Ads

Sunday, February 24, 2019

Jaka Lola Jilid 050

Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikitpun tidak mengeluh walau rasa nyeri pada tubuhnya hampir tak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seakan-akan dia tubrukan dengan tubuh lawan agar bacokannya tidak dapat dihindarkan Maharsi. Maharsi melengking tinggi, kedua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.

“Hukkk!”

Demikian bunyi yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama makin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku tapi sudah tak bernapas lagi!

Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang tosu itu, tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya adalah orang-orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan, semua gara-gara urusan dia dengan suhengnya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan mengorbankan nyawa.

“Bhong-suheng, benar-benar kau telah tersesat jauh sekali’.” serunya dengan suara keras penuh kemarahan. “Kau membiarkan teman-temanmu membunuh dua orang tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan diri daripada pergaulan sesat dan mari pulang bersama siauwte, menghadap twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam asal!”

Namun Bhok Hwesio yang sudah menyimpan rasa sakit hati dan juga penasaran terhadap Siauw-lim-pai, mana mau mendengar nasihat ini? la membuka kedua matanya dan menegur,

“Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, mengapa banyak cerewet? Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengampunimu dan lekas kau pergi dari sini jangan menggangguku lagi.”

“Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa pinceng mentaati perintah twa-suheng dan menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!”

Thian Ti liosu mengangkat tangan kanan tinggi diatas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditaruh miring dan berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-lim-pai untuk memberi hukuman kepada murid murad.

Mesti menurut aturan, murid-murid yang sudah tidak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima hukuman paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki sinkang lagi.

“Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?” bentak Bhok Hwesio marah.

“Bhok-taisuhu, kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!”

Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi “kok-kok” dari kerongkongannya.

“Omitohud, pendeta sesat!”

Thian Ti Losu mengeluarkan teguran dan diapun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dan bawah keatas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah.

Tampaknya perlahan saja dua pasang telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya hebat. Tubuh Thian Ti Losu mencelat keatas sampai kedua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter, sedangkan tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai sepinggang dalamnya! Ini saja sudah membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata tidak dapat melawan kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.

“Bi Wi Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!” kata Bhok Hwesio yang menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sutenya.






Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua sedang mengukur kekuatan dan keberanian hatinya sebelum mulai bertanding. Adapun Maharsi cepat menghampiri Bo Wi Sianjin dan sekali kakek jangkung ini menyendal tangan temannya, tokoh Mongol itu sudah “tercabut” keluar dari tanah.

Wajahnya menjadi merah karena dalam segebrakan tadi saja sudah dapat dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih terlampau kuat baginya. Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong, terbukti dengan dua orang hwesio ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.

Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya. Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat.

Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya tergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum dan penuh perhatian. Sering sudah mereka menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat demikian dahsyatnya.

Bhok Hwesio sendiripun maklum akan kelihaian sutenya ini, dan tentu saja sebagai tokoh Siauw-lim-pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang namun tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya.

Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas suhengnya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti. Selain ini, dia melihat gerakan suhengnya amat aneh, biarpun dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat, namun perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi.

Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalani hukumannya sambil bertapa di dalam kamar, Bhok Hwesio telah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai ilmu pukulan ini dasarnya memang Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari semenjak kecil, akan tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu.

Kini, menghadapi bekas sutenya dia malah mendapat kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan dan mencoba ilmu ciptaannya itu.

Kepandaian Bhok Hwesio memang hebat. Hawa sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun. Memang dasar latihan samadhi dan peraturan bernapas dari Siauw-lim-pai amatlah kuatnya, berasal daripada sumber yang bersih dan diperuntukkan para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan.

Dan agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguhpun setelah sampai pada batas yang tinggi, ilmunya menjadi menyeleweng daripada garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri.

Andaikata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan dapat mecapai tingkat yang lebih tinggi daripada yang pernah dicapai oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat besar.

Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suhengnya ini setelah bertanding selama lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali.

Namun, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga dia tidak gentar menghadapi apapun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia. la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang menghimpitnya itu.

Dengan gerakan melingkar, tongkatnya melepaskan diri daripada tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan kearah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, biar tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.

Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia hentakkan ke samping dan di lain saat tongkat itu telah terlibat oleh ujung lengan baju kedua menotok kearah lehernya.

Thian Ti Losu kaget sekali, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti telah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah meluncur dekat. Terpaksa sekali, untuk menyelamatkan dirinya, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat daripada totokan maut, akan tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya bergerak dan….. tongkat itu amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!

“Thian Ti Losu, terang kau bukan lawanku. Sekali lagi, kau pergilah dan jangan menggangguku lagi, aku maafkan kekurang-ajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!”

Akan tetapi, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri daripada tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dan akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia daripada hidup sebagai pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.

Dan Bhok Hwesio bekas suhengnya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat dan pengecut! Thian Ti Hwesio menengadahkan mukanya keatas, tertawa bergelak lalu mengerahkan seluruh Iweekangnya dan dilain saat dia telah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk Bhok Hwesio.

Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga lerakhir untuk menentukan siapa harus mati dan siapa akan menang. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa, dan bagi seorang jagoan, apalagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja merupakan hal yang akan memalukan sekali.

“Huh, kau keras kepala!” ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan. Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya diarahkan perut bekas suhengnya.

“Cappp!”

Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suhengnya dan menancap atau lebih tepat amblas ke dalam ketika perut itu mempergunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya.

Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung di kedua pundak yang telah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya lenyap. Adapun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di “dalam” perut Bhok Hwesio.

“Nah, pergilah!” seru Bhok Hwesio.

Perutnya yang tadinya menyedot itu dikembungkan dan….. tubuh Thian Tl Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh diatas tanah dalam keadaan setengah duduk. la maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau sinkang dan menjadi seorang tapadaksa selama hidupnya!

“Manusia keji…..” katanya terengah-engah menahan nyeri akan tetapi matanya masih memandang tajam, “Bunuhlah sekalian…..”

“Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?”






No comments:

Post a Comment