahaya dan bahwa saat itulah merupakan kesempatan baik sekali baginya. Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap diantara pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat.

Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa disengaja, tiba di sebuah kota. Di tempat ini barulah ia mendapat kenyataan dan keterangan yang ia dapat bahwa selama ini ia telah salah jalan dan tersesat amat jauh. Kota ini adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan ramai, di lembah Sungai Cia-ling.

Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil tapi cukup bersih. Sehabis makan, ia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan maksud hendak keliling kota.

Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung dan heran sendiri. Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam tebal, pakaiannya sederhana saja akan tetapi tidak menyembunyikan tubuhnya yang kuat dan tegap, gerak-geriknya jelas membayangkan “isi”, yaitu bahwa orang muda ini tentu memiliki kepandaian berarti.

Agaknya yang kemasukan aliran “stroom” aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba mengangkat muka memandang Lee Si, malah setelah lewat, beberapa kali dia menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung!

Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak untuk mengingat-ingat dimana ia pernah bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa ia menjadi tertarik seperti ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat ingat dimana dan bila mana ia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat daripada biasanya.

Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya timbul kemarahan di hati Lee Si. Betapapun juga, pemuda itu kurang ajar, berani memandanginya seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.

Lee Si cepat memasuki kembali kamarnya, mengambil pedangnya dan tak lama kemudian tubuhnya sudah berkelebat di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar kearah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali dan sebentar saja ia melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.

Siapakah pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong! Telah lama sekali kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya. Setelah suami isteri dan putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san, Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. la amat tekun berlatih lilmu kepandaian di bawah bimbingan ayah bundanya, terutama ayahnya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-thouw-san dan pergi ke lereng sebelah kanan dimana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san dengan dunia luar. la duduk diatas batu besar dan memandang ke timur.

Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang-kadang dia memandang dengan hati penuh rindu, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-thouw-san hanya dengan ayah bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu akan keramaian dunia.






Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup putera mereka, dan maklum betapa besar hasrat hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan dalih bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena disana terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.

Selagi Swan Bu duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat meloncat kesana kemari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui.

Swan Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan dengan cuaca pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat bergerak secepat itu. Timbul kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang diantara anak murid Hoa-aan-pai! Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung? Hatinya gembira karena semua anak murid Hoa-san-pai telah dia kenal baik.

Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat keatas jembatan tambang. Sebetulnya bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui “jembatan” ini, orang harus memiliki kepandaian dan ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh!

Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa si pendatang ini belumlah begitu sempurna ginkangpya. Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari diatas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikitpun juga, dia diharuskan terus berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari diatas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang sama sekali.

Setelah orang itu datang dekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang yang bersarung pedang indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan. Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-san-pai! la cepat berdiri dan menghadang disitu.

Pemuda itu setelah melompat ke seberang setelah melalui jembatai tambang, melihat Swan Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,

“Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari paman Kwa Kun Hong, bukan?”

Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga, akan tetapi dengan hati tabah dia menjawab,

“Dugaanmu betul. Siapakah kau dan apa maksudmu mendaki puncak Liong-thouw-san?”

Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis.
“Aku Bun Hui dari Tai-goan, ayahku adalah sahabat baik ayuhmu.”

“Ayahmu siapakah? She Bun…..? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo sianjin ketua Kun-lun-pai?”

“Beliau adalah kakekku!” seru Bun Hui gembira. “Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Tai-goan, dengan ayahmu terhitung sahabat baik.”

Swan Bu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian indah dan mewah akan tetapi sikapnya ramah sederhana ini. Tentu saja dia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik tokoh-tokoh yang tergolong kawan maupun yang tergolong lawan. Sudah sering kali ayah bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah diapun tahu bahwa ibu dari pemuda ini masih terhitung bibinya karena ibu pemuda ini adalah adik angkat ibunya sendiri. Jadi mereka berdua masih dapat disebut saudara misan. la segera menjura dan berkata,

“Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah putera paman Bun Wan. Benar dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang kesini jauh-jauh dari Tai-goan? Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan.”

Bun Hui tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Swan Bu tidaklah sesombong tampaknya tadi.

“Girang sekali, hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari ayah bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja dari padamu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan selamat. Kedatanganku ini diutus oleh ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa kini mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam.”

Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar kemarahan.

“Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerangan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada ayah?”

“Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya yang kubawa untuk ayahmu. Sepanjang pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-coa-to yang mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga….. ada….. orang dari Go-bi-san…..”

Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik.
“Siapakah dia, Twako? Juga musuh besar ayah?”

Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Tidak ingin dia melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan lebih lagi tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.

“Dia datang dari Go-bi-san dimana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu, yaitu Hek Lojin dan muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya takkan mau sudah sebelum dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu.”

“Hemmm, dan penghuni Ching-coa- to itu, siapakah?”

“Sepanjang pengetahuanku, kini disitu menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua mereka yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan berjuluk Ang Mo-ko, juga amat lihai biarpun tidak sehebat Ang-hwa Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak kuketahui.”

“Twako, dimanakah letaknya Ching-coa-to? Dimana tempat tinggal Ang Mo-ko dan apakah orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul dimana sekarang?”

Bun Hui memandang curiga.
“Adikku yang gagah, agaknya bernafsu sekali kau ingin mengetahui tempat mereka. Mau apakah kau?”

“Tidak apa-apa, twako. Bukankah lebih baik mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?”

Bun Hui lalu memberi tahu dimana letak Ching-coa-to.
“Mungkin Ang Mo-ko yang tak tentu tempat tinggalnya itupun sudah berada di Ching-coa-to. Tentang….orang-orang Go-bi-san, aku sendiri tidak tahu pasti dimana mereka berada. Hanya….. kabarnya sudah turun gunung.”

Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara tentang Siu Bi, dan ini pula yang menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.

“Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Kalau mereka bertanya tentang aku, katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu mengganggu ketenteraman Liong-thouw-san!”

“Eh, adik Swan Bu….. jangan begitu…… tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono…..!” Bun Hui berseru gugup.






No comments:

Post a Comment