Ads

Monday, February 25, 2019

Jaka Lola Jilid 053

Toan-kiam Lo-kai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya kearah orang-orang disitu sambil berkata,

“Saudara-saudara harap sudi meninggalkan kami agar kami dapat bicara leluasa.”

Heran, orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan kepada Swan Bu bahwa daerah ini agaknya Hwa-i-kai-pang bukan tidak mempunyai pengaruh. Setelah semua orang pergi, Swan Bu berkata,

“Lopek, ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-thouw-san …”.

Serta merta kakek itu bersama dua orang murid keponakannya lalu rnenjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu!

“Ah, kiranya Siauw-hiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu kebetulan yang membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap berdua di Liong-thouw-san?”

“Ayah dan ibuku baik-baik saja, terima kasih.”

“Kiranya putera ketua kehormatan kita!” Kakek itu hampir bersorak kegirangan. “Kalau begitu tidak heran sekali pandang saja sudah tahu akan luka pukulan Ang-see-ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah mewarisi ilmu kepandaian yang sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!”

“Ah, aku yang muda dan hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian ayah. Sudahlah, tidak ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang kau ceritakan kepadaku, mengapa kau sampai terluka hebat oleh pukulan Ang-see-ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?”

Toan-kiam Lo-kai menarik napas panjang.
“Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi pada Hwa-i-kai-pang semenjak suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia. Apalagi setelah Kwa-taihiap diketahui tak pernah turun dari puncak Liong-thouw-san. Hwa-i-kai-pang tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau telah mendengar dari ayahmu bahwa sudah sejak dahulu, perkumpulan Hwa-i-kai-pang bukan perkumpulan pengemis biasa saja. Di samping itu para anggautanya memiliki tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga keamanan kota daripada gangguan para penjahat. Akan tetapi, dengan datangnya pembesar dari kota raja yang bertugas mengumpulkan tenaga suka rela untuk membangun terusan dan tembok besar atas perintah kaisar, banyak anak buah Hwa-i-kai-pang ditangkapi dan dipaksa menjadi sukarelawan. Orang-orang biasa, terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah ini menggemaskan?”

“Hemmm, pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!” kata Swan Bu.

“Itulah! Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-ciangkun (komandan Lo) yang memimpin pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak terhadap perintah kaisar! Karena percekcokan ini, terjadilah keributan dan pertengkaran yang berekor pertempuran.”

“Ah, kalau begitu keliru juga, Lopek. Tak baik melawan dengan kekerasan, hal itu bisa menimbulkan kesan Hwa-i-kai-pang memberontak.”

Kakek itu mengangguk-angguk,
“Memang betul, akan tetapi kamipun harus membela anak buah kami yang sudah ditahan dan dipaksa, membebaskan pula orang-orang muda miskin yang tidak mampu membayar uang tebusan dan ditahan juga. Mereka itu, untuk memberi makan keluarga sudah setengah mati setelah mereka ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut suka rela itu, keluarganya tentu akan mati kelaparan!”

“Akan tetapi kita bisa mengambil cara lain, misalnya menemui komandan itu secara langsung.”

“Sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan itu dibantu oleh seorang iblis wanita yang lihai sekali, seorang pendatang baru dari barat. Kabarnya karena munculnya wanita itu maka para pembesar di daerah ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orang-orang gagah yang mencoba menantangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-jiu Toa-nio, iblis wanita itu. Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalahgunaan kekuasaan mengandalkan orang kuat itu, aku sengaja mendatangi Ang-jiu Toa-nio dan kesudahannya aku terluka…..”

Sudah bergolak darah Swan Bu mendengar ini, akan tetapi diapun terheran mengapa seorang wanita tua, seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu.

“Lopek, mari antarkan aku pergi menemui Lo-ciangkun itu. Biarkai aku bicara dengannya, kalau dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak mengandalkan Ang-jiu Toa-nio, biar aku akan coba-coba menghadapinya.”






Girang hati kakek itu.
“Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap. Ketahuilah, Ang-jiu Toa-nio benar benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil rusak di sebelah selatan kota, keadaannya penuh rahasia, seperti iblis saja. Tidak ada orang pernah dapat memasuki kuil, semua orang gagah, termasuk aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang luar biasa.”

“Biar aku akan mencobanya, Lopek, Mari!”

Toan-kiam Lo-kai dengan hati besar lalu mengiringkan Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat tinggal Lo-ciangkun. Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Begitu para penjaga itu melihat Toan-kiam Lo-kai, mereka terkejut dan panik.

Baru kemarin pengemis tua itu telah membikin onar dan mereka yang tidak melihat sendiri mendengar bahwa pengemis itu sudah dirobohkan oleh Ang-jiu Toa-nio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini lagi?

“He, berhenti! Kalian siapa dan mau apa?” bentak mereka dan berbarislah belasan orang pengawal menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk melapor kepada Lo-ciangkun.

“Aku hendak bicara dengan Lo-ciang-kun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin ribut, aku tidak ada urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada Lo-ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara dengannya'” kata Swan Bu dengan tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang menuju ke ruangan depan.

Para pengawal itu hanya mengurung tapi tidak berani menghalangi, terutama sekali mereka takut kepada Toan-kiam Lo-kai yang diam saja, hanya melirik kekanan kiri dengan matanya yang sipit.

“Orang muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apakah kami harus menggunakan kekerasan?” Komandan jaga membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.

“Kalau Lo-ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke dalam rumah sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak menggunakannya!” jawab Swan Bu, masih tetap tenang dan kakinya masih bergerak maju.

Pengemis tua itu diam-diam rnerasa khawatir dan mengikuti dari belakang. la anggap perbuatan Swan Bu itu biarpun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh memasuki mulut harimau secara begini sembrono? Tentu saja terhadap para penjaga itu, dia tidak takut sama sekali, akan tetapi dia maklum bahwa selain Lo-ciangkun sendiri seorang pandai, juga disitu terdapat banyak jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau wanita iblis itu berada disitu pula!

Para penjaga itu sudah mengurung dan siap menerjang dengan senjata mereka yang berkilauan tajam. Tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara nyaring.

Sinar itu segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan pedang ke belakang punggung dan….. belasan batang tombak di tangan para pengawal itu tinggal gagangnya saja!

Dalam waktu yang sukar diikuti mata cepatnya, dan dengan cara yang amat luar biasa. Pemuda itu sudah mencabut pedang dan membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui, malah cara pemuda itu mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak seorangpun diantara mereka dapat melihat jelas! Seperti sulapan saja.

Toan-kiam Lo-kai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum hatinya. Itulah gerakan ilmu pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki putera Pendekar Buta.

“Kalian lihat, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya ingin bicara dengan Lo-ciangkun!” kata pula Swan Bu, suaranya tetap tenang.

Paniklah para penjaga itu. Untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, majupun jerih menghadapi pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di ruangan depan itu, muka pucat dan badan gemetar, Swan Bu dan pengemis tua itu duduk diatas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.

“Lekas laporkan kepada Lo-ciangkun!” tiba-tiba pengemis itu membentak, suara galak.

“Sudah lapor…… sudah lapor…. ” seorang penjaga menjawab ketakutan.

Tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian perwira didampingi oleh empat orang yang tinggi tegap, berpakaian ringkas dengan sikap seperti jagoan-jagoan.

“Ada apakah ribut-ribut disini….. Eh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau hendak memberontak,” bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot kearah Toan-kiam Lo-kai.

Swan Bu cepat bangun berdiri, tegak dan gagah.
“Kaukah yang disebut Lo-ciangkun?” tanyanya, suaranya nyaring.

Komandan itu memandang marah.
“Betul, aku Lo-ciangkun. Orang muda, kau tampan dan gagah, jangan kau ikut-ikut jembel pemberontak ini…..”

“Lo-ciangkun, Lopek ini hanya mengantar aku kesini. Aku sengaja ingin bicara denganmu tentang perbuatan sewenang-wenang yang kau lakukan di kota ini dan daerahnya. Kau memaksa orang-orang yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk kerja paksa mengerjakan tembok besar dan terusan, dengan dalih perintah kaisar. Orang-orang miskin, pengemis-pengemis, kau paksa dan kau tahan akan tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu menyogok kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?”

Swan Bu biarpun semenjak kecil tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-san kemudian pindah ke Liong-thouw-san, namun dia banyak mendengar dari ayah bundanya tentang keadaan kota raja dan sejarahnya.

Wajah perwira itu menjadi merah saking marahnya.
“Keparat, kau ini mempunyai kedudukan apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil masih ingusan belum tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri. Mengingat akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak rewel lagi!”

Diam-diam Swan Bu berpikir. Melihat sikap ini, Lo-ciangkun bukanlah seorang yang amat kejam dan menggunakan kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya itu sudah tentu merupakan pelanggaran yang tak boleh diampuni lagi terhadap seorang pembesar pemerintah.

“Lo-ciangkun, para lopek dari Hwa-i-kai-pang sudah herusaha memberi peringatan kepadamu bahwa sepak terjangmu ini melanggar keadilan, akan tetapi kau malah mempergunakan kedudukanmu untuk menindas mereka dengan dalih memberontak. Insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu sebelum terlambat!”.

“Orang muda sombong!” teriak seorang diantara empat jagoan tinggi besar itu dan tanpa komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di tangan. Jelas bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si pengemis tua.

“Lopek, jangan ikut-ikut!” kata Swan Bu.

Mendengar ini, Toan-kiam Lo-kai enak-enak duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu berkelebat cepat ke depan didahului gulungan sinar perak dan….. empat orang itu roboh malang-melintang, golok mereka terbabat buntung dan lengan mereka tergurat pedang sampai berdarah sedangkan dada mereka masing-masing telah tercium ujung sepatu Swan Bu.

“Anjing-anjing tukang siksa orang” kata Toan-kiam Lo-kai sambil tertawa. “Tidak lekas mengempit ekor dan lari mau tunggu digebuk lagi?”

Empat orang itu belum kehilangan kagetnya, mereka terbelalak memandang kearah Swan Bu, kemudian lari keluar tunggang-langgang!

“Lo-ciangkun, kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, kalau perlu dengan pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan orang yang tak berdosa,” kata Swan Bu, berdiri tegak dan gagah.

Para pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak dan tidak berani berkutik, menanti komando komandan mereka.

Akan tetapi Lo-ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik napas panjang, lalu menggerakkan tangan berkata,

“Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang muda, kau ini siapakah dan hak apakah yang kau miliki untuk mencampuri tugasku?”






No comments:

Post a Comment